Opini

Permen PPKS, Sebagai Solusi atau Liberalisasi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Siti Komariah (Freelance Writer)

wacana-edukasi.com– Kasus kekerasan seksual memang telah menjadi wabah di belahan bumi Pertiwi ini. Baik dalam tatanan perkantoran, perkampungan, tanpa terkecuali Perguruan Tinggi. Kasusnya pun kian mengkhawatirkan. Dalam lingkup Perguruan Tinggi saja, menurut survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat, 77 persen dosen mengakui tindak kekerasan seksual terjadi di lingkup perguruan tinggi.

Kemudian, 63 persen diantaranya memilih untuk tidak melaporkan tindak kekerasan seksual yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan mereka khawatir terhadap stigma negatif dari masyarakat yang akan disematkan kepada penyintas.

Kondisi inilah yang diklaim oleh Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbud Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Tuai Pro Kontra
Peraturan yang digadang mampu menjadi solusi kekerasan seksual di dunia PT nyatanya menuai polemik dari berbagai pihak, sebab dianggap sebagai jalan legalisasi seks bebas, merusak standar moral mahasiswa, bahkan dianggap represif. Sebagaimana yang disampaikan oleh anggota Komis X DPR, Illiza Sa’aduddin Djamal. Dia menyebut isi Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun yang dianggap merusak standar moral mahasiswa.

“Sebaiknya itu dievaluasi kembali atau dicabut karena peraturan ini secara tidak langsung dapat merusak standar moral mahasiswa,” terang Illiza Sa’aduddin Djamal seperti dikutip dari. ANTARANEWS , Selasa, 9 November lalu.

Lebih lanjut, Illiza juga mengungkapkan bahwa dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan yang dibenarkan meski dilakukan di luar pernikahan.

Selain itu, pihak Muhammadiyah, Prof H Lincolin Arsyad selaku Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga menerangkan bahwa pasal 5 Permendikbud Ristek Nomor 30 tersebut memiliki makna terhadap legalnya perbuatan seks bebas dan asusila.

“Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 5 Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meski pun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” jelas Prof H Lincolin Arsyad, seperti dilansir dari ANTARANEWS , Senin, 8 November 2021.

Pada Permendikbud Ristek Nomor 30 yang selanjutnya disingkat menjadi PPKS tersebut tidak hanya menekankan kemungkinan kekerasan seksual yang terjadi pada mahasiswa, namun pada pendidik, hingga tenaga kependidikan.

Liberalisasi dalam Perguruan Tinggi
Meski berbagai penolakan telah dilayangkan, Namun nyatanya pemerintah tetap ngotot menerapkan Permendikbud tersebut. Padahal, kika ditelisik seyogianya peraturan Permendikbud tidak mampu menjadi solusi bagi pemberantasan kekerasan seksual di kampus. Namun, peraturan tersebut justru semakin mengokohkan paradigma kesetaraan gender dan liberal di berbagai lini. Bahkan, peraturan itu berpotensi memberikan perlindungan kepada penyimpangan perilaku seksual, seperti LBGT. Sebagaimana tertuang dalam pasal 5 ayat 2 bagian (a) yang menyebutkan bahwa “menyampaikan ujuran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.

Ya, maksud “identitas gerden” di sini, bukan hanya sekedar perempuan atau laki-laki saja, namun bisa jadi para kaum Gay dan Lesbian. Artinya, siapapun yang mengkiritisi keberadaan mereka di kampus, akan dianggap sebagai diskriminasi dan termaksud dalam pelecehan seksual. Sungguh Nahas.

Selain itu, penetapan sanksi bagi perguruan tinggi yang tidak menerapkan aturan ini semakin menjadi bukti jika rezim semakin represif. Sebab, sanksi tersebut secara tidak langsung menjadi pembungkam bagi mereka yang ingin mengkritisi. Bagi kelompok masyarakat pun demikian, rezim mengabaikan aspirasi/penolakan masyarakat terhadap Permendikbud ini.

Penerapan kebijakan yang kian liberal tidak terlepas dari keberadaan sistem kapitalis sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini pun mengobrak abrik seluruh tatanan kehidupan manusia, mulai dari tatanan keluarga, kesehatan, politik, pendidikan dan lainnya.

Nasib generasi dalam sistem kapitalisme pun diambang kehancuran. Negara yang seharusnya melindungi dan menjaga masa depan generasi justru mengamini dan mendukung segala faktor yang dapat merusak masa depan mereka. Dengan dalih mencegah kekerasan seksual dalam dunia kampus, negara justru melindungi legalisasi perzinahan dan penyimpangan perilaku dengan payung undang-undang.

Sungguh ironis, padahal perguruan tinggi/kampus adalah tempat guna mencetak agen of change. Namun dalam sistem kapitalisme sistem pendidikan justru dijadikan alat untuk mengobok-gobok pemikiran generasi agar semakin liberal. Pemisahan agama dari kehidupan yang berasas pada materi membuat generasi tidak lagi memikirkan masa depan bangsa. Mereka hanya fokus untuk mencari kebahagian dunia yang fana.

Islam the Solution
Dalam Islam generasi merupakan aset yang sangat penting. Mereka dijaga dan dibina dengan sebaik-baiknya. Sebab, generasi merupakan penentu peradaban bangsa. Baik buruknya generasi merupakan penentu baik buruknya sebuah negara. Sehingga Islam menaruh perhatian besar dalam sistem pendidikan, sebab sistem pendidikan merupakan faktor penting penunjang terciptanya generasi yang unggul, cerdas dan memiliki pemikiran cemerlang.

Dalam Islam sistem pendidikan berasaskan pada akidah Islam. Kurikulumnya pun sesuai dengan syariat Islam. Prinsip utamanya mencetak generasi unggul yang taat pada aturan Illahi. Dia juga memiliki tugas mengkokohkan pondasi keimanan para generasi guna mencari jati diri mereka, hingga mereka tidak tersesat dalam mencari jati dirinya, serta mampu menyelesaikan segala masalah sesuai aturan Islam. Sehingga, terbukti jika sistem pendidikan dalam Islam mampu menciptakan generasi-generasi yang tangguh dan harum namanya hingga kini.

Kemudian penentu suatu kejahatan dalam Islam jelas berdasarkan syariah Allah, bukan persetujuan manusia walaupun atas nama HAM. Sehingga, melakukan hubungan di luar nikah, walaupun hal tersebut mendapat persetujuan maka dianggap sebagai tindak kejahatan. Sebab, dalam Islam perbuatan itu adalah perbuatan perzinahan dan harus mendapat hukuman. Apalagi dengan berbagai perilaku menyimpang, seperti Gay, Lesbian, homo seksual dan penyimpangan penyakit lainnya.

Sedangkan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, negara Islam memiliki beberapa poin, yaitu.

Pertama, negara mendorong individu rakyat agar taat dan tunduk kepada Allah. Dengan keimanan kepada Allah, maka rakyat akan takut berbuat kemaksiatan, sebab azab Allah sangat pedih. Ditambah dengan menciptakan suasana religius di tengah-tengah masyarakat, maka rakyat akan semakin mendekatkan diri kepada Allah.

Kedua, kontrol masyarakat. Dalam Islam masyarakat memiliki andil besar dalam memantau, serta bera’mar makruf nahi mungkar kepada sesama manusia. Pun masyarakat mengontrol jika terjadi tindak kejahatan seksual atau yang lainnya, maka masyarakat akan melaporkan pada negara.

Ketiga, negara membendung masuknya situs-situs yang merusak pemikiran anak bangsa, seperti LGBT, porno aksi, dan lainnya. Media digunakan untuk menyampaikan Islam ke seluruh negeri. Dijadikan sebagai sarana dakwah.

Keempat, negara menjamin terpenuhinya perekonomian bangsa. Sebab, salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual adalah faktor ekonomi. Perempuan yang seharusnya dihormati dan tugas utamanya mendidik anak. Dalam sistem kapitalisme justru dieksploitasi dan banting tulang guna membantu perekonomian bangsa. Akibat minimnya perlindungan negara tak jarang perempuan banyak yang mengalami Kekerasan seksual.

Kelima, adanya sanksi tegas dan menjerakan. Islam akan menjatuhkan sanksi bagi pelaku sesuai syariah. Jika pria pelakunya belum menikah (ghayr muhshan) maka dia akan dicambuk seratus kali, sedangkan jika pelakunya telah menikah (muhshan) maka akan dijatuhi hukuman rajam hingga mati. Allah SWT berfirman: “Pezina wanita dan pezina laki-laki yang berzina, cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali cambukan” (TQS an-Nur [24]: 2).

Adapun korban perkosaan terbebas dari hukuman sebagaimana sabda Nabi saw: “Sungguh Allah memaafkan umatku karena tidak sengaja berbuat salah, lupa dan dipaksa” (HR Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

Tindak kejahatan seksual lain semisal meraba, ujaran kata-kata kotor, merayu, dsb juga tidak lepas dari sanksi berupa ta’zir, yang akan diputuskan oleh qadhi (hakim) di pengadilan. Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm menyebutkan bahwa orang yang berusaha melakukan zina dengan perempuan namun tidak sampai melakukannya, maka dia akan diberi sanksi tiga tahun penjara, ditambah hukuman cambuk dan pengasingan.

Hukuman yang diberikan akan dimaksimalkan jika korbannya adalah orang yang berada di bawah kekuasaannya seperti pembantu perempuannya, pegawainya (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm, hlm. 93).

Adapun LGBT, juga praktik homoseksual dan lesbianisme, adalah kejahatan yang pelakunya diancam dengan sanksi berat. Nabi saw. bersabda: “Siapa saja yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya” (HR Ahmad).

Wallahu A’alam Bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 15

Comment here