Oleh: Ratni Kartini, S.Si (Pemerhati Kebijakan Publik)
wacana-edukasi.com– Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ruandha Agung Sugardiman memaparkan data deforestasi pada 1990-2020. Dari grafik terlihat, pada 2019-2020 angkanya sebesar 115,5 ribu ha, sedangkan deforestasi 2018-2019 sebesar 462,5 ribu ha. Data itulah yang dikutip Presiden Jokowi di KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia bahwa deforestasi di Indonesia 2019/2020 terendah dalam 20 tahun terakhir, yakni sebesar 115,5 ribu ha (Www.detik.com, 13/11/2021).
Berbeda dengan yang disampaikan Presiden Jokowi, Greenpeace Indonesia menyampaikan bahwa deforestasi di Indonesia justru meningkat dari sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Lembaga ini juga menyebut penurunan angka kebakaran hutan dan lahan pada 2020-2021 lebih disebabkan oleh gangguan anomali fenomena La Nina, bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah (Www.detiknews.com, 10/11/2021).
Tentu saja perbedaan data deforestasi antara pihak pemerintah dengan pihak Greenpeace, tidak menampik adanya deforestasi itu sendiri. Turun ataupun naiknya deforestasi, yang jelas telah menunjukkan bahwa deforestasi menjadi tumbal dari program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Bahkan dikatakan oleh menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya bahwa deforestasi tidak boleh berhenti, agar pembangunan besar-besaran di era Jokowi tetap berjalan.
Jika pembangunan harus tetap berjalan, apakah deforestasi harus menjadi suatu keharusan? Lalu bagaimana Islam memandang deforestasi?
Akar Masalah Deforestasi
Pembangunan yang saat ini jor-joran dilakukan sebagai konsekuensi dari program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Program-program seperti PSN (Proyek Strategis Nasional), PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), hingga food estate (industrialisasi pangan) menuntut adanya deforestasi. Hutan-hutan akhirnya beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan untuk pembangunan infrastruktur secara besar-besaran.
Sayangnya semua itu legal dilakukan karena memiliki payung hukum yang jelas. Sebab semua itu berdasarkan undang-undang resmi. Akhirnya deforestasi ini akan terus berlangsung, selama proyek-proyek pembangunan tetap ada. Apalagi setelah disahkannya UU Cipta Kerja yang memberi peluang tergenjotnya deforestasi lebih cepat.
Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia adalah salah satu dari lima negara teratas dunia yang kehilangan banyak area hutan selama dua dekade terakhir. Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020. Meski adanya kebijakan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) dan instruksi presiden terkait penghentian izin baru di hutan alam primer dan gambut, tetap saja deforestasi tidak bisa dihindarkan. Begitupun adanya beberapa upaya reboisasi, melalui pertumbuhan alami atau penanaman kembali, tidak mampu untuk melawan arus percepatan deforestasi itu sendiri.
Cegah Deforestasi dengan Sistem Islam
Islam sangat menjaga lingkungan hidup tempat manusia berada. Islam melarang manusia untuk melakukan kerusakan di muka bumi. Konsep pembangunan dalam Islam sangat berbeda orientasinya dengan sistem Kapitalisme. Kalau dalam sistem kapitalisme orientasi pembangunannya lebih kepada keuntungan materi yang akan diraih. Tanpa melihat dari dampak yang dihasilkannya. Sedangkan dalam Islam justru sangat menjaga lingkungan.
Oleh karena itu, pembangunan di kawasan hutan harus didasarkan pada maslahat manusia secara umum, bukan hanya untuk segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Syariat Islam telah mengatur secara terperinci terkait hal tersebut. Islam telah mengategorikan kepemilikan hutan pada kepemilikan umum, sehingga tidak boleh ada individu atau pihak swasta yang menguasainya. “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan), air, dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Negara tidak boleh mengubah hutan menjadi lahan perkebunan walaupun hal itu menghasilkan pemasukan negara. Pembangunan infrastruktur dan juga perumahan dilakukan karena semata-mata untuk kemaslahatan umat. Pembangunan yang dilakukan tetap akan memperhatikan daerah resapan. Tidak boleh ada pembangunan jika merusak lingkungan.
Pembangunan infrastruktur pun semata untuk kemaslahatan umat sehingga lahan perkebunan dan persawahan milik rakyat akan benar-benar optimal terjaga. Jika harus membangun seperti rumah sakit atau sekolah, negara akan menggantinya dengan sepadan, tidak akan ada polemik pembebasan lahan yang marak terjadi saat ini. Negara akan sangat memperhatikan betul hak rakyatnya.
Diriwayatkan bahwa di zaman Khalifah Umar, salah satu gubernurnya membongkar gubuk reyot seorang Yahudi tua dengan alasan ingin mendirikan masjid besar di atasnya. Laki-laki Yahudi tua ini pun mengadukan kasusnya ke Khalifah Umar. Tindakan gubernur ini pun mendapat mendapatkan kecaman dari Umar. Akhirnya tanah itu dikembalikan kepada Yahudi tua. Dari kisah ini kita mendapat pelajaran bahwa walaupun dengan alasan untuk pembangunan, seorang penguasa tidak boleh sewenang-wenang mengambil hak rakyatnya. Walhasil, pembangunan yang dilakukan dengan memperhatikan lingkungan dan hak-hak manusia lain, tentu akan membawa keberkahan. Wallahu a’lam bishowwab.
Views: 7
Comment here