Opini

Adab Terhadap Ulama, Kini Tak Lagi Diindahkan

blank
Bagikan di media sosialmu

Penulis : Ika Fibriani, S.Pd.I. (Pendidik dan Aktivis Muslimah)

Wacana-edukasi.com — Persekusi terhadap ulama, lagi-lagi terjadi di negeri ini. Dan kali ini, terjadi pada ulama besar Habib Rizieq Shihab yang bernama aslinya adalah Habib Muhammad Rizieq bin Husein Shihab. Lc.Ma. Beliau mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan ketika akan diadakan sidang secara online, yaitu dipaksa masuk ke dalam ruangan sidang online yang disediakan oleh Bareskim. Petugas pengadilan mendorong beliau untuk masuk ke dalam ruangan.

Sidang online yang diadakan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini, diadakan pada hari Selasa, 23 Maret 2021. Untuk pembacaan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa Penutut Umum (JPU) atas perkara kerumunan di Petamburan dan Mega Mendung Bogor atas terdakwa Habib Rizieq Shihab. Habib Rizieq tidak menyetujui dan memilih wolk out dari ruang persidangan. Beliau meminta sidang diadakan secara offline, tetapi hal itu tidak dikabulkan oleh jaksa hakim.

Sidang yang dilakukan secara online ini, serta merta bukan tanpa sebab dilakukan oleh jaksa hakim. Alasannya karena saat ini, masih dalam masa pandemik–dimana semuanya harus menjaga protokol kesehatan agar tidak menimbulkan kluster baru. Tetapi hal ini malah memunculkan berbagai polemik tersendiri, bahkan menjadi sesuatu hal yang menimbulkan suatu keributan. Pasalnya sidang ini tidak menguntungkan bagi terdakwa, tidak ada keadilan bahkan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur hal tentang sidang secara online atau daring.

KUHAP mengatur terdakwa, saksi serta ahli dalam persidangan untuk hadir secara langsung, yakni dalam Pasal 154, 159 dan 196. Kehadiran yang dimaksud adalah secara fisik. Selain itu, di dalam KUHAP juga diatur sidang dilangsungkan di gedung pengadilan dan pengaturan pakaian bagi hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera.Tidak hanya KUHAP, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur persidangan dihadiri tiga orang hakim dibantu panitera serta mewajibkan penuntut umum dan terdakwa untuk hadir, dan sidang ini pun harus dilaksanakan secara akuntebel ( Tempo, Jum’at 30/10/2020).

Akhirnya, permintaan Habib Rizieq dikabulkan lantaran bukan karena hak asasi manusia tetapi melihat dasar dari KUHAP yang berisi persidangan harus dihadirkan secara fisik. Dan sidang lanjutan akan dilaksanakan pada hari Jum’at, 26 Maret 2021.

Disinilah, banyak keganjilan terjadi dalam persidangan Habib Rizieq. Kenapa harus diadakan secara daring? Terkesan masalah tersebut disepelekan. Yang seharusnya dalam setiap masalah yang timbul di negeri ini, harus diselesaikan secara akuntabel dan profesional karena menyangkut kredibilitas bangsa Indonesia.

Apakah hal ini dilakukan untuk mengalihkan pandangan dan perhatian masyarakat dari peran penting kinerja pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang ada di negeri ini? Dari mulai masalah pangan, hingga pendidikan belum menampakan keberhasilan yang signifikan. Bahkan masalah pandemik pun tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk menanganinya.

Dengan adanya kasus seperti ini, masyarakat mau tidak mau harus bergelut dengan kondisi yang makin buruk, bisa dibilang setiap saat nyawa hilang dengan mudah, karena pemerintah belum menemukan solusi untuk menangani wabah ini. Dan semua ini terjadi, akibat bobroknya hukum negeri ini yang berasal dari penerapan sistem Demokrasi-Liberalisme, dimana setiap orang atau kelompok berhak menyampaikan pendapat dan yang mendapat suara terbanyak, dialah yang diberikan kekuasaan memimpim. Meski didapat dengan berbagai cara, atau tidak memiliki kualitas dalam memimpin. Sehingga cara pemilihan seperti ini, tidak memberikan keadilan terhadap rakyat dan juga ulama.

Ulama yang seharusnya dihormati, nasehatnya menjadi penerang bagi kehidupan, dan setiap derap langkahnya menjadi panduan umat agar mereka tidak tersesat jalan, tetapi pada masa rezim saat ini ulama banyak dipersekusi, dihukum tanpa mendapatkan keadilan.

Kemana keadilan negeri ini untuk ulama dan umat Islam? Setiap kasus jika pelakunya umat Islam, selalu di framing media dengan jahatnya. Negeri ini, sudah kehilangan adab terhadap para ulama, padahal ulama pewaris jalan dakwah para nabi. Ketidak adilan terhadap ulama adalah bencana, dan kematian ulama adalah tercerabutnya seluruh ilmu agama dari muka bumi.

Semua ini tidak akan terjadi, jika penduduk bumi beriman dan menerapkan sistem yang bersumber dari Allah. Diterapkannya sistem yang  bukan dari Islam membuat degradasi adab kian parah. Sehingga peran ulama pun sudah tidak dihargai lagi.

Ketika manusia diberikan akal, dan pada saat dia mengucapkan dua kalimat syahadat yang artinya Islam sebagai akidah keimanan seseorang, maka segala perbuatan akan dimintai pertanggung jawaban. Ketika hukum Allah dicampakan, maka kerusakan akan menimpa semua umat manusia baik di daratan dan lautan.

Hanya hukum Allahlah yang bisa memecahkan problematika kehidupan umat, dengan selalu berpegang tegung kepada akidah Islam. Hingga keadilan bisa dirasakan secara merata di muka bumi.

Wallahu ‘alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 17

Comment here