Wacana-edukasi.com, OPINI-– Kasus kejahatan seksual (perkosaan) korbannya adalah perempuan (anak-anak maupun dewasa), perempuan seringkali dijadikan objek dengan memuaskan niat bejat pelaku kejahatan.
Dikutip dari kompas.tv (12/8/2018) seorang anak korban pemerkosaan dijadikan tersangka dalam kasus aborsi, korban pun sempat merasakan dinginnya ruang tahanan. Selain menyita perhatian media nasional, sejumlah media internasional pun turut menyoroti kasus ini. Kasus ini dilimpahkan ke PN Muara Bulian, kakak korban dijatuhi pidana penjara karena melakukan pemerkosaan, sementara adiknya dijatuhi vonis penjara karena terbukti melakukan aborsi. Sang korban divonis karena melanggar UU Perlindungan Anak.
Banyak elemen masyarakat menilai kasus ini sangatlah tidak adil bagi korban, mereka banyak melakukan penolakan atas putusan pengadilan pasalnya mereka menilai korban pemerkosaan dinilai boleh untuk melakukan aborsi.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan mencatat terdapat 1.210 kekerasan seksual inses yang dilakukan di ranah privat pada tahun lalu. Pelakunya paling tinggi adalah ayah kandung, jumlahnya 425 kasus. Dari kasus di Jambi ini yang melakukan kakak kandung ini juga cukup tinggi, jumlahnya 58. Ada juga ayah tiri, paman dan suami.
Dari tahun ke tahun, tren kekerasan terhadap perempuan pun terus meningkat. Tahun lalu saja, terdapat 350.427 kasus, terdiri dari kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Sementara, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak pada tahun 2017.
Kasus perkosaan ini ditengarai banyak faktor pemicunya. Lemahnya akidah, kepadatan penduduk, kemiskinan, rendahnya pendidikan, kurangnya perhatian orangtua kepada anak, adalah suatu kondisi yang tidak berdiri sendiri.
Kondisi kejahatan seksual ini (perkosaan) adalah fenomena yang harus segera dicari solusi tuntasnya. Fenomena ini jelas bukan merupakan fenomena tunggal, sehingga diselesaikan hanya dengan menindak pelaku kejahatannya, tanpa memperhatikan faktor lain yang menjadi akar masalahnya.
Namun, fenomena ini merupakan dampak dari sistem kehidupan yang diterapkan saat ini (penerapan sistem sekuler). Sistem sekuler ini telah melahirkan kebebasan bertingkah laku (hurriyyah syakhshiyyah) di tengah-tengah masyarakat sehingga mengakibatkan berbagai malapetaka global.
Jika penanganan hanya setengah hati tentu masalah-masalah ini akan kembali terjadi, jika harus dilakukan adalah menutup pintu pemicunya.
Koban perkosaan mengalami trauma psikologis, dan melakukan aborsi seringkali dijadikan jalan pintas. Banyak faktor pemicu sehingga korban melakukan aborsi. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang telah disetujui Presiden 21 Juli 2014 lalu. Dalam PP tersebut, dilegalkan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan. (news.detik.com, 8/8/2014)
Pelegalan aborsi tersebut mengacu pada Undang-Undang Kesehatan Nomor 36/200 khususnya pasal 75 ayat (1) yang ditegaskan, bahwa setiap orang dilarang, melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis, dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Menurut PP ini, tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
PP ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan beserta alasannya. Hukum aborsi itu sendiri memang wajib dipahami dengan baik oleh kaum muslim, baik kalangan medis maupun masyarakat umumnya. Sebab, bagi seorang muslim, hukum-hukum syariat Islam merupakan standar bagi seluruh perbuatannya. Selain itu keterkaitan dengan hukum-hukum syariat Islam merupakan standar bagi seluruh perbuatannya. Selain itu keterkaitan dengan hukum-hukum syariat Islam adalah kewajiban seorang muslim sebagai konsekuensi keimanannya terhadap Islam. Aborsi dalam fiqih Islam dibahas dengan sangat detail.
Maha benar Allah Subhanahu Wa Ta’aala dengan firman-Nya:
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. al-Ahzab [33]: 36).
Jika aborsi dilegalkan karena alasan pemerkosaan itu bukannya menyelesaikan permasalahan. Tapi tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab (pemuja kemaksiatan). Alasan lain yang sering dilontarkan dilakukannya aborsi adalah usia yang masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Alasan-alasan seperti ini juga diberikan oleh para wanita yang mencoba meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada di dalam kandungannya adalah boleh dan benar. Semua alasan-alasan ini tidak berdasar.
Aborsi juga bukanlah semata masalah media atau kesehatan masyarakat, melainkan juga problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang dianut suatu masyarakat. Paham asing ini tak diragukan lagi telah menjadi pintu masuk bagi merajalelanya kasus-kasus aborsi dalam masyarakat.
Berbagai problem yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka pemecahannya dengan Islam. Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas, wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’aala sebagai pijakannya. Islam memiliki aturan untuk seluruh aspek kehidupan yang sangat detail dan sempurna.
Dalam Islam, negara bertanggungjawab menerapkan aturan-aturan Islam secara utuh dalam mengatur seluruh urusan umat, sehingga umat mendapatkan jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan menyeluruh.
Negara juga akan mencegah masuknya segala hal yang berpotensi melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslim, seperti misalnya; peredaran pornografi, miras, narkoba dan sebagainya. Dengan ketakwaan individu (senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan), kontrol masyarakat dan peran negara (senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar), maka umat manusia akan tercegah dari perbuatan maksiat, termasuk pelecehan dan kejahatan.
Di samping itu, negara sebagai pelaksana utama diterapkannya syariat Islam, berwenang untuk memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku tindak kejahatan. Negara akan menerapkan aturan sosial yang bersih sekaligus melakukan internalisasi pemahaman melalui aktivitas dakwah dan pendidikan, sehingga setiap anggota masyarakat memahami tujuan hidup dan makna kebahagiaan hakiki, dan pada akhirnya akan menghindarkan rakyatnya melakukan berbagai tindakan kemaksiatan, termasuk kejahatan seksual (perkosaan). Wallahu a’lam bish-shawwab.
Ummu Aisyah
Sedayu, DIY
Views: 6
Comment here