Oleh : Riannisa Riu
wacana-edukasi.com– Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi kembali membuat heboh dengan Permen terbaru yakni Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Seperti dilansir oleh kompas.com, Ahad (14/11/2021) menurut Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad, salah satu kecacatan materil ada di pasal 5 yang memuat consent dalam frasa, “tanpa persetujuan korban”. “Pasal 5 Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Lincolin dalam keterangan tertulis, (Senin, 8/11/2021).
Namun, Kemendikbudristek sendiri jelas menolak jika dikatakan melegalkan perbuatan asusila dan seks bebas. Dalam webinar Merdeka Belajar, Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual yang disiarkan melalui Youtube Kemendikbud RI, Jum’at (12/11/2021), Menteri Nadiem mengatakan, “Kalau misalnya ada perkataan-perkataan di dalam ini yang bisa melegalkan atau mungkin menghalalkan tindakan-tindakan asusila, itu sama sekali bukan maksud dari permen ini. Fokus daripada permen ini adalah korban, korban, dan korban ini. Mohon dimengerti bagi masyarakat, kita melihat ini semua daripada perspektif korban,” tegasnya.
Dilegalisasikannya Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 ini pada dasarnya terjadi karena perbedaan standar dan kepentingan dari pihak-pihak yang bertentangan. Standar kehidupan yang digunakan seseorang selama hidupnya secara otomatis menentukan apa saja pilihan-pilihan yang akan diambil dalam hidupnya. Begitu pula dengan kepentingan. Ketika kepentingan terganggu maka tentu seseorang akan mengambil pilihan yang akan menyelamatkan kepentingannya. Sementara jika kepentingannya aman-aman saja, maka tentunya tidak akan mempermasalahkan pilihan yang diambil.
Sehingga terlaksananya legalisasi permendikbud tentang kekerasan seksual ini adalah masalah perseteruan kepentingan belaka. Permasalahan yang sebenarnya adalah apakah pelegalan permendikbudristek no 30 ini sungguh-sungguh dapat menolong korban atau tidak. Sungguh tidak sepantasnya jika penguasa menjadikan permendikbud ini hanya sebagai bentuk pencitraan sementara yang seolah mampu menolong korban dengan berbagai pasal mengancam terhadap pelaku namun pada kenyataannya pelaku kekerasan seksual masih tetap mampu lolos dengan mencari celah-celah ketidaksempurnaan di dalam permendikbudristek ini.
Aturan yang dibuat manusia, pada dasarnya tidak sempurna dan tidak akan pernah sempurna. Maka jelas sekali ada kekurangan yang nyata dalam permendikbudristek ini. Telah dijelaskan oleh Menteri Nadiem bahwa bila ada perkataan yang mungkin bisa melegalkan tindakan asusila, maka itu bukan maksud dari permen ini. Kalimat tersebut adalah bukti bahwa beliau berlepas diri apabila ada pelaku kejahatan seksual yang memanfaatkan pasal-pasal permendikbudristek ini dengan baik tanpa melanggarnya. Ketika ada korban yang diancam sehingga terpaksa memberikan persetujuannya dalam tindakan seksualitas meski sesungguhnya ia tidak bersedia, dan tidak ada bukti akan keterpaksaannya itu, maka si pelaku tidak akan pernah bisa tertangkap. Bukankah setelahnya tidak akan ada yang bisa bertanggung jawab atas nasib korban selanjutnya? Inikah yang dimaksud dengan berfokus kepada korban?
Dengan demikian, consent “tanpa persetujuan korban” ini jelas-jelas menunjukkan keambiguan dalam melindungi korban. Inilah kekurangan yang nyata dalam permendikbudristek ini. Selama penguasa masih mengandalkan peraturan semacam ini untuk memberantas kekerasan seksual di masyarakat maka sesungguhnya kekerasan seksual itu tidak akan pernah bisa terhapuskan. Sebab akan terus ada manusia yang mampu mencari kelemahan dalam peraturan tersebut dan memanfaatkannya demi kepentingannya. Inilah masalah terbesar dalam peraturan yang dibuat oleh sistem kapitalisme.
Oleh karena itu, mencari solusi untuk menghapuskan kekerasan seksual dalam sistem yang bobrok seperti kapitalisme ini tidak akan pernah berhasil. Solusi yang muncul adalah sejenis permendikbud ristek yang ternyata malah menimbulkan masalah baru, bukan solusi tuntas. Kalaupun ada manfaat yang diperoleh dari permendikbud ristek ini berupa berkurangnya jumlah pemerkosaan atau pelecehan seksual di kampus, namun tetap tidak bisa menjamin berhentinya aktivitas seksualitas dari mahasiswi yang berprofesi sebagai ayam kampus atau pasangan mahasiswa yang berpacaran. Ketika terjadi masalah lain, misalnya kehamilan tak diinginkan ataupun aborsi yang berujung kematian, siapa yang bisa disalahkan? Tentunya tidak bisa mengandalkan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 sebagai solusi lagi, bukan?
Masalah kekerasan seksual ini sesungguhnya adalah masalah sistemik, yang tidak bisa diselesaikan hanya secara sepihak dari satu sisi saja. Pada dasarnya, kekerasan seksual terjadi karena adanya pergaulan bebas, khalwat laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya serta ikhtilat (campur-baur) antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya uzur syar’i, baik dalam masalah pendidikan, kesehatan, jual beli, ataupun situasi darurat. Kondisi campur baur yang telah umum dilakukan dalam segala bidang di sistem kapitalisme ini adalah salah satu pangkal penyebabnya yang wajib diselesaikan. Untuk itulah, diperlukan sistem islam yang tegas mengatur pemisahan kehidupan (infishal) antara laki-laki dan perempuan sesuai aturan Allah. Islam adalah satu-satunya agama yang dengan tegas mengharamkan umatnya untuk mendekati perbuatan zina. Sehingga, baik ada persetujuan korban ataupun tanpa persetujuan korban, perbuatan apapun yang terkategori mendekati zina adalah haram.
Seperti yang telah disebutkan dalam surat Al-Israa : 32, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” Ayat ini adalah larangan keras yang jauh lebih tegas daripada permen manapun. Allah Taala telah menyebutkan bahwa zina adalah dosa besar yang amat dibenci Allah. Tidak ada larangan yang lebih tegas daripada kalimatullah. Inilah bukti bahwa sesungguhnya yang dibutuhkan masyarakat bukanlah peraturan menteri yang dapat diubah dan diatur sekehendaknya sesuai kepentingan, yang melegalkan perasaan manusia semata tanpa berdasar aturan Illahi yang hakiki. Namun masyarakat membutuhkan sistem sempurna yang telah sanggup mengatur manusia menjadi generasi emas selama berabad-abad, yakni sistem Islam yang berasal dari Allah Subhanahu wa Taala. Ketika sistem ini diterapkan, barulah kekerasan seksual dapat dilenyapkan dari muka bumi ini. Wallahu’alam bisshawwab.
Views: 27
Comment here