Oleh : Sartinah (Pemerhati Masalah Publik)
wacana-edukasi.com– “Di mana ada aktivitas pertambangan, di situ ada kerusakan alam dan derita rakyat.” Tampaknya pernyataan tersebut seiring sejalan dengan realitas saat ini. Dari ujung timur hingga ke barat, konflik di wilayah pertambangan tak kunjung berakhir, termasuk di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Terlebih dengan beroperasinya dua perusahaan tambang milik Cina.
Aktivitas dua perusahaan Cina yakni PT Virtue Dragon Nikel Industri (VDNI) dan PT OSS di kawasan mega industri Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) disinyalir telah memberikan dampak negatif terhadap keberlangsungan hidup masyarakat sekitar tambang. Hal itu mendorong Lingkar Kajian Kehutanan (Link) Sultra untuk terus mengawal perjuangan masyarakat Konawe dan Konawe Utara, agar terbebas dari teror kejahatan lingkungan perusahan penambang.
Ketua Umum Link Sultra, Muhammad Andriansyah Husein mengungkapkan, investasi dua perusahaan asing tersebut membawa petaka bagi masyarakat di bumi Anoa. Dia pun menyebut, berbagai kejahatan lingkungan terus meneror masyarakat. Dari menyebarnya penyakit ISPA akibat debu batu bara hingga hilangnya mata pencaharian warga sekitar lingkar tambang. Link Sultra pun mendesak pemerintah RI untuk menghentikan segala aktivitas PT VDNI dan PT OSS (penasultra.com, 8/12/2021).
Dampak lingkungan dan Sosial
Tak bisa dimungkiri, proyek tambang yang pengelolaannya diserahkan kepada swasta sering kali abai terhadap dampak lingkungan. Hal ini pun kerap memicu konflik antara masyarakat dengan korporasi, juga dengan aparat keamanan yang membela perusahaan. Konflik yang nyaris terjadi di setiap pengelolaan tambang terus berlarut-larut tanpa ada ujung solusinya.
Menurut data akhir tahun Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), hingga akhir 2020 telah terjadi 45 kasus konflik pertambangan. Dengan rincian 22 kasus pencemaran dan perusakan lingkungan, 13 kasus perampasan lahan, 8 kasus kriminalisasi yang menolak tambang, dan 2 kasus pemutusan hubungan kerja. Total konflik tambang yang terjadi di era kepemimpinan Presiden Jokowi sejak 2014 silam sebanyak 116 kasus. (bbc.com, 7/6/2021)
Tak hanya menyebabkan konflik horizontal, aktivitas pertambangan mengakibatkan kerusakan lingkungan akut dan penderitaan masyarakat. Dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan di antaranya, meningkatkan pencemaran lingkungan di perairan akibat limbah dari aktivitas pertambangan; meningkatkan pencemaran debu di udara; menambah pencemaran di wilayah laut; seringnya terjadi banjir; dan lain-lain.
Sementara itu, dampak lingkungan sosial dari aktivitas tambang yakni penurunan pendapatan petani yang gagal panen, berkurangnya tingkat kenyamanan di masyarakat, hilangnya mata pencaharian masyarakat, perbedaan standar gaji antara pekerja lokal dan asing, hilangnya sertifikat milik warga, dan lain-lain.
Cengkeraman Asing
Tambang merupakan bagian dari kepemilikan umum yang tidak boleh dikelola oleh swasta maupun asing. Namun dalam sistem kapitalisme yang memuja kebebasan kepemilikan, tambang dan sumber daya alam lainnya jamak dikelola swasta maupun asing. Siapa pun boleh mengelola maupun memiliki SDA selama memiliki modal meskipun mengebiri hak rakyat.
Bahkan, pengelolaan tersebut didukung oleh berbagai regulasi yang memudahkan kapitalis mengekplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam negeri ini. Dengan dalih investasi, pelan tetapi pasti aset-aset negeri ini berpindah pemilik. Padahal, investasi adalah jalan halus penjajahan oleh negara-negara kapitalis. Semakin besar investasi yang ditanamkan, semakin kuatlah cengkeraman asing di negeri ini.
Solusi Tambang dalam Islam
Islam memiliki solusi paripurna untuk mengurusi seluruh kebutuhan rakyatnya, termasuk mengelola tambang. Dalam Islam, tambang merupakan salah satu dari harta milik umum yang pengelolaannya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat. Hasil dari pengelolaan harta milik umum akan diberikan sepenuhnya untuk rakyat dalam bentuk barang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Karena itu, tidak ada individu maupun korporasi yang boleh mengelolanya.
Mengutip ungkapan Abu Ubaid, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang laksana air yang mengalir, yang mana air merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air, dan air bor, beliau mencabut kembali pemberian beliau. (An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam)
Dengan pengelolaan yang bersandar pada sistem riayah, bukan keuntungan, masyarakat dapat menikmati SDA yang memang menjadi haknya. Masyarakat bisa langsung memanfaatkan dan mengelola harta milik umum jika barang tersebut mudah diperoleh tanpa membutuhkan dana yang besar. Jika membutuhkan upaya eksplorasi, maka negara akan mengelolanya dan membagikan hasilnya kepada rakyat secara murah bahkan gratis.
SDA bukan dikelola untuk menghasilkan keuntungan pribadi atau korporasi. Kebijakan pengelolaan harta milik umum adalah murni untuk kesejahteraan rakyat. Olehya itu, tambang akan kembali dinikmati oleh rakyat jika menggunakan pengelolaan berdasar syariat. Solusi kapitalistik dalam pengelolaan tambang hanya memperpanjang umur penjajahan dan derita rakyat.
Wallahu ‘alam bishowab.
Views: 392
Comment here