Opini

Liberalisasi Masuk Kampus

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Hasni Surahman Rahantan (Mahasiswi & Member AMK)

wacana-edukasi.com– Sejak hembusan Peraturan Pemerintah (Permen) kontroversial ini ditolak oleh berbagai pihak, kini Rancangan Undang-undang (RUU) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) memasuki babak baru.

Seperti penjelasan Nadiem Makarim (Mendikbudristek) bahwa pemerintah akan memberlakukan sanksi bagi pihak yang melanggar Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang RUU PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi (detikcom,15/11/2021).

Dua poin sanksi yang dilontarkan Mendikbudristek di antaranya, penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk perguruan tinggi dan penurunan tingkat akreditasi untuk perguruan tinggi.

Sanksi permen di atas menunjukan adanya liberalisasi atau kebebasan di kampus, sekaligus adanya indikasi pemerintah yang represif, yang mengekang taji kritis kaum intelektual pada instansi-instansi terkait melalui rumusan aturan.

Permen kontroversial ini sebelumnya telah dikritisi oleh berbagai pihak (Majelis Ormas Islam (MOI), MUI, & Fraksi PKS), dengan alasan permen ini secara tidak langsung telah melegalisasi perzinaan.

Dengan adanya tinjauan aspek ‘consent’ atau ‘konsensual (persetujuan)’ yang menjadi syarat aktivitas seksual. Karena tertuang jelas pada pasal 5 ayat 2 huruf L dan M disebutkan kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi :

L. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa sepertujuan korban.

M. Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.

Penolakan dari berbagai ormas di atas nampaknya tidak mengubah keputusan Mendikbudristek. Adanya penolakan dari berbagai lapisan masyarakat menunjukan ada yang salah dalam permen PPKS, jika permen ini benar maka akan diterima oleh masyarakat. Permen tidak menjadi solusi kekerasan seksual di kampus namun justru mengokohkan paradigma kesetaraan gender (persamaan hak laki-laki & perempuan).

Dali yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam pengesahan RUU PPKS ini adalah naiknya angka kekerasan seksual di Indonesia menurut ketua komnasperempuan Andy Yentriyani per juni 2021, sebanyak 2.592 kasus. RUU ini dianggap akan memberi perlindungan bagi korban dan pencegahan terjadinya kekerasan seksual.

Maraknya kasus kekerasan, kejahatan, dan pelecehan seksual tidak hanya masalah individu yang tak mampu menjaga diri. Bukan juga persoalan budaya patriarki dan masalah ketaksetaraan dan ketimpangan gender.

Namun, karena penerapan sistem sekularisme liberal, sekularisme menjamin kebebasan berpendapat, dan bertingkah laku sebab ia memisahkan agama dengan kehidupan yang melahirkan manusia-manusia bejat.

Sistem sekularisme di adopsi negeri ini, sehingga tidak heran wajah perguruan tinggi saat ini tidak lagi menjadi institusi yang melahirkan kaum intelektual generasi penerus peradaban. Ironisnya, justru mencetak generasi hedonis, liberal, minus moral dan etika, nir pemimpin, pembebek, yang sibuk meraih sederet gelar demi memenuhi permintaan pasar & penerus tikus berdasi.

Agama tak lagi dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat. Mudah bagi siapa pun melakukan perundungan atau pelecehan tanpa ampun. Masalah kekerasan seksual tidak akan selesai meski punya payung hukum sekalipun. Sebab, problem utama banyaknya kekerasan belum dituntaskan secara fundamental.

Kita semua sepakat bahwa manusia adalah makhluk terbatas, baik secara fisik maupun pemikiran. Sejenius-jeniusnya manusia ketika membuat aturan pasti ada pertentangan, pro kontra dari pihak yang lain. Sebab kita semua punya sudut pendang yang berbeda dalam menghukumi sebuah fakta. Maka dari itu manusia membutuhkan sandaran dari zat yang tidak lemah, yang darinya melahirkan aturan sempurna yang tidak dapat diintervensi oleh makhluk manapun di dunia ini.

Jika ingin membersihkan rumput liar tidak bisa dengan metode memangkas, sebab ia akan berkamuflase kembali. Satu-satunya cara yang tersisa mencabut rumput liar itu beserta akar-akarnya, sampai ia tidak punya alasan untuk hidup lagi.

Sistem pendidikan Islam menggunakan kurikulum yang berlandaskan akidah Islam. Politik pendidikan Islam bagaimana membentuk pola pikir dan pola jiwa islami.
Tujuan pendidikan dalam Islam
(1). Memiliki kepribadian Islam
(2). Handal menguasai pemikiran Islam
(3). Menguasai ilmu-ilmu terapan IPTEK (ilmu, pengetahuan, dan teknologi)
(4). Memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Pembentukan kepribadian Islam dilakukan pada semua jenjang pendidikan TK, SD SMP, SMU, dan PT. Materi yang diberikan bersifat (pembentukan, peningkatan, dan pematangan) guna memelihara sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatannya dengan syariat Islam.

Di sinilah urgensi menghadirkan sistem pendidikan dan kurikulum Islam yang mengemban pendidikan shahih sebagai instrumen ketakwaan dan pencetak generasi berkepribadian Islam.
Dengan Islam, kampus dapat mengambil peran menyelenggarakan pendidikan yang tujuan dan hasilnya akan bermanfaat untuk kemaslahatan dan hajat hidup masyarakat.

Wallaahu a’lam bishshawwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here