Oleh: Tri Cahya Arisnawati (Aktivis Dakwah dan Pemerhati Kebijakan Politik)
wacana-edukasi.com– Pulau Kalimantan yang dahulu kita kenal sebagai Zamrud Khatulistiwa dan jantungnya dunia, kini begitu memprihatinkan. Kalimantan hari ini bagaikan lautan apabila diterjang hujan deras.
Banjir pun menerjang kawasan Kalimantan. Padahal beberapa tahun sebelumnya pulau Kalimantan tidak pernah dilanda banjir separah kali ini.
Tak tahu siapa yang harus disalahkan, bahkan jajaran pemerintahan pun selalu saling tunjuk menunjuk untuk mencari kambing hitam dan beragam alasan pembenaran serta menghindar dari beragam tanya yang terlontar dari mulut masyarakat.
Jokowi pun sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap wilayah kekuasaan yang ia urus, dengan alasan klise bahwa alam lah yang menjadi penyebab utama berubahnya Kalimantan bagaikan lautan ketika hujan deras turun. Curah hujan deras yang turun beberapa waktu belakangan ini dianggap sebagai biang keladi dari banjir yang menerjang Kalimantan. Hal ini memang dibenarkan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), BNPB menyebut penyebab banjir adalah intensitas hujan yang tinggi karena Indonesia telah memasuki El Nina.
Dosa apa hujan, sehingga dijadikan kambing hitam? Jika memang penyebabnya hujan deras sehingga Kalimantan menjadi banjir, bukankah hujan deras dari zaman dahulu juga selalu turun dan mengguyur Kalimantan, tetapi kenapa dahulu tidak banjir parah seperti sekarang ini? Ketika publik sudah cerdas dan mengkritisi jawaban para pemimpin negeri ini ke hadapan ke publik, mengapa harus selalu hujan yang disalahkan setiap ada banjir yang menerjang, ini menandakan bahwa memang ada yang salah dengan cara berpikir para pemimpin di negeri ini. Apakah mereka tak paham tata kelola wilayah?
Namun, sejumlah akademisi dan LSM lingkungan mengungkapkan bahwa intensitas hujan tinggi bukanlah satu-satunya penyebab banjir di Kalimantan. Mereka sepakat bahwa banjir juga dipicu oleh deforestasi dan krisis iklim. Hingga berita ini diturunkan, hingga saat ini Jokowi belum juga datang mengunjungi lokasi banjir dan menemui rakyat mengungsi, pilih menyalahkan kerusakan lingkungan yang telah terjadi berpuluh-puluh tahun. (oposisicerdas.com, 23 November 2021)
Geramnya masyarakat terhadap jawaban yang diberikan pemimpin negeri ini bukan tanpa alasan, berbekal pengamatan yang dilakukan oleh para akademisi dan LSM lingkungan, publik menilai hujan deras bukanlah penyebab utama banjir, tetapi juga dipicu hutan yang dialihkanfungsikan menjadi hutan sawit serta pembangunan Ibu Kota Negara yang sedang dikebut proyeknya oleh pemerintah, disinyalir menjadi penyebab utama terjadinya banjir besar yang merata mengepung Kalimantan.
Kerakusan Kapitalisme
Telah menjadi hal yang umum, apabila dalam sistem hari ini orang-orang berlomba-lomba memiliki apapun yang mereka inginkan. Sejalan dengan sistem kapitalisme yang saat ini sedang menghegemoni dunia, bahwa siapapun baik individu, swasta sampai negara asing bebas membeli dan memiliki apapun yang mereka inginkan, asalkan mereka mempunyai banyak modal (kapital). Tak peduli apakah aset-aset yang mereka inginkan itu sebenarnya adalah aset milik publik yang memang diperuntukkan bagi orang banyak, contohnya seperti hutan yang secara penuh adalah milik publik, sehingga baik individu, swasta bahkan negara asing dilarang menguasai dan mengeksploitasi nya.
Syahwat ingin memiliki akan semakin menjadi-jadi jika diberi ruang, apalagi sistem kapitalisme hari ini memberi celah bagi siapapun yang memiliki modal besar untuk menguasai apapun, ditambah lagi mental para pemimpin hari ini yang terobsesi dengan jabatan dan kekuasaan. Dengan dalih menyelamatkan perekonomian dalam negeri dan menciptakan lapangan pekerjaan, para pemimpin hari ini rela menjual aset milik rakyat kepada para pengusaha dan korporasi. Investasi yang dijadikan sebagai alibi, ternyata sesungguhnya adalah untuk memudahkan jalan mulus para pemilik modal maupun korporasi untuk mengeruk kekayaan alam yang notabenenya adalah milik rakyat.
Terjadilah kesepakatan antara pengusaha dan penguasa, melalui kerja sama dan perjanjian hitam di atas putih. Kesepakatan ini melahirkan relasi antara pengusaha dan penguasa, mesranya hubungan keduanya dapat dirasakan dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa begitu kuat tercium aromanya yang memihak pengusaha, contohnya UU Cipta Kerja, dan UU Minerba yang mendapat penolakan cukup keras dari masyarakat, karena dinilai menguntungkan para pengusaha.
Dari berbagai Undang-Undang kontroversi yang berhasil digolkan, para pengusaha bebas melanggeng mengeruk kekayaan alam Indonesia sebab telah dilindungi oleh Undang-Undang. Dalam hal ini, penguasa pun memperoleh keuntungan, yakni mendapat kucuran dana sebagai ongkos demokrasi, mahalnya biaya demokrasi membuat para penguasa menjadikan para pengusaha sebagai penopang biaya selama masa kampanye. Maka tak heran, muncullah istilah “Politik Balas Budi”. Penguasa harus membalas jasa para pengusaha yang selama ini telah membiayai ongkos demokrasi.
Pola dan relasi ini akan terus terulang dari rezim ke rezim lainnya, jika suatu rezim telah habis masa jabatannya maka kepentingan para pengusaha ini akan diakomodir oleh rezim selanjutnya, begitu seterusnya. Dengan begitu, sangatlah wajar bila dari masa rezim ke masa rezim lainnya kondisi rakyat tak ada ubahnya. Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial dan ketidaksejahteraan akan selalu menyelimuti rakyat. Kekayaan alam yang seharusnya dirasakan dan bisa menyejahterakan rakyat, ternyata telah dijual penguasa kepada para pengusaha. Sehingga keuntungannya tidak dapat dirasakan langsung oleh rakyat, hanya tangan-tangan serakahlah yang menikmatinya.
Islam Mengatur Kepemilikan
Rasa ingin memiliki adalah salah satu bentuk naluri (Al Gharizatu), yakni naluri mempertahankan diri (Gharizah Baqa). Naluri ini muncul jika ada rangsangan dari luar, manusia cenderung selalu merasa kurang, ingin diakui eksistensinya dirinya, ingin memiliki harta kekayaan, dan lain-lain. Bila manusia melihat sesuatu yang dianggap bisa memenuhi keinginannya yang bisa mewujudkan eksistensi dirinya, maka manusia akan berusaha untuk meraihnya. Namun, jika pemenuhannya dengan cara yang salah bisa merugikan bahkan berakibat fatal, terutama bagi orang lain.
Dalam sistem Kapitalisme, wujud eksistensi diri selalu diukur oleh materi kekayaan yang dimiliki, semakin banyak kekayaan yang dimiliki seseorang maka dengan mudah bisa melakukan apapun dan membeli apapun yang diinginkan. Sehingga derajat dan kesejahteraan orang tersebut dianggap sudah naik level.
Islam mempunyai sudut pandang yang berbeda, Islam bukan hanya agama, tetapi juga ideologi yakni aturan kehidupan, karena inilah Islam mempunyai seperangkat aturan kehidupan yang universal dan lengkap. Islam membagi dimensi kehidupannya menjadi tiga yaitu hubungan manusia dengan Allah (habluminallah),hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablumbinafsi), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (hablumminannas). Dari yang sangat mendasar seperti perkara aqidah hingga yang paling kompleks islam juga mengaturnya.
Dalam mengatur Gharizah yang ada pada individu manusia, Islam juga memiliki seperangkat aturan untuk mengatur tata cara bagaimana untuk memenuhinya. Walaupun naluri adalah fitrah yang ada pada setiap individu manusia, tetapi naluri ini juga mengharuskannya untuk dipenuhi. Tetapi, bila salah dalam tata cara pemenuhannya bisa merugikan diri sendiri bahkan orang lain. Untuk itulah, agar tidak salah dalam tata cara pemenuhannya maka harus menggunakan aturan yang berasal dari Zat yang telah menciptakan manusia berikut dengan gharizahnya, yakni Sang Khaliq.
Seperti rasa ingin memiliki yang memang muncul dari Gharizah Baqa’, Bila menggunakan aturan buatan manusia seperti pada hari ini, maka tidak ada batasannya seseorang dalam memenuhi hasrat keinginannya, sedangkan Islam membagi hak kepemilikan menjadi tiga, pertama, kepemilikan individu, hak kepemilikan ini dibatasi penguasaannya hanya pada benda-benda yang bersifat individual contohnya seperti rumah, kendaraan, pakaian, dan lain-lain.
Kedua, kepemilikan umum, hak kepemilikan umum ini beredar pada aset-aset kekayaan Sumber Daya Alam yang diperuntukkan bagi rakyat, dalam pengelolaannya menjadi kewajiban negara kemudian hasilnya diberikan kepada rakyat secara gratis dalam bentuk kesehatan, pendidikan, dan pelayanan umum, sehingga dilarang bagi individu, swasta bahkan negara asing mengelola maupun menguasainya, contohnya seperti hutan, laut, dan barang tambang (minyak, batu bara, emas, nikel, uranium, dan lain-lain).
Ketiga, kepemilikan negara, hak kepemilikan ini adalah sepenuhnya berada di tangan negara. Seperti gedung-gedung pemerintahan, bandara, pelabuhan, jalan tol, stadion, dan lainnya. Dalam pembangunan dan pengelolaannya tidak boleh ada campur tangan individu, swasta bahkan negara asing. Sebab hal ini sangat berbahaya bagi kedaulatan negara, bila ada campur tangan individu, swasta maupun negara asing, maka negara akan mudah disetir dalam menjalankan urusan pemerintahan. Tetapi, walaupun kepemilikan negara berada sepenuhnya di tangan negara, semuanya lagi-lagi diperuntukkan untuk rakyat. Rakyat dalam menikmati fasilitas umum yang disediakan oleh negara tidak akan lagi dimintai biaya yang tinggi bahkan gratis.
Inilah cara Islam dalam mengatur kepemilikan, yang notabenenya berhubungan erat dengan naluri yang dimiliki oleh manusia yakni Gharizah Baqa’, dengan aturan ini diharapkan manusia akan memahami area mana saja yang boleh dimiliki dan dikuasai dan area mana yang tidak boleh dimiliki dan dikuasai, dengan begitu tidak ada yang diserobot haknya sehingga tidak ada yang terzalimi.
Wallahu’alam bishowab
Views: 18
Comment here