Oleh. Afifah
wacana-edukasi.com– Miris, beberapa waktu terahir ini banyak terjadi kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Dikutip dari news.okezone.com(05/12/2021) kasus mahasiswi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Novi Widiyasari telah melakukan aborsi sebanyak dua kali hingga nekat bunuh diri.
Kasus lain juga terjadi di Bandung, pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang guru bernama Herry Wirawan terhadap belasan orang santrinya. Kejadian bejat yang berlangsung sejak 2016 itu, telah lahir 9 anak dan dua orang santri lainnya tengah mengandung. (sindonews.com)10/12/2021.
Tentu saja kasus serupa kemungkinan masih banyak yang belum muncul ke publik, seperti fenomena gunung es. Seperti kata pepatah, tak ada asap jika tidak ada api. Saat ini aktivitas pacaran bukan dianggap hal yang tabu, asal suka sama suka tidak ada hukum yang menjeratnya. Hukum akan berbicara ketika terjadi pemaksaan dalam hubungan seksual. Cara pandang seperti inilah yang merebak di tengah-tengah masyarakat.
Sistem pergaulan masyarakat saat ini secara radikal dipengaruhi pola pikir sekuler-liberal. Akibatnya, menjadikan manusia hidup terpisah dari aturan agama dan menjadikan aktivitas kemaksiatan seperti zina, aborsi, atau bunuh diri menjadi hal biasa dilakukan.
Pada dasarnya, marak kekerasan seksual ini bersifat sistemis. Negaralah yang semestinya menempati posisi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kasus kekerasan seksual. Namun faktanya, solusi yang ada masih belum bisa menuntaskan masalah. Seperti dikutip dari Hidayatullah.com (9/12/ 2021), dikabarkan bahwa sebagian besar fraksi di DPR sudah menyetujui draft RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) untuk disahkan menjadi Undang-undang. Namun, banyak Organisasi Islam masih meminta DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU tersebut, sebab masih ada beberapa hal yang kontroversial.
Sebagaimana diketahui, Majelis Ormas Islam (MOI) sudah secara resmi mendatangi DPR dan menyampaikan aspirasi tentang Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, sebab Permendikbud itu masih menggunakan paradigma sexual consent dan relasi gender. Belum tuntas masalah Permendikbud No.30 tahun 2021, kini DPR melangkah lebih jauh lagi untuk mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR, padahal RUU ini juga memuat paradigma sexual consent.
Solusi yang ditawarkan pemerintah masih kontroversi, alih-alih sebagai upaya pencegahan dan perlindungan terhadap korban kekerasan namun hanya akan menambah rentetan panjang kasus kekerasan seksual bahkan melegalkan perzinaan.
Solusi-solusi semacam ini adalah solusi sekuler yang hanya bertolak belakang dari fakta, serta menyelesaikan fakta tersebut di permukaan tanpa menyentuh akar permasalahan. Seharusnya negara memperbaiki tata pergaulan dengan menghapus beragam nilai liberal ditengah-tengah masyarakat diganti dengan sistem pergaulan sohih yang hanya diterapkan dalam sistem khilafah.
Terdapat tiga pilar dalam sistem Islam. Pertama, ketakwaan individu. Kedua, kontrol sosial, dan ketiga peran negara. Islam telah mengatur secara konfrehensif tata cara pergaulan seperti ; harus selalu menundukkan pandangan (ghodul basr), tidak boleh berkholwat (berdua-dua an laki-laki dan perempuan), tidak boleh ikhtilat (campur baur laki2 dan perempuan), berpakaian sempurna, keluar rumah harus izin wali, pergi keluar rumah lebih dari 24 jam harus dengan mahram, dan interaksi laki2 dan perempuan hanya boleh pada wilayah umum (pendidikan, kesehatan, dan jual beli).
Negara akan menindak tegas para penganiaya dan pelaku pelecehan seksual. Sanksi yang ditetapkan akan membuat orang-orang berpikir beribu-ribu kali sebelum melakukan tindakan.
Penerapan hukum secara utuh ini akan menyelesaikan dengan tuntas masalah kekerasan seksual. Akan tetapi, yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab tersebut tidak lain hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam secara utuh, yaitu Daulah Khilafah Islamiah. Wallahualam.
Views: 28
Comment here