Opini

Ada Hak Rakyat, di Balik Tragedi Pagar Laut

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Rakhmawati Aulia

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Sejak awal Januari 2025 publik telah dikejutkan dengan temuan pagar laut misterius di wilayah perairan Indonesia. Pagar laut tersebut membentang di wilayah perairan kabupaten Tangerang, Banten; Pulau C reklamasi Jakarta; Kamal Muara, Jakarta; serta Bekasi, Jawa Barat (CNN, 23/01/2025).

Berdirinya pagar laut di wilayah perairan Tangerang yang paling banyak menimbulkan masalah. Pagar laut tersebut terbuat dari bambu berdiri sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang dan mengganggu aktivitas para nelayan.

Polemik pagar laut tersebut semakin melebar setelah diketahui bahwa pagar laut tersebut tidak memiliki sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM). Pembangunan pagar laut yang berdiri tanpa izin tidak hanya melanggar prinsip konstitusi. Akan tetapi, akan berdampak pada akses masyarakat lokal dan kerusakan ekosistem laut. Bahkan, berpotensi menimbulkan ancaman bagi kedaulatan negara yang meliputi kontrol atas wilayah laut dan perlindungan hak atas sumber daya alam yang dikuasai Negara.

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menilai bahwa keberadaan pagar laut di pesisir Tangerang (Banten), Jakarta Utara (DKI), hingga Bekasi (Jawa Barat) mencerminkan lemahnya pengawasan, baik dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun pemerintah daerah (pemda). (CNN, 19/01/2025).

Mengapa pagar laut bisa berdiri secara ilegal di wilayah perairan Indonesia?

Keberadaan pagar laut ilegal yang sempat misterius menambah daftar panjang karut-marut mengenai tata kelola ruang laut di Indonesia. Seolah menjadi hal biasa, bangun dulu, izin masalah belakangan. Dari tragedi pemagaran laut ilegal yang bisa berdiri dengan mudahnya menjadi indikator bahwa ada upaya dari segelintir orang untuk memiliki hak kelola atas tanah di perairan tersebut.

Misalnya di wilayah laut Tangerang yang dipagari dengan bambu tersebut. Terungkap bahwa pagar tersebut dimiliki oleh beberapa pihak, di antaranya PT IAM sebanyak 234 bidang, PT CIS sebanyak 20 bidang, dan perorangan sebanyak 9 bidang (Kompas.com, 21/1/2025).

Mirisnya, negara yang seharusnya hadir untuk berada di garda terdepan menjamin dan memastikan bahwa sumber daya alam tetap milik rakyat. Pada kenyataannya negara hanya mengambil peran sebagai regulator, berperan mencegah agar tidak terjadi konflik antara rakyat dan pengusaha.

Negara cenderung tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menindak segala perbuatan kapitalis sebagai pemilik modal meskipun hak rakyat terampas meski berujung menyengsarakan rakyat. Justru sebaliknya, yang nampak negara hanya memenuhi tuntutan oligarki kapital.

Inilah buah diterapkannya sistem kapitalisme menjadikan Negara berlepas tangan dalam mengurusi urusan rakyat.
Kebebasan kepemilikan dalam Kapitalisme menjadikan hanya segelintir individu yang memiliki modal besar berkuasa dan menguasai sumber daya alam.

Sementara itu, sejak awal Islam yang tidak sekedar agama ritual memiliki aturan yang sempurna dan telah mengklasifikasikan masalah kepemilikan dengan jelas.

Kepemilikan dalam Islam

Islam telah mengatur bahwa kepemilikan terbagi atas kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Islam pun menjamin perlindungan terhadap kepemilikan lahan termasuk kawasan perairan. Siapapun haram untuk merampas hak kepemilikan dari pihak lain.

Syariat Islam menetap bahwa laut termasuk dalam kepemilikan umum, tempah hajat orang banyak dalam mencari hasil laut, melakukan perdangangan, pelayaran, dsb. Laut, bukan kepemilikan individu sehingga pemanfaatan laut tidak diberikan kepada individu. Bukan juga kepemilikan negara sehingga negara tidak berhak memprivatisasi dan menasionalisasinya. Rasulullah saw. bersabda :

“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR. Ibnu Majah)

Pemagaran yang dilakukan terhadap laut termasuk di dalamnya membatasi hak rakyat untuk memanfaatkan laut, adalah bentuk kezaliman. Terlebih lagi merampas hak kepemilikan umum adalah haram. Allah Ta’ala berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,” (QS. An Nisa : 29)

Negara sebagai pelindung dan pelayan rakyat seharusnya tidak memberikan izin terhadap segelintir orang atau pihak perusahaan swasta menguasai kepemilikan umum. Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Peran negara dalam Islam bukan sebagai regulator melainkan sebagai peri’ayah (raa’in) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya. Sehingga wajib atas negara mengurusi urusan rakyat. Termasuk dalam pengelolaan sumber daya laut dan bertanggung jawab dalam menjaga kedaulatan kemaritiman.

Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di seluruh dunia, sebuah sistem pemerintahan Islam yang berlandaskan kepada al Quran dan sunnah. Sepanjang penerapannya telah berhasil menjalankan perannya dalam meri’ayah rakyat.

Semisalnya pada masa kekhilafahan Abbasiyah. Khilafah menjalankan perannya dengan memberikan perhatian khusus pada masalah laut, hingga melahirkan sebuah strategi politik kemaritiman yang unik. Salah satunya, membangun legitimasi hukum di wilayah perairan, bahkan layaknya mercusuar menarik perhatian dunia internasional untuk melakukan diplomasi dan perdagangan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here