Oleh Aisah Oscar (Aktivis Muslimah Subang)
wacana-edukasi.com– Tak kenal maka tak sayang, peribahasa ini mengisyaratkan ketika sesuatu yang belum pernah diketahui atau dikenal, maka bagaimana mungkin akan muncul rasa sayang, peduli dan atau, simpati atas sesuatu tersebut. Moderasi beragama adalah istilah yang mungkin saat ini sudah tak asing lagi di kalangan cendikia, namun mungkin masih asing di tengah masyarakat awam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) moderasi menjelaskan arti dari penghindaran atas kekerasan atau keekstreman. Sehingga ketika disandingkan dengan kata beragama, maka bisa diartikan sebagai cara pandang tentang proses mengamalkan dan memahami sebuah ajaran agama, dengan tidak ekstrim atau berlebih-lebihan. Sehingga beragama cukup melaksanakannya dengan jalur moderat, lawan kata dari moderat adalah radikal. Akan tetapi istilah radikal ini sangat disayangkan, sering ditunjukkan kepada umat islam yang mendakwahkan Islam kaffah.
Sehingga rupa buruk makna istilah moderasi beragama ini menjadi samar. Moderasi beragama dianggap lebih halus cara beragamanya. Sedangkan Islam radikal yang pada dasarnya menginginkan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan bermakna kasar, keras, ekstremis, tidak manusiawi dan teroris.
Moderasi beragama muncul pertama kali di tahun 2019 oleh Lukman Hakim Syarifuddin, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia (Menang RI). Istilah ini pun sering dipakai oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia yang selalu komitmen dalam mendakwahkannya. Istilah ini pun terus disenandungkan agar terhindar dari salah sangka atas Islam liberal atau radikal.
Perlu ditekankan awal mula ide ini menyebar disebabkan kekayaan budaya Indonesia yang beragam. Mulai dari berbeda aga, ras, suku, adat istiadat dan sebagainya. Sehingga diperlukan adanya saling menghormati dan menghargai. Beberapa contoh moderasi beragama yang menjadi pro-kontra, yaitu :
Pertama, PJPN (Peta Jalan Pendidikan Nasional) 2020-2035 frasa agama hilang dalam draft kurikulum, walaupun sudah direvisi ulang melalui Mendikbud ristek (Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi) Nadiem Makarim namun tetap tidak mendapati titik temu.
Kedua, Hilangnya materi Jihad, Khilafah dan Status non-muslim dalam buku mata pelajaran Fikih madrasah Aliyah kelas XII. Seolah-olah ini adalah materi yang akan menimbulkan ketakutan. Walhasil upaya merekonstruksi ajaran Islam tujuannya tidak lain agar rekontekstualisasi ajaran fikih atau ortodoksi Islam dalam merespon tantangan zaman.
Ketiga, toleransi kebablasan. Bulan Desember yang sarat dengan perayaan umat Nasrani, Natal. Menurut pengusung moderasi beragama, tidak masalah saat pengucapan selamat atas perayaan tersebut.
Itulah segelintir kasus yang menampakan buruk rupanya moderasi beragama. Pada dasarnya istilah moderat ini hanya sebagai sandingan atau penghindaran makna ekstrem atau radikal yang selalu disematkan kepada ajaran Islam kaffah. Sehingga wajar saja jika solusinya adalah pemisahan agama dari kehidupan (baca: sekulerisme) dan kebebasan (baca : Liberalisme). Namun, karena istilah sekuler dan liberal saat ini masih dianggap miring, akhirnya istilah moderat atau moderasi yang lebih halus, tapi ternyata itu hanya refleksi atau cerminan saja agar terlihat samar bahkan menipu.
Hal ini begitu kentara saat pengemban sekulerisme ini mengokohkan idenya. Mereka seperti berusaha menghambat syariat Islam agar tidak diterapkan sebagai sistem kehidupan. Mereka pun enggan menerima ajaran islam hingga menghambat kebangkitan Islam sebagai agama rahmatan Lil alamin.
Berikut ini refleksi rupa buruk moderasi beragama yang patut untuk diwaspadai : Pertama, ide sekularisme dan liberalisme yang meninabobokan kaum muslimin. Kedua, mengutopiskan kebangkitan Islam. Hingga memonsterisasi ajaran khilafah yang sebuah keniscayaan tertunda. Ketiga, Kapitalisme-sekulerisme makin bercokol. Keempat, kebebasan berpendapat tidak berlaku bagi para pejuang Khilafah. Khilafah merupakan janji Allah melalui lisan nabi. Tapi, hal itu tidak diinginkan oleh barat.
Pengusung ide moderasi beragama ini akan mengerahkan segala daya upaya agar peradaban Islam yang mulia ini tidak kembali. Padahal seyogianya sekuat apa pun mereka menghalangi bangkitnya khilafah, ternyata hanya kesia-siaan dan berbuah kehancuran baik di dunia dan akhirat. Dengan demikian sepatutnya umat Islam bisa paham dan terus mendakwahkan Islam secara totalitas di tengah masyarakat.
Kapitalisme sekuler sudah berada di tepi jurang kehancurannya. Sedangkan umat Islam harus terus berupaya sampai kemenangan ada di tangan umat Islam. Allah Swt. Berfirman :“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.” (TQS. At-Taubah: 32).
Ayat ini seharusnya menjadi pelecut semangat dakwah dan gerak umat Islam hingga kehidupan Islam terwujud. Moderasi beragama, sejatinya adalah ruh sekularisme yang mengajak kepada Islam hanya setengah, yang semestinya totalitas. Namun wujudnya dikemas dengan cantik, hingga buruk rupanya tidak disadari oleh umat. Inilah tujuan dari barat agar moderasi beragama ini dikemas cantik sehingga diterima umat Islam. Tapi umat Islam, jangan sampai tertipu, teracuni, dan terhipnotis dengan ide sesat ini dengan mengkaji Islam lebih dalam.
Wallahu a’lam bishshawwab
Views: 221
Comment here