Opini

Liberalisasi Sumber Depresi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Nurmilati

wacana-edukasi.com– Kamis, 2 Desember 2021, warga Kecamatan Sooko, Mojokerto digegerkan dengan penemuan jasad seorang mahasiswi di areal pemakaman. Diduga korban bunuh diri, sebab di sampingnya ditemukan sisa cairan racun dalam botol plastik. Setelah dilakukan penyelidikan oleh pihak kepolisian, Novia Widiasari mengakhiri hidupnya karena mengalami depresi berat setelah mengalami kekerasan seksual hingga hamil. Kekasihnya yang diketahui seorang anggota polisi Pasuruan, sebelumnya meminta korban untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali, pertama saat usia kehamilan masih hitungan minggu, dan kedua berusia 4 bulan. Kompas (5/12/2021).

Merespons peristiwa memilukan tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Bintang Puspayoga mengungkapkan, kasus yang menimpa Novia Widiasari adalah bentuk dating violence atau kekerasan dalam berpacaran.
“Ini adalah bentuk dating violence, korbannya didominasi perempuan dan setiap kekerasan merupakan pelanggaran HAM, sebab hal ini dapat menimbulkan penderitaan secara fisik, seksual dan psikologis serta merampas hak kemerdekaan seseorang baik di ranah publik maupun dalam kehidupan pribadi,” detikNews (5/11/2021).
Maka dari itu, polisi diminta mengusut tuntas kasus ini dan pelaku Bripda Randy Bagus diproses hukum.

Selain itu, KemenPPPA membuka call center di nomor 08111-129-129 bagi perempuan atau anak yang menjadi korban kekerasan supaya segera mendapatkan pertolongan dan pendampingan.

Ketua DPR RI Puan Maharani ikut angkat bicara dan menilai kekerasan terhadap perempuan sangat tidak dibenarkan. Maka, pengesahan dan RUU Tindak Pidana dan Kekerasan Seksual (TPKS) harus secepatnya dilakukan, supaya menjadi payung hukum bagi perlindungan setiap rakyat Indonesia dari segala bentuk kekerasan seksual, guna mencegah kian maraknya kasus serupa. Sehingga, tidak menjadi potret buruk Indonesia. Liputan6.com (6/12/2021).
Lantas, apakah tindakan yang dilakukan pemerintah, mulai dari menangkap pelaku, mengadili, sekaligus pemberhentian tidak hormat, hingga pengesahan RUU TPKS menjadi solusi tuntas atas permasalahan ini, sehingga kasus serupa tidak terulang kembali?

Depresi Rentan Bunuh diri

Jika dicermati, solusi yang diambil pemerintah atas beragam persoalan yang terjadi di negeri ini, tidak pernah menunjukan hasilnya, termasuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terlihat dari makin maraknya peristiwa memilukan yang menimpa kaum hawa, seperti kasus bunuh diri yang terjadi baru-baru ini.

Untuk diketahui, kasus bunuh diri sebagian besar disebabkan oleh depresi berat. Seperti pada kasus NWS, bermula dari pergaulan bebas hingga mengakibatkan kehamilan di luar nikah, ketidaksiapan menjadi seorang ibu, tidak adanya kehadiran orangtua saat anak ditempa masalah, dan hukuman sosial dari lingkungan sekitar, terlebih tipisnya keimanan, menjadikan aborsi sebagai solusi karena beranggapan dengan mengakhiri hidup, bisa terlepas dari persoalan hidup yang membelitnya, dan kasus seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Menurut data Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN) 2019, Kementerian Kesehatan RI mengatakan, di Indonesia terdapat lebih dari 16.000 kasus bunuh diri setiap tahunnya dan itu terus meningkat, terlebih saat kondisi pandemi. Sedangkan, percobaan bunuh diri sampai 25-30 kali lebih banyak ketimbang kasus bunuh diri. Menurut sebuah penelitian, tindakan nekat tersebut bisa menular, apalagi jika terekspos, rentan ditiru orang terdekatnya ataupun oleh orang lain. Sehingga menurut Ketua Umum Ikatan Psikologi Klinis (IPKI) Indonesia, Dr Indria Laksmi Gamayanti, bunuh diri perlu mendapatkan perhatian. Sebab, ini adalah fenomena gunung es, di mana kejadian yang diketahui jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah kasus sebenarnya. Kompas.com (12/9/2021).

Melihat data yang disajikan, mengindikasikan bahwa kondisi psikologis sebagian masyarakat di Tanah Air sedang tidak baik-baik saja, tentu ini ada pemicunya. Misalkan, seseorang yang sering merasakan kegagalan berulang kemudian putus asa, bullying, tekanan ekonomi, perselingkuhan, narkoba, perasaan tidak dihargai, dan lainnya. Hal tersebut akan membuat seseorang stres, sedangkan stres yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan mudah depresi, dan ini rentan membawa seseorang pada keinginan mengakhiri hidupnya.

Apabila dicermati lebih mendalam, rentannya manusia mengalami depresi bukan hanya disebabkan oleh perbuatan individu semata, tapi ada perkara sistemik yang menghadirkannya. Sistem sekularisme liberalisme berkontribusi besar atas beragamnya persoalan masyarakat, termasuk kasus bunuh diri yang diakibatkan perzinaan dan aborsi. Penerapan sekularisme, (pemisahan agama dari kehidupan), liberalisme (kebebasan bertingkah laku) sebagai standar pergaulan di negeri ini, telah mengikis keimanan dalam diri manusia dan menjauhkan takwa dari standar aktivitasnya, sehingga tidak lagi berpikir halal haram dalam setiap melakukan perbuatan. Paham sekularisme liberalisme yang diadopsinya menjadikan agama tidak disertakan dalam kehidupan. Maka, sekularisme liberalisme inilah yang menjadi biang masalah munculnya berbagai tingkah laku yang bertentangan dengan aturan Islam.

Cukupkah Payung Hukum sebagai Pelindung?

Sementara itu, menanggapi kian maraknya kekerasan seksual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, pemerintah mengeluarkan peraturan dengan disahkannya Permendikbud Ristek PPKS yang bertujuan mampu memberi wadah kepada korban agar mendapatkan perlindungan. Namun, peraturan menteri ini menuai polemik di berbagai kalangan. Sebab kebijakan ini dibuat hanya sebatas solusi supaya korban percaya terhadap negara dalam memberikan perlindungan dan menghukum pelakunya. Pada pasal 5 ayat 2, terdapat frase dengan persetujuan korban, sehingga dari kalimat tersebut, jika perbuatan itu dilakukan atas dasar kemauan keduanya, maka para pelaku tidak dijerat hukum. Padahal, meski dilakukan tanpa paksaan, perbuatan tersebut dikatakan zina dan ini diharamkan dalam Islam. Walhasil, secara tidak langsung Permendikbud Ristek melegalkan seks bebas. Maka dari itu, alih-alih kebijakan tersebut bertujuan untuk menyolusi permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan, justru menimbulkan permasalahan lain yang mengikutinya, sebab sejatinya solusi liberal menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Oleh karena itu, harus ada suatu sistem yang dapat menyelesaikan berbagai problematika yang ada.

*Kembali kepada Hukum Islam Secara Paripurna*

Satu-satunya sistem yang mampu menyolusi bermacam persoalan hidup manusia adalah sistem yang diberikan oleh Allah SWT dengan seperangkat aturan yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa.

Oleh karena itu, marilah kita sebagai umat Islam kembali pada hukum yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta, yakni hukum syariah sebagai landasan kehidupan kita. Segeralah campakan sekularisme liberalisme yang akan menjauhkan kita dari Allah SWT, yang berbuntut pada kehancuran dan kebinasaan. Pijakan hukum Islam akan merealisasikan kehidupan pribadi bertakwa, tatanan masyarakat Islami yang penuh dengan nuansa keimanan yang menghadirkan ketentraman di berbagai aspek kehidupan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 10

Comment here