Oleh Fathiya Hasan(Aktivis Dakwah)
wacana-edukasi.com– Penangkapan salah seorang pengurus MUI, Zain An Najah, terkait dugaan terorisme oleh Densus 88 menjadi penyebab munculnya tagar ‘Bubarkan MUI’. Tagar ini kemudian mendapat penolakan dari berbagai pihak. Dukungan terhadap MUI kemudian bermunculan untuk mencegah wacana tersebut terealisasikan.
Sekjen MUI Amirsyah menilai tagar ‘Bubarkan MUI’ itu berlebihan. Amirsyah membandingkan dengan oknum dan lembaga lain. Menurutnya wacana tersebut sangat naïf hanya karena adanya seorang pengurus yang terduga teroris lantas MUI harus dibubarkan. Dia melogikakan bahwa jika ada warga bangsa terduga teroris, Indonesia tak akan bubar. Pun jika ada oknum menteri yang terduga korupsi, maka Indonesia tetap utuh (news.detik.com, 20/11/2021).
Di kesempatan yang lain, Sosiolog Prof. Dr. Musni Umar, SH, M.Si, P.hD melalui akun twitternya @musniumar menuliskan “Mereka yang ingin bubarkan MUI adalah komunis dan bukan Muslim. MUI adalah Ormas Islam yang konsisten memberi dukungan kepada pemerintah melalui fatwa, tetapi para pengurusnya kritis dan berani menyampaikan kebenaran dan keadilan. (retizen.republika.co.id, 20/11/2021)
Narasi radikalisme terorisme adalah hal utama yang mendasari munculnya wacana bubarkan MUI ini. penangkapan Zain An Najah lantas menjadi angin segar bagi para pembenci Islam. Isu terorisme kembali merebak dan menjadi kesempatan besar bagi mereka untuk terus menekan dan menancapkan tuduhan kepada Islam dan kaum muslimin.
MUI yang semakin terpojok kemudian memberikan pernyataan bahwa akan memperketat proses rekrutmen anggota untuk mencegah adanya tindakan pidana teroris. Padahal kalau boleh diusut ke belakang, penangkapan Zain An Najah ini terjadi tak lama setelah keluarnya hasil ijtimak MUI yang menyatakan bahwa Khilafah dan Jihad adalah bagian dari Syariat Islam. Dua hal ini sudah bukan rahasia lagi telah menjadi istilah yang paling diantisipasi oleh rezim dan pembenci Islam karena dianggap sebagai ancaman bagi pancasila dan keutuhan NKRI meski hal tersebut hanya tuduhan tanpa bukti.
Apakah hal tersebut ada korelasinya atau tidak, namun banyak sekali fakta lain yang telah menunjukkan antipati terhadap syariat Islam. Ulama yang kritis terhadap kebijakan rezim yang mengabaikan kepentingan rakyat justru dikriminalisasi. Majelis taklim dicurigai, pondok pesantren diwaspadai. Anak-anak penghafal Al Quran dituduh sebagai cikal bakal teroris. Bahkan kotak amal dan jualan kurma pun menjadi alasan mereka untuk terus menggelontorkan tuduhan tanpa bukti itu.
Sementara itu, kita tahu bahwa Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua yang sangat jelas perbuatannya mengancam nyawa tidak dianggap teroris. Koruptor yang semakin menjamur dan membudaya di kalangan pejabat yang jelas-jelas merugikan negara dianggap biasa saja. Namun narasi terorisme dan radikalisme yang melibatkan Islam dan kaum muslimin semakin kuat.
Narasi inilah yang kemudian melahirkan islamophobia. Tak hanya non muslim yang mengalami, namun dalam diri ummat islam pun semakin banyak yang waspada terhadap agama sendiri. Stigma negatif yang ditanamkan kepada islam lantas berakhir pada kesimpulan bahwa semakin fanatik dalam beragama maka semakin dekat dengan paham radikalisme dan terorisme.
Setelah MUI tersentuh dengan isu ini, maka akan menjadi alasan kuat untuk membungkam ulama-ulama kritis. Lantas dikhawatirkan, MUI semakin lemah dan hanya menjadi lembaga fatwa yang mengakomodasi program penguasa karena hanya diisi oleh orang-orang yang tak berani melawan kebijakan pemerintah sekalipun bertentangan dengan kepentingan rakyat dan syariat islam.
Ulama, bagi kaum muslimin sangat mulia kedudukannya. Karena Allah sendiri yang menempatkan kedudukannya dalam kemuliaan. Ulama dijadikan rujukan karena ilmunya dan menjadi teladan karena amalannya. Tugas ulama tak sekedar menyampaikan yang makruf (amar Makruf) namun juga mencegah dari yang mungkar (nahyi munkar). Terlebih kepada kebijakan penguasa yang tidak sejalan dengan syariat, maka seorang ulama wajib untuk meluruskan agar tidak terjadi kemungkaran sehingga ummat dan negara terhindar dari keadaan yang berbahaya.
Dalam sebuah hadits panjang, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada:
“Siapa saja yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, Allah memperjalankannya di atas salah satu jalan surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap mereka karena rida kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada di dasar lautan. Sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban)
Meski para ulama bukan nabi dan tidak dapat menggantikan para nabi, tetapi mereka bertugas untuk berdakwah di jalan Allah SWT dan mengajarkan agamaNya seperti halnya para Nabi. Sehingga mejadi tidak pantas jika seorang ulama atas ilmu dan tugasnya lantas diatur dan disesuaikan dengan keininginan manusia. Dalam hal ini adalah rezim yang berkuasa.
Ulama harus kembali kepada tugasnya dalam beramar makruf nahyi mungkar seperti yang dilakukan oleh para nabi dan rasul. Sehingga penting bagi kita untuk mendukung MUI untuk tetap berdiri dengan tujuannya ber amar makruf nahyi mungkar, mengajak dan menyeru penguasa dan rakyat untuk menerapkan sistem Islam kaffah. Bukan malah menjadi alat penguasa untuk mengendalikan ummat.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb
Views: 7
Comment here