Opini

Agama dan Politik, Satu Kesatuan yang Tak Terpisahkan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari
(Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI– “Jangan pilih calon pemimpin yang memakai agama sebagai alat berpolitik.” Himbauan ini datang dari Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas saat menghadiri acara Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat.

Menurut Menag, tujuan menyampaikan himbauan di atas, agar bangsa Indonesia memperoleh pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab untuk memajukan bangsanya. Maka pemimpin yang dipilih itu haruslah menjadi rahmat bagi seluruh golongan. Sebab agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat dan masyarakat bukan menjadi alat berpolitik.

Sementara, dikutip dari republika(dot)co(dot)id, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan nasihat agar para tokoh politik tidak perlu mengkonfrontasi antara agama dan nasionalisme jelang Pemilu 2024. Selain itu harapannya Pemilu 2024 tidak ada lagi dikotomi (pembagian) dengan memisahkan agama dan nasionalisme. Justru yang harus diperhatikan itu mengintegrasikan antara nilai-nilai agama atau keislaman, dengan nasionalisme.

Dari sini masyarakat bisa menilai, apakah himbauan dari Menag pantas dilontarkan padahal dirinya seorang muslim? Kalaupun ada calon pemimpin menjelang Pemilu mulai mendekati ulama, rajin blusukan, sedekah, menjadi model di video azan maghrib berwudhu dengan lengan baju panjang yang tidak digulung, apakah itu contoh yang dimaksud menjadikan agama sebagai alat dalam politik? Jika cara berpolitiknya yang kotor bukannya cara berpolitiknya yang harusnya dibenahi? Alih-alih menghimbau untuk menjauhkan/memisahkan agama dari politik?

Muncul ungkapan politik itu kotor, agama itu suci seakan menjadi legalitas memisahkan agama dari politik. Bukankah stigma ini bisa menyesatkan pemahaman umat terhadap agamanya (Islam)? Lalu, kenapa seakan hanya agama Islam yang tidak boleh berpolitik? Apakah Islam tidak punya ajaran dalam mengatur urusan umat sehingga kehidupan berpolitik tidak boleh menunjukkan identitas agama? Juga apakah membuktikan bahwa negeri ini adalah negara sekular?

Sekulerisme Haram dalam Islam

Sekularisme muncul pertama kali di masa Renaissance yang dicetuskan oleh para pemikir atau cendikiawan barat sebab tidak ingin disetir oleh kaum gerejawan dalam kekuasaan. Paham ini berasal dari agama Kristen di Eropa, khususnya pada Abad Gelap pada sekitar 250 tahun lalu saat peradaban barat mengalami fase dark age atau era kegelapan.

Pada masa kegelapan di Eropa, penguasa bersekutu dengan kaum gerejawan untuk melegalisasi kebijakan atas nama Tuhan. Padahal itu semua tak luput dari kepentingan penguasanya. Kaum cendikiawan merasakan hal itu dan mengusulkan agar agama (kristen) tidak lagi bergandengan dengan kekuasaan. Dari sinilah awal era baru peradaban barat.

Namun, kebangkitan peradaban barat sampai detik ini tidak mampu menjadi peradaban yang betul-betul memanusiakan manusia. Sekularisme yang menjadi asas pengatur politiknya, sementara untuk mengatur ekonominya mereka membuat aturan dengan ide kapitalisme. Contoh kemajuan peradaban semu di Amerika yang digadang-gadang menjadi negara adidaya pengusung sistem sekularisme dan ekonomi kapitalis justru menunjukkan tingkat angka kriminalitas tinggi dan semakin dalam jurang kesenjangan ekonomi.

Melansir indoesiawindow(dot)com, NewsNation Decision Desk HQ menemukan bahwa kriminalitas menjadi isu terbesar kedua bagi warga Amerika setelah inflasi. Belakangan banyak aksi teror dari orang bersenjata yang menimbulkan kekacauan dan korban jiwa. Kini kasus aksi pembunuhan pun naik 15% dari tahun sebelumnya. Belum lagi angka tunawisma meroket akibat inflasi dan kesenjangan ekonomi. Terbukti sudah sangat jelas bahwa kemajuan yang dilihat selama ini hanya semu. 

Lalu bagaimana kondisi negeri ini sendiri? Berbagai kerusakan pun nampak terjadi dari hulu ke hilir. Budaya korupsi meningkat, banyak pungli, kasus pembunuhan yang semakin keji, tergradasinya moral generasi, adanya liberalisasi SDA, sampai angka kemiskinan yang masih menggelayuti kondisi masyarakat umum hari ini.

Lalu jika sekularisme-kapitalis telah terbukti gagal, bahkan kian merusak peradaban itu juga akan diadopsi dan dipaksakan untuk diaplikasikan di negeri yang mayoritasnya beragama Islam tentu sesuatu yang jauh dari akal sehat.

Islam dan Negara

Dalam Islam, politik tidak bisa terpisah dari agama. Ibarat 2 sisi koin, agama harus menjadi landasan dalam menentukan arah berpolitik negara.

Islam adalah agama yang lengkap memiliki seperangkat aturan dalam mengatur seluruh aktivitas manusia, mulai dari bangun tidur sampai bangun negara. Sebagaimana Nabi Saw. pernah mencontohkannya dengan mendirikan Daulah Islam di Madinah.

Sebelum wafatnya Nabi Saw., beliau memberikan wasiat kepada umatnya untuk menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman agar hidup umatnya selamat. Dalam hadistnya Rasulullah Saw. bersabda :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

Dengan berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah, para sahabat bersepakat kepemimpinan umat harus dilanjutkan oleh seorang khalifah. Di sini khalifah dipilih melalui proses bai’at. Hukum syara’ lah yang menjadi aturan dalam hal kepemimpinan.

Pemimpin dipilih dengan kriteria tidak hanya berakal, cerdas dalam pengetahuan umum, tapi juga harus memiliki keimanan. Dengan adanya keimanan, pemimpin umat akan menjalankan amanahnya mengurus urusan rakyat, yang mana itu merupakan tanggung jawab utamanya. Terlebih pemahaman iman Islam pertanggung jawaban itu sampai ke akhirat.

Maka nampak jelas, agama tidak boleh dilepaskan dari kepemimpinan. Dengan agama (Islam), pengurusan negara akan berjalan teratur dan harmonis, karena aturan yang digunakan berasal dari Zat pencipta kehidupan, sehingga pasti hasilnya adil, membawa kemaslahatan dan jauh dari kedzoliman.

Ibnu Taimiyah di dalam kitab As-Siyasah asy-Syar’iyyah pada halaman 161:

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan amar makruf nahi mungkar atas umat. Kewajiban ini tidak akan sempurna kecuali dengan kekuasaan (quwwah) dan kepemimpinan (imarah)…”

Wallahu’alam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here