Oleh: Niqi Carrera
wacana-edukasi.com– Jagat twitter lokal sempat viral dengan tagar #BubarkanMUI. Tagar tersebut muncul lantaran tiga anggota MUI ditangkap Densus 88. Ide pembubaran MUI menuai penolakan banyak pihak. Seperti Bambang Soesatyo (ketua MPR), KH. Maruf Amin, KH. Said Aqil, Din Syamsuddin, Prof. Suteki, Romo Benny hingga Persatuan Gereja Indonesia (PGI). Karena hal ini dinilai tidak relevan dan tidak logis.
Analoginya, apakah setiap kesalahan yang dilakukan seseorang, maka sebuah institusi harus dibubarkan?
Semisal ada seorang alumnus dari Perguruan Tinggi ternama kemudian terlibat kasus korupsi, apakah PT tersebut harus dibubarkan? Atau ada seorang pejabat terlibat kasus korupsi, apakah lembaganya harus dibubarkan?
Logika ini sangat tidak masuk akal dan patut dikritisi lebih lanjut. Sebenarnya ada apakah di balik tagar pembubaran MUI?
Tahun 1975 pemerintahan Soeharto membentuk MUI sebagai penghubung dengan umat islam Indonesia yang banyak jumlahnya. Baik yang sudah menginduk pada organisasi maupun yang belum. Sampai sekarang pun MUI dipandang sebagai wadah persatuan para ulama, cendekiawan muslim dan zuama. Mereka berjuang bersama untuk menjaga bangsa ini agar sesuai dengan syariat Islam.
MUI adalah wadah dari para ulama bangsa. Dan harus diingat bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Jasanya terhadap bangsa ini juga tidak perlu diragukan. Sudah ratusan fatwa yang telah dikeluarkan. Meski banyak yang mengundang kontroversi, dari soal Khalifah, larangan merokok, golput, Surat al-Maidah ayat 51 dalam kasus Ahok hingga vaksin Covid-19. Meski demikian dedikasinya dalam membimbing umat islam, menjaga moral publik dan keutuhan bangsa, patut diapresiasi.
Dengan sikap moderat dan mengayomi kebhinekaan yang sudah diakomodir oleh MUI, sebenarnya memantik kekritisan nalar lebih jauh. Mengapa dalam lembaga ini isu teroris diacungkan? Padahal sudah jelas salah alamat.
Adakah mungkin fatwa dan pendapat MUI yang membuat rezim kepanasan? Ataukah level islomophobia bangsa ini sudah semakin akut? Ataukah ada pihak yang tidak suka melihat kaum muslimin taat dengan syariatnya sendiri? Siapakah pihak tersebut, rezim yang berkuasa ataukah pihak asing?
Jika kita amati baru-baru ini MUI sepakat untuk menolak terbitnya Permendikbudristek 30/2021 yang dikeluarkan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim. Dikarenakan Permen tersebut memuat frasa persetujuan korban yang dinilai akan menjadi jalan pelegalan perzinahan. Di poin itulah MUI tidak sepakat, dan menginginkan adanya revisi.
Penolakan tersebut sebenarnya adalah salah satu upaya MUI untuk mengkoreksi penguasa. Pemerintah tetap hanyalah manusia yang harus senantiasa diingatkan agar kembali menapaki jalan yang benar. Jika regulasi pemerintah tidak dikoreksi maka seluruh rakyatlah yang nanti akan menanggung dampak buruknya.
Begitupun sikap MUI terhadap tema khilafah dan jihad yang ramai diperbincangkan. MUI membenarkan bahwa keduanya adalah ajaran islam. Sehingga rakyat dan pemerintah diharapkan tidak lagi memberi stigma negatif pada kedua konsep tersebut. Disini MUI sebagai ulama menjalankan tugasnya untuk membimbing umat agar tercerahkan dengan pemikiran yang benar. Sehingga rakyatpun tidak terpecah belah akibat perdebatan tanpa titik.
Demikian pula ketika MUI mengeluarkan fatwa dan legalisasi halal atas sebuah aktivitas atau benda. Dengan label halalnya, umat menjadi nyaman karena tak lagi bingung untuk berbuat atau membeli suatu produk. Saat pandemi, MUI tetap membimbing umat dengan memberikan fatwanya tentang cara beribadah, merayakan hari Raya sampai tentang vaksin.
Kembali berbicara tentang terorisme. Jika mengacu pada Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas (id.wikipedia.org). Jika dibaca pada laman tersebut, masih banyak definisi terorisme dan belum satu suara.
Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., terorisme merupakan pandangan yang subjektif (id.wikipedia.org).
Sampai sekarang frasa tersebut memang masih dalam perdebatan. Belum menemukan definisi yang diamini bersama. Tentang sebenarnya siapa yang masuk dalam kategori teroris. Apakah label teroris yang hanya disematkan pada muslim yang dianggap berjenggot, celana cingkrang dan radikal?
Sebagai contoh, ada sebuah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua yang jelas memberi teror mencekam ditengah warga. Bahkan membuat ratusan nyawa melayang. Bahkan begitu berani mengibarkan bendera separatisme tiap perayaan “hari kemerdekaan” kelompok separatis tersebut. Tapi tetap tidak masuk kategori teroris, meski mereka juga berjenggot. Mengapa? Karena mereka bukan muslim? Disinilah definisi teroris jadi kabur dan berbau islamofobia.
Uniknya, sesuatu yang masih diperdebatkan itu justru dijadikan tolak ukur labelisasi. Bahkan dijadikan alat untuk membubarkan sebuah organisasi besar seperti MUI. Ironi bukan?
Hidayat Nur Wahid memandang framing terhadap MUI merupakan agenda islamofobia dan sebuah pelecehan terhadap institusi keagamaan yang moderat (republika.co.id, 19/11/2021). Sudah seakut itukah islamofobia di negeri yang mayoritas muslim ini? Negara ini bukan negara islam, tapi mayoritas muslim. Apakah ada pihak yang tidak suka jika orang muslim taat pada syariatnya? Siapa itu? Karena ketika arus islamofobia semakin kuat, bisa jadi lambat laun kenyamanan beribadah kaum muslimin akan terkikis.
Padahal tren publik yang pro syariah semakin tahun semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dengan survey yang dihelat LSI Denny JA menemukan bahwa publik yang pro terhadap NKRI Syariah mengalami peningkatan. Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa menyebutkan dalam kurun waktu 13 tahun, ada kenaikan persetujuan publik terhadap NKRI bersyariah sebesar 9 persen (nasional.kompas.com, 17/07/018).
Sekali lagi MUI adalah lembaga para ulama. Siapakah yang akan menjadi pelindung bagi para ulama saat ini? Sebab, kapan saja penangkapan serupa bisa terjadi. Meski dalam hukum sekuler ada asas praduga tidak bersalah, sayangnya jika terkait perkara tindakan terorisme, biasanya hal itu tidak berlaku. Hukum menjadi tumpul, tersangkanya pun bisa langsung “didor” tanpa melalui proses pengadilan.
Terkadang jalan begitu terjal untuk mendapatkan keadilan dalam timbangan hukum sekuler. Apalagi keadilan untuk ulama yang berdiri tegak di hadapan penguasa zalim. Walaupun begitu, ulama wajib tetap menjalankan tanggung jawabnya dalam membimbing umat. Dan kita harus bersatu padu membela para ulama yang lurus agar umat bisa senantiasa tercerahkan dengan Islam. Wallahu alam.
Views: 15
Comment here