Opini

Kebijakan Pendidikan Otoriter, Dibawa ke Mana Nasib Perguruan Tinggi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Meitya Rahma, S. Pd

wacana-edukasi.com– Ramai pro dan kontra Permendikbud No. 30. Ada yang mendukung ada pula yang menolak. Seperti yang sudah diberitakan di media bahwa Permendikbudristek No. 30 ini dibuat bertujuan untuk mencegah dan penanganan kasus pelecehan seksual di kalangan mahasiswa. Namun apakah benar-benar bisa menanganai kasus pelecehan seksual di kalangan mahasiswa? Karena banyak juga yang berpendapat bahwa Permendikbudristek No 30 ini berisi seolah olah, malah melegalkan sek bebas. Hal ini nampak dalam Pasal 5 aturan dianggap menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Sebab, dalam pasal tersebut dijelaskan kekerasan seksual mencakup hal-hal yang dilakukan ‘tanpa persetujuan’. Jika dilakukan melalui persetujuan maka tidak dikatakan kekerasan seksual. Pelbagai organisasi mahasiswa telah menyuarakan sikapnya soal Permendikbud PPKS. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak mentah-mentah dari awal munculnya.

Salah satu kritik terhadap aturan ini datang dari Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad menilai aturan Nadiem tentang rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 aturan itu menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan (CNNIndonesia.com,8/11/21).

Senada dengan Arsyad, menurut pakar kebijakan publik, Prof Dr Purwo Santoso, Permendikbud dibangun logika liberal. Hal itu terlihat dalam pendefinisian kekerasan seksual pada pasal 5. Menurut Prof Purwo, urusannya suka tidak suka, setuju tidak setuju, bukan dalam pernikahan atau tidak dalam pernikahan, jadi logikanya ini yang menjadikan seks di luar nikah yang disetujui antara pihak itu jadi normal, disitulah yang menjadikan kontroversial (Republika. co. id, 9/11/21)

Saat ini kita hidup di jaman yang serba mengagungkan budaya permisif, kebebasan menjadi sesuatu yang dihormati. Maka segencar apapun Ormas, masyarakat, organisasi mahasiswa menolak tak akan merubah keputusan pak Mentri. Tekadnya sudah bulat, upayanya yang sudah maksimal agar Permen No 30 ini disahkan. Untuk itu Mendikbud menggunakan cara sedikit “ancaman” kepada beberapa kampus yang tidak mau menerima atau menyetujui Permendikbud No 30 tersebut. Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan ada sanksi bagi pihak yang melanggar Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Salah satunya adalah penurunan akreditasi kampus. (Detik.com, 16/11/21). Sanksi untuk perguruan tinggi ini berupa sanksi administratif. Dimana kalau tidak melakukan proses PPKS ini sesuai Permendikbudristek, ada sanksi, mulai dari keuangan sampai akreditasi. Jadi ada dampak real-nya jika Perguruan Tinggi tidak melaksanakan.

Maka benarlah apa yang dikatakan oleh prof Purwo, logika Nadiem ini merupakan logika liberal. Sekencang apapun penolakan, sekuat apapun pernyataan ketidaksetujuan dari beberapa elemen tak akan digubris. Logika liberal sudah tertanam di setiap lini. Sampai pada dunia pendidikan yang menjadi sasaran adalah generasi calon penerus estafet pembangunan. Dengan demikian bahwa Permendikbudristek No. 30 merupakan bukti untuk mengokohkan paradigma liberal. Semakin menampakkan bahwa aturan ini tidak hanya mendorong liberalisme seksual di kampus. Namun juga menegaskan sikap angkuh rezim kepada semua institut Perguruan tinggi yang mengkaji dan mengkritik kebijakan ini. Mau dibawa kemana nasib generasi negri ini nantinya jika aturan yang dibuat condong kearah pelegalan seks bebas. Suatu kebijakan ketika tidak dilandasi dengan dasar ketaqwaan dan pemahaman bagaimana Islam mengaturnya maka kebijakan ini tidak akan pernah menyelesaikan problematika yang ada. Yang tercipta adalah kebijakan yang membuat kemaksiatan (seks bebas) semakin eksis.

Terkait sanksi bagi kampus yang tidak menyetujui Permendikbudristek ini sangatlah tidak relevan. Kementrian akan memberikan sanksi administratif salah satunya penghentian bantuan keuangan dari pemerintah. Padahal penyelenggaraan pendidikan di tingkat kampus selama ini sudah sangat minim. Kampus dipaksa untuk mandiri mencari pendanaan. Dengan adanya sanksi administrasi ini menunjukkan pemerintah semakin abai terhadap pemenuhan layanan pendidikan. Dengan demikian bagaimana nasib pendidikan Perguruan Tinggi di negri ini, jika kebijakan pendidikan otoriter. Padahal pendidikan adalah hak warga negara dan menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Pendidikan harusnya didanai penuh oleh negara sehingga rakyat bisa mengakses pendidikan secara adil dan merata.

Penguasa adalah sebagai ra’yin (mengurus rakyat) dan junnah ( pelindung rakyat) bagi rakyat. Idealnya memang seperti itu. Namun sistim kapitalis yang telah mengakar di negri ini membuat para penguasa dan stake holder pendidikan tidak lagi menjadi rayin dan junnah. Mereka dengan sadar membuat aturan yang berdampak buruk bagi masa depan generasi. Mereka abai terhadap tanggungjawabnya dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyat. Bahkan secara terang terangan mengancam Perguruan Tinggi yang tidak mengikuti arahan penguasa akan dikenai sanksi administratif. Semakin nampak kiranya bahwa pemerintah memosisikan dirinya sebagai penguasa bertangan besi. Dengan kekuasaannya mereka memaksakan sekehendak hati mereka. Hal ini semakin menunjukkan pada rakyat, bahwa sudah saatnya ada perubahan sistim yang dapat memajukan pendidikan, pelayanan pendidikan optimal. Perlu kiranya masyarakat mencari alternatif sistim yang bisa memberikan layanan prima pada rakyat.

Islam telah memberi gambaran bagaimana sistim pendidikan bisa menghasilkan generasi gemilang. Hal ini karena tak lain sistem pemerintahan Islam yang memberikan arah kebijakan pendidikan tidak melenceng dari akidah Islam. Kebijakan pendidikan diatur sedemikian rupa sehingga out put dari generasinya bukan saja memahami ilmu dunia saja (scince, social, ketrampilan, dll) namun juga faqih fiidin. Sedangkan syariat Islam mengkondisikan warga negaranya tidak melakukan perbuatan maksiat. Adanya sistem sanksi (uqubat) akan membuat jera para pelaku kejahatan. Dengan demikian pendidikan dalam sistim Islam dapat menghasilkan generasi yang berkualitas, seorang ilmuwan sekaligus ulama. Maka tak berlebihan jika sistem pendidikan Islam ini layak diterapkan untuk menyelesaikan semua problem pendidikan. Hanya saja sistim pendidikan Islam tidak bisa diterapkan secara sempurna tanpa sebuah institusi negara.

Wallahu a’lam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 17

Comment here