Opini

Toleransi dalam Moderasi Beragama

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Fathiya Hasan (Aktivis Dakwah)

wacana-edukasi.com– Ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru kerap menjadi polemik di akhir tahun. Pernyataan yang melarang ucapan itu dengan alasan haram karena bertentangan dengan akidah Islam lantas dibantah oleh pihak yang mengatasanamakan toleransi. Mereka berargumen bahwa ucapan itu hanya sebatas kata-kata yang takkan bisa merubah akidah. Menurut mereka, pengharaman ucapan natal dan tahun baru justru menunjukkan sikap intoleran. Polemik ini kemudian berujung pada usaha untuk mengatur Islam untuk lebih toleran terhadap agama lain. Dalam hal ini, ide moderasi beragama kemudian digaungkan.

Sikap terang-terangan sebagai wujud moderasi beragama ini salah satunya ditunjukkan oleh Kemenag Sulsel yang mengimbau seluruh kantor memasang spanduk ucapan Selamat Natal-Tahun Baru. Perintah yang tertuang dalam Surat Kemenag Sulsel nomor: B-9379/Kw.21.1/IIM.00/12/2021, bersifat penting dan diteken oleh Kepala Kemenag Sulsel Khaeroni ini ditujukan kepada 3 unsur jajaran Kemenag Sulsel yakni; Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota se-Sulsel, Kepala MI, MTs, dan MA se-Sulsel, dan Kepala KUA se-Sulsel (hariansib.com, 16/12/2021).

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, KH Muhyiddin Junaidi menanggapi beredarnya surat ini dan mengatakan dengan tegas bahwa ini adalah bukti nyata dari moderasi beragama yang salah kaprah dan pemaksaan kehendak. Menurut Kiai Muhyidin, moderasi beragama berbeda dengan wasathiyah Islam yang menampilkan Islam yang “genuine” (oposisicerdas.com, 15/12/2021).

Di kesempatan yang berbeda, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis menyampaikan pernyataan sebaliknya. Ia menyebutkan bahwa mengucapkan selamat Natal itu boleh, namun hal tersebut hanya dalam konteks saling menghormati dan toleransi antar umat beragama. Cholil menjelaskan yang tidak boleh dilakukan seorang muslim adalah mengikuti upacara atau rangkaian kegiatan perayaan natal tersebut (fajar.co.id, 17/12//2021).

Adanya pernyataan dukungan dari MUI terhadap kebijakan tersebut menunjukkan semakin masifnya kebijakan pro moderasi beragama. Atas nama toleransi, program moderasi beragama ini telah mampu mendorong ummat Islam untuk meremehkan prinsip agama sekalipun itu bersinggungan dengan akidah.

Umat Islam dicap intoleransi saat tak mengucapkan selamat natal sehingga mereka merasa harus mengeluakan kebijakan yang memaksa umat Islam untuk melakukannya. Ketika umat Islam ingin melaksanakan syariat Islam secara kaffah, sebagai wujud pelaksanaan agamanya, tanggapan mereka justru melarang umat untuk belajar agama terlalu dalam. Istilah fanatik dalam beragama kemudian dinilai sebagai sesuatu yang berbahaya. Sehingga tatkala umat Islam melaksanakan perintah agamanya, saat itu pula kata intoleransi dan radikal disematkan kepada kaum muslimin. Padahal mereka sendiri yang justru tidak menunjukkan toleransi kepada kaum muslimin.

Moderasi beragama ini bermaksud membungkam umat Islam agar mereka tetap bersikap liberal dan sekuler tanpa harus meninggal keyakinan. Alur moderasi beragama ini mengingatkan kita kembali ke masa keruntuhan Khilafah Islam oleh Mustafa Kemal Ataturk. Di mana saat itu kaum muslimin dipaksa untuk tunduk dalam kekuasaannya dan menerapkan kehidupan yang liberal dan menjauhkan agama dari kehidupan. Agama cukup berada dalam rumah-rumah ibadah saja.

Begitupun yang terjadi saat ini. Gencarnya agenda moderasi beragama dilakukan dengan berbagai cara. Tuduhan intoleransi bahkan menjadi drama yang spektakuler. Padahal dalam Islam pun telah jelas batasan toleransi terhadap agama dan keyakinan lain.

Allah berfirman dalam surat Al-Kafirun ayat 1-6:
(1) Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! (2) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, (3) dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, (4) dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. (6) Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Keenam ayat tersebut menjelaskan dengan tegas bahwa Islam sungguh toleran kepada agama lain dengan tidak mengganggu peribadatan agama lain. Tidak seperti yang dicontohkan oleh mereka yang mengatasnamakan dirinya kelompok Islam, yang bahkan melakukan sholawat di gereja, ceramah di gereja, menyanyi bersama hingga menjadi penjaga gereja. Namun sebaliknya, mereka sangat memusuhi saudara yang seakidah.

Dari fakta tersebut, kaum muslimin hendaklah semakin hati-hati dengan arus moderasi beragama yang kian hari kian massif. Tetap teguh dalam akidah yang kuat, jangan goyang meskipun dituduh intoleran. Jangan sampai menyerah dalam memperjuangkan tegaknya Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Karena dalam Negara Khilafah toleransi umat beragama yang sesunguhnya akan tercipta.

Wallahu a’lam bishshowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 40

Comment here