wacana-edukasi.com– Allah SWT berfirman dalam Surat As-Saff ayat 8, yang artinya:
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.”
Dalam tafsir Ibnu Katsir disampaikan bahwa makna ayat di atas adalah orang-orang yang benci terhadap Islam senantiasa berupaya menolak perkara yang haq dengan perkara yang batil. Ibaratnya, mereka sama halnya dengan seseorang yang ingin memadamkan sinar mentari dengan mulutnya. Tentu, hal itu mustahil terjadi. Begitu pula, memadamkan cahaya (agama) Allah adalah perkara yang mustahil untuk dilakukan.
Mengganti bungkus dagangan lama menjadi moderasi beragama, itulah yang kini dilakukan oleh para pembenci Islam. Kenapa menggantinya? Supaya laku. Itulah jawabannya. Namun, masyarakat semakin pandai. Mereka melek berita. Mereka tidak lagi bisa dibohongi dengan ide sesat pluralisme. Maka dari itu, barang dagangan yang tak laku itu kini dibungkus dengan nama baru, yakni moderasi beragama.
Sungguh, mereka seakan-akan tak pernah kehabisan akal. Berbagai gagasan dilahirkan. Bahkan, gagasan-gagasan itu kian dimasifkan. Termasuk di dalamnya adalah soal pengasuhan anak yang diarahkan supaya berbasis moderasi.
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama, Muhammad Zain menyampaikan bahwa pendidikan moderasi beragama (MB) perlu diajarkan sejak dini (kemenag.go.id, 16/03/2021). Kemudian, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Yogyakarta pada tanggal 2 November 2021 telah me-launching si Kumbang, yakni semacam kartu tumbuh kembang anak untuk mengukur sejauh mana anak usia nol sampai empat tahun bisa memahami dan mengenal wawasan kebangsaan (Antaranews.com, 2/11/2021).
Lagu lama. Hal yang selalu dibawa-bawa supaya jajanannya laku adalah anak-anak sejak dini harus dipahamkan dengan wawasan kebangsaan dalam rangka menangkal terorisme. Ide ekstremisme dianggap berbahaya, sehingga anak-anak usia balita pun harus sudah menguasai konsep wawasan kebangsaan tersebut.
Hal itu justru menjadi pertanyaan besar. Kenapa seolah-olah ada sesuatu yang ditakuti dan ditutupi? Mengingat, laju kesadaran masyarakat untuk kembali pada Islam kaffah semakin meningkat. Islam sudah menjadi magnet yang daya tariknya begitu dahsyat. Umat tak segan-segan lagi untuk menerima Islam dan menjadikannya sebagai seperangkat aturan kehidupan yang harus dijalankan. Bahkan, umat semakin mengenal akan khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara kaffah. Tak sedikit umat yang kini tengah menanti-nanti kehadirannya.
Sejatinya, hal yang harus ditanamkan oleh para orang tua kepada anak-anak sejak dini adalah mengajarkan konsep tauhid yang bersih dari ide-ide rusak, sehingga harapannya mereka akan tumbuh di atas pondasi agama yang kuat. Anak diajarkan untuk mengenal Tuhannya, sehingga saat sudah baligh mereka dapat memahami posisinya sebagai hamba Allah, yang berada di dunia adalah untuk beribadah kepada-Nya.
Laa ikraaha fiddin (Al-Baqarah: 256), artinya tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam agama Islam. Namun, saat diri sudah berislam, maka satu hal yang harus dilakukan, yakni melakukan ketaatan dengan cara menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ummu Haneem
Views: 13
Comment here