Oleh: Dwi Indah Lestari
wacana-edukasi.com– Akhir tahun ini, lagu lama terorisme kembali dimainkan. Tokoh antagonisnya selalu saja kepada Islam. Stigmatisasi semacam ini selalu berulang, memberikan stempel buruk pada risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ada apa sebenarnya?
Sekitar 216 orang terlibat aksi terorisme selama Januari hingga Mei 2021. Hal ini diungkap oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar. Dari sejumlah orang tersebut, sebanyak 71 orang terkait dengan organisasi Jamaah Al Islamiyah (JI), 144 orang terlibat kelompok Jamaah Ansharut Daulah, dan satu orang terkait deportan (kompas.com, 25 Mei 2021).
Sementara itu dilansir dari beritasatu.com (3/11), pada bulan November ini, Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap dua tersangka teroris di Lampung, yang merupakan pejabat sebuah lembaga amil zakat di kota tersebut. Menurut Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, lembaga ini merupakan pengumpul dana yang digunakan untuk membiayai aksi-aksi terorisme.
Selain itu, Densus 88 juga telah menangkap 3 orang yang diduga terkait kelompok jaringan terorisme. Salah satunya merupakan anggota Komisi Fatwa MUI. Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Humas Mabes Polri, Komisaris Besar (Kombes) Ahmad Ramadhan, menegaskan, bahwa penangkapan ini murni terkait aktivitas individu ketiganya yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme JI (republika.co.id, 21 Nopember, 2021).
Stigmatisasi Terhadap Islam
Pasca terjadinya serangan WTC, 11 September 2001, di Amerika, isu terorisme kian kuat diangkat hingga hari ini. Bahkan melalui ultimatumnya saat itu “stick or carrot”, Amerika telah berhasil mendesak negara-negara di dunia untuk ikut dalam aksi memerangi terorisme.
Sayangnya, pihak yang selalu menjadi tertuduh di balik setiap aksi terorisme yang terjadi di dunia, adalah Islam. Dimana saja kejadian teror ada, Islam pasti dianggap sebagai biang keladinya. Bahkan hal ini mendorong setiap negara berupaya untuk mempersiapkan diri memberantasnya, tak terkecuali di Indonesia.
Tudingan bahwa terorisme selalu membidik Islam rasanya tidak berlebihan. Rekam jejak penangkapan orang-orang yang diduga terlibat teroris cenderung kepadan kalangan muslim yang notabene aktif dalam kegiatan keagamaan atau menunjukkan simbol-simbol keislaman, seperti guru ngaji, ustadz, atau ulama. Sementara bila ada peristiwa teror namun pelakunya bukan muslim, tidak dikategorikan sebagai terorisme.
Masyarakat sulit untuk mengenyampingkan adanya sinyal terjadi stigmatisasi terhadap Islam dan ajarannya melalui isu terorisme, dengan mengamati realitas ini. Publik ragu bahwa peristiwa dan alur yang terus berulang ini murni dari keinginan pemerintah untuk memberantas terorisme tanpa adanya indikasi sasaran tertentu, yaitu Islam.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Nasir Djamil terkait penangkapan tiga terduga teroris yang dipandang sebagai ulama oleh masyarakat. Ia mengatakan Densus 88 Antiteror dan BNPT harus mampu memberikan narasi yang jelas untuk menjawab keraguan publik terkait adanya tanda-tanda islamofobia dalam penangkapan tersebut (republika.co.id, 21 Nopember 2021).
Meskipun pemerintah bersikukuh menolak dugaan ini, namun rasanya saat ini publik sudah cerdas dalam membaca peristiwa demi peristiwa yang terjadi. Bila memang upaya pemberantasan ini berlaku untuk siapa saja, mengapa kelompok-kelompok bersenjata pengganggu keamanan seperti KKB di Papua dibiarkan saja? Atau mengapa para pelaku pembakaran masjid beberapa waktu lalu justru dimaafkan? Bukankah tindakan mereka juga menyebar teror dan mengancam jiwa masyarakat?
Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin
Bagi siapapun yang belum mengenal Islam secara menyeluruh, bisa jadi akan dengan mudah terperdaya dengan isu-isu semacam ini. Sebab musuh Islam saat ini yang menjadi pengusung ideologi kapitalisme memang telah menjadikan Islam sebagai pihak yang harus diperangi. Karena itu opini dunia sengaja dirancang untuk memberikan stigma buruk terhadap Islam, baik terhadap ajaran maupun pengembannya.
Ironisnya, banyak juga dari kaum muslimin yang jatuh dalam jebakan ini. Sehingga tak sedikit yang turut berada di belakang barisan musuh Islam yang bertujuan ingin menghancurkannya. Sungguh disayangkan, karena kurangnya pemahaman, mereka justru memerangi Islam dimana Allah jelas menyebutkannya sebagai rahmat bagi seluruh alam.
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al Anbiya: 107)
Islam pun bahkan menegaskan bahwa tidak ada pemaksaan untuk masuk ke dalamnya.
“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan.” (QS Al Baqarah: 256).
Sejarah telah membuktikan, yaitu saat Islam pernah diterapkan dalam sebuah negara yaitu khilafah Islamiyah, rakyat hidup rukun dalam kedamaian, baik antara sesama muslim maupun nonmuslim. Aturan Islam yang sesuai dengan fitrah manusia mampu mewujudkan keadilan bagi seluruh manusia yang hidup di bawah naungannya. Bahkan membuktikan bahwa Islam telah memberikan toleransi yang luar biasa yang tidak ada bandingannya hingga saat ini.
Seorang sejarawan Barat nonmuslim, bernama Will Durrant pernah menulis dalam bukunya, Story of Civilization, sebagai berikut; “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”
Berkaitan dengan jihad, yang sering disebut-sebut sebagai ajaran Islam yang mengajarkan kekerasan, dalam hal ini harus dipahami lebih jauh lagi. Dalam buku Islam, Politik dan Spiritual, Ustaz Hafidz Abdurrahman menuliskan pengertian jihad menurut syara adalah mengerahkan seluruh tenaga untuk berperang di jalan Allah SWT, baik secara langsung, atau dengan membantu harta, pendapat, memperbanyak perbekalan, atau apa saja. Para ulama sepakat, perkara ini hukumnya wajib.
Jihad sendiri ada dua bentuk, yaitu jihad defensif, dimana kaum muslimin berperang mempertahankan diri karena diserang terlebih dahulu, seperti yang dilakukan oleh kaum muslimin di Palestina terhadap Israel. Yang kedua adalah jihad ofensif, yaitu perang yang dilakukan kaum muslimin untuk menyerang musuh, tanpa harus menunggu apakah musuh menyerang atau tidak.
Namun perlu diketahui, jihad ofensif hanya dapat dilakukan oleh daulah Islam (institusi yang menerapkan sistem Islam). Jihad dalam bentuk ini adalah dalam rangka menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia dimana pelaksananya adalah negara. Itupun menjadi pilihan terakhir saat seruan dakwah secara damai tidak diterima bahkan menunjukkan permusuhan yang nyata terhadap Islam.
Jadi, kaum muslimin tidak boleh terjebak dalam propaganda musuh-musuh Islam yang memang ingin menyusupkan keragu-raguan dalam hati mereka terhadap kebenaran dien ini. Untuk itu umat harus memahami agamanya ini seutuhnya agar mampu menyaring segala informasi palsu yang sengaja ingin membuat Islam terlihat buruk. Sehingga mereka tidak ikut terpedaya dengan hal itu.
Hanya saja upaya stigmatisasi buruk terhadap Islam akan terus berulang, jika tidak ada pihak yang mampu menghentikannya. Umat membutuhkan sebuah institusi negara sebagai pihak yang memiliki kekuatan untuk membungkam stigma negatif terhadap Islam serta menunjukkan keagungan Islam dalam mewujudkan rahmatan bagi seluruh alam. Wallahu’alam bisshowab.
Views: 34
Comment here