Oleh Nurhayati
wacana-edukasi.com — Zaman ini zaman yang telah jauh dari masa dimana Islam masih lekat dalam kehidupan. Islam saat ini hanya ada dalam ruang lingkup pribadi dan telah asing dalam kehidupan sosial. Sebutlah pacaran, salah satu fenomena yang telah menjadi pemandangan biasa sekaligus menunjukkan tergerusnya nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial. Tak jarang orangtua ataupun guru yang menyikapi positif fenomena ini. Mereka berpendapat boleh pacaran asalkan menjadi motivasi untuk lebih giat belajar. Lebih dari itu, di kalangan dewasa dikenal fenomena kohabitasi. Yaitu sebuah istilah yang ditujukan kepada pasangan yang tinggal satu atap tanpa ikatan perkawinan (detikNews, 12/9/2021). Orang tua yang mungkin awalnya menentang akhirnya membiarkan juga ketika melihat kenyataan bahwa mereka dapat bertanggungjawab terutama secara finansial.
Ada anggapan bahwa orangtua yang mendapati anaknya mulai pacaran disarankan untuk tidak melarang tetapi justru mendampingi dan memberi arahan yang benar tentang konsep pacaran yang sehat. Karena jika terlalu dikekang justru akan membuat anak membuat jarak dan memungkinkan anak cenderung akan menjalani hubungan secara sembunyi-sembunyi alias backstreet.
Di satu sisi tak dapat dipungkiri fenomena pacaran memang masih menjadi tren, bukan hanya dikalangan remaja tetapi juga kalangan dewasa bahkan anak kecil sekalipun. Salah satunya fenomena kohabitasi yang merupakan tahapan lebih lanjut setelah pacaran dan sebelum mengambil keputusan untuk menikah. Namun disisi lain Islam telah jelas mengatur dan memberi batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Pacaran dan segala istilah dengan makna yang serupa tentu merupakan bentuk penyimpangan terhadap syariat Islam yang tegas. Hal ini menimbulkan kegelisahan bagi para orangtua dan masyarakat yang ingin generasinya terbebas dari pengaruh kebiasaan-kebiasaan yang menyimpang dari syariat Islam yang jika dibiarkan akan menimbulkan penyimpangan berikutnya yang pada gilirannya dapat mengundang murka Allah SWT.
Benarkah pertimbangan jika pacaran itu memberikan efek positif berupa motivasi untuk lebih giat belajar dapat menggeser hukum pacaran menjadi boleh? Atau ketika sepasang kekasih yang menjalani kohabitasi terlihat mampu bertanggungjawab jikalau terjadi sesuatu dan mapan secara finansial menjadikan fenomena ini tidak patut menuai keprihatinan?
Dalam Islam, baik buruknya suatu perbuatan dikembalikan kepada Dzat yang Maha Mengetahui, Allah SWT. Sedangkan menyandarkan baik buruk suatu perbuatan kepada standar manfaat berupa kesenangan duniawi atau teraihnya materi adalah konsep sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisme menempatkan agama hanya pada urusan ibadah ritual dan urusan pribadi saja. Sementara dalam kehidupan sosial manusia menentukan sendiri apa yang baik dan buruk bagi dirinya dengan pertimbangan kemanfaatan yang ia peroleh. Lemahnya akal manusia yang hanya dapat menjangkau kemanfaatan dari permukaan akan memandang pacaran itu baik selama memberikan kesenangan dan motivasi ke arah yang baik.
Seorang muslim yang orientasi hidupnya adalah menggapai ridho Allah SWT tentu tidak semestinya menjadikan kemanfaatan sebagai standar dalam menilai perbuatan. Pacaran walaupun ia memberikan manfaat namun ia tetaplah berisi aktivitas mendekati zina yang Allah SWT larang. Apalagi kohabitasi yang sudah mengarah kepada zina.Maka konsep pacaran sehat tidak ada dalam Islam, ia adalah konsep yang lahir dari sekularisme.
Memang jika anak dikekang justru akan membuatnya menjaga jarak dengan orangtua. Hal ini terjadi jika tidak sedari dini anak diajarkan untuk memiliki kepribadian Islam, yaitu pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam. Secara tiba-tiba orang tua menuntut anak untuk taat syariat, pantaslah reaksinya menolak. Anak harus diberi pemahaman Islam yang benar terlebih dahulu hingga kemudian ia yakin untuk menjauhi segala hal yang mengarah kepada aktivitas pacaran, atas dasar ketaatan kepada Allah SWT, bukan karena takut ketahuan orangtuanya. Dalam Islam memandang lawan jenis saja diatur karena Islam menutup setiap celah kemaksiatan, sementara itu setan tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun celah lengahnya manusia dari mengingat Allah SWT dalam setiap aktivitasnya baik hati, pikiran, lisan maupun perbuatannya. Sedikit saja terbuka celah untuk kemaksiatan maka akan menghantarkan terbukanya celah-celah kemaksiatan yang lain.
Manusia diberi oleh Allah SWT potensi kehidupan berupa kebutuhan jasmani dan kebutuhan naluri. Salah satu dari kebutuhan naluri ialah naluri melestarikan jenis yang salah satu penampakannya yaitu rasa suka kepada lawan jenis. Allah SWT mengatur batasan ketika manusia ingin menyalurkan naluri tersebut yaitu melalui pernikahan. Aktivitas-aktivitas yang dilarang setelah terjadi pernikahan menjadi boleh, sebaliknya jika dilakukan sebelum pernikahan maka hal itu merupakan penyimpangan dari syariat Allah SWT. Rasulullah Saw bersabda:
“Wahai para pemuda barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” (HR Bukhari)
Menjauhi larangan Allah SWT yang tak lagi dipandang buruk dalam kehidupan umum memang berat, apalagi mencegah kemungkaran tersebut melalui dakwah, kalau ringan tentu pahalanya bukan surga. Namun jika orientasi hidup kita adalah untuk meraih ridho dan surgaNya maka menjalani yang berat itu dengan keikhlasan adalah pilihan terbaik.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk.” (TQS. Al-An’aam: 116-117)
Views: 1089
Comment here