Oleh: Meitya Rahma, S.Pd.
Wacana-edukasi.com — Alam Indonesia dianugerahi Allah memiliki kekayaan yang luar biasa. Namun, kadang manusia sangat murka. Hingga alam pun terkuras hampir habis karena alam diolah secara berlebihan. Sebuah investigasi visual yang dirilis pada Kamis (12/11) menunjukkan perusahaan raksasa asal Korea Selatan “secara sengaja” menggunakan api untuk membuka hutan Papua demi memperluas lahan sawit (bbc.com,12/11/20).
Padahal Papua merupakan hutan hujan terluas yang tersisa di Asia. Greenpeace mengatakan investigasi ini penting untuk penegakan hukum pembukaan lahan yang ilegal. Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perkebunan di Indonesia, hal itu tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan atau melanggar hukum apabila ada perusahaan menggunakan api untuk pembukaan lahan.
Bagi masyarakat adat Papua hutan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat secara turun temurun. Masyarakat adat/suku di Papua lambat laun akan kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka hidup. Hutan mereka menjadi korban kerakusan para investor untuk perluasan bisnis perusahaan sawit. Jika Forensic architecture dan Greenpeace melakukan investigasi di Indonesia, pada tahun sebelumnya Forest Stewardship Council (FSC) juga melakukan investigasi di lapangan pada Desember 2017. Hasil kesimpulan investigasi tersebut sama seperti investigasi Architecture dan Greenpeace Indonesia, yang menyatakan bahwa Korindo dengan sengaja dan ilegal membakar area perkebunan (detik.com,13/11/20).
Atas hasil investigasi itu, Korindo Group membantah tudingan yang menyebut dengan sengaja membakar arena perkebunan itu. Dan bak gayung bersambut terdapat surat dari Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa korindo telah memperoleh izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri LHK. Komisi IV DPR akan meminta penjelasan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait peristiwa pembakaran ini dan memastikan pemerintah hadir untuk melindungi masyarakat adat yang hidup dari hutan (detik.com, 13/11/2020).
Seperti inilah nasib alam bumi Cenderawasih. Hak masyarakat pun kemudian terabaikan. Kerakusan para investor asing membuat mereka melakukan segala cara yang merusak alam. Hutan di bumi Cenderawasih ini yang menjadi salah satu hutan hujan yang tersisa akan menjadi rusak.
Adannya aturan tentang pelarangan pembukaan lahan dengan cara dibakar dalam pasal 69 hanya sebatas aturan tertulis saja. Terbukti sudah beberapa tahun mereka tetap saja melakukan pelanggaran melakukan pembakaran hutan,namun tidak diproses hukum. Selain berdampak pada kerusakan alam, mereka menzalimi suku-suku di sekitar hutan dengan membakar hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Indonesia sebagai negara yang dianggap konsisten menerapkan demokrasi, ternyata tidak menerapkan demokrasi itu sendiri. Tertulis Dalam pasal 33 Ayat 2 yang menyatakan; ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, pada faktanya kemakmuran tidak berpihak pada rakyat. Sumber daya alam yang melimpah tidak membawa manfaat bagi rakyat, kekayaan alam pun hanya dinikmati para kapitalis.
Jika kita lihat, sebenarnya konstitusi negara dalam pasal 33 UUD 1945 sudah sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam. Akan tetapi, dalam praktiknya jauh sekali dari aturan ini. Para pengambil kebijakan, dalam hal ini kementrian KLHK, telah ”mengabaikan” amanat konstitusi dalam pasal 33 ini.
Kekayaan alam yang seharusnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat kini diserahkan pada para kapital/investor yang notabenenya tidak memikirkan dampak kerusakan alam, tak peduli dengan penduduk yang menggantungkan hidup dari hutan. Ketidakhadiran penguasa terhadap kezaliman yang terjadi ini membuktikan abainya pemerintah terhadap rakyat dan abainya pemerintah terhadap alam negeri ini. Satu persatu aset negeri ini diambil oleh para investor asing melalui tangan para penguasa. Sedikit demi sedikit alam pun rusak.
Wajarlah jika muncul gerakan-gerakan separatis di Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Ketidakadilan dan kezaliman para penguasa negeri ini yang dirasakan beberapa rakyat Papua menjadikan mereka ingin memisahkan diri dari NKRI. Didukung dengan peran negara lain sebagai provokator untuk memisahkan diri dari NKRI. Dengan memasang muka bak ibu peri yang akan memberikan perlindungan, tetapi sebenarnya mereka adalah rampok. Mereka sebenarnya ingin mengeruk kekayaan alam Papua. Mereka mengambil kekayaan alam dan hanya menyisakan limbah dan sisa tambang.
Sumber daya alam menjadi rebutan para kapitalis asing maupun aseng. Negeri ini sebenarnya masih terjajah.
Untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan para kapital ini adalah dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Dimana sistem ekonomi Islam ini mengatur bagaimana pemanfaatan tambang atau sumber daya alam untuk kemaslahatan umat. Dalam Islam barang tambang merupakan kepemilikan umum (milkiyah ‘Ammah) yang dimanfaatkan untuk semua warga negara tidak boleh dimiliki individu atau perusahaan.
Oleh karena itu, ketika tambang di Papua pengelolaannya diberikan kepada investor asing maka hasilnya tidak bisa dinikmati masyarakat. Harusnya ketika banyak hasil tambang di tanah Papua, kesejahteraan rakyatnyapun terjamin, namun pada faktanya jauh dari kata sejahtera. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kini tinggal sebuah harapan. Solusi dari semua ini hanya dengan menerapkan syariat Islam.
Dengan syariat Islam SDA akan dikelola untuk kemaslahatan rakyat, sehingga membawa kemakmuran bagi semua rakyat negri ini. Maka ketika kesejahteraan merata bagi semua wilayah di suatu negri tidak akan meminimalkan bahkan meniadakan adanya gerakan-gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari negaranya. Penerapan Syariat Islam akan membawa keadilan bagi seluruh rakyat di suatu negara.
Views: 0
Comment here