Oleh: Carminih, S.E. (Muslimah Indramayu)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Seorang calon anggota legislatif (caleg) DPRD kabupaten Subang, Jawa Barat, membongkar jalan telah dibangunnya, karena mengalami kekalahan saat pemilu 2024. Tak puas sampai di situ, aksi teror petasan pun dilakukan siang dan malam bersama pendukungnya di sejumlah tempat dengan perolehan suara terendah. Akibatnya seorang warga berusia 60 tahun meninggal dunia terkena serangan jantung. (inews.id, 25/02/24).
Sayangnya, kejadian serupa menimpa tidak hanya kepada satu orang yang mengikuti pencalonan. Bahkan timses pun terindikasi terkena gangguan mental dan jumlahnya puluhan. Fenomen ini menjadi bukti bahwa pemilu dalam sistem demokrasi rawan mengakibatkan gangguan mental. Alih-alih mendapatkan kekuasaan, yang diperoleh justru kemelaratan, timbunan utang berbunga dan berimbas pada terguncangnya jiwa.
Bagaimana tidak, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilu hari ini berbiaya tinggi sehingga pasti membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala macam cara untuk meraih kekuasaan. Misalnya disampaikan oleh LPM PE UI modal yang harus dikeluarkan untuk caleg DPR RI berkisar Rp.1,15 miliar – Rp.4,6 miliar. Ketua PKB cak Imin juga mengatakan butuh Rp.40 miliar untuk menjadi caleg RI dari DKI Jakarta.
Biaya tersebut digunakan untuk berbagai macam keperluan, salah satunya akomodasi ke daerah pemilihan politik yang mencakup transportasi, penginapan, makan, dan sebagainya. Belum lagi biaya kampanye seperti produksi baliho, kaos, iklan, dan logistik lainnya. Caleg pun harus membiayai tim sukses, bantuan sosial, biaya pengumpulan massa, hingga biaya saksi. Dan tak kalah fantastis bicara mengenai biaya serangan fajar, yang dialokasikan ke rumah-rumah warga. Sehingga wajar saja jika pemilu dalam demokrasi tidak bisa dipisahkan dari money politic.
Sebab untuk memenuhi biaya tersebut para kandidat harus mengurus harta bendanya untuk bisa mencalonkan diri dan bertahan di kancah kompetisi. Tidak jarang dari mereka yang akhirnya berutang dan mencari sponsor-sponsor berbagai kalangan. Alhasil jika gagal mereka akan kehilangan harta benda dan harus mengembalikan semua utangnya. Inilah yang cenderung menjadikan mereka akhirnya kena metal ketika gagal.
Di sisi lain, hari ini jabatan menjadi impian karena dianggap dapat menaikkan harga diri juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan mendapatkan fasilitas lainnya. Akibatnya mereka akan melakukan segala cara untuk bisa memenangkan kontestasi. Tidak peduli halal haram apalagi mudharat atau maslahat bagi umat. Wajar pula jika kandidat sekuler yang lemah imannya, depresi saat kalah sebab mereka dari awal telah salah dalam memaknai tujuan hidupnya.
Oleh karena itu sejatinya pesta demokrasi ini hanyalah alat legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan para oligarki. Rakyat seolah-olah memiliki andil dalam menentukan penguasa, padahal semua telah diatur sedemikian rupa agar pemenangnya adalah mereka yang tunduk pada pengusaha dan pemilik modal. Sebenarnya ini pula yang menyebabkan caleg depresi, yakni saat mengetahui suaranya bisa dicurangi. Tetapi faktanya tetap tidak bisa berbuat apa-apa.
Maraknya caleg yang terkena gangguan mental alias stres akibat kalah di kontestasi, hanya ada dalam masyarakat sekuler yang menjauhkan aturan Allah SWT dalam setiap aktivitasnya. Sistem politik demokrasi menjadi jalan untuk menghimpun para kandidat yang haus kuasa dan harta. Sehingga meniscayakan terjadinya gangguan mental akibat kalah dalam pencalonan.
Pada dasarnya kekuatan mental seseorang akan menentukan respon seorang terhadap hasil pemilihan. Dan salah satu hal yang berpengaruh besar terhadap pembentukan kekuatan mental seseorang adalah dari faktor pendidikan. Namun faktanya pendidikan hari ini justru gagal membentuk individu berkepribadian kuat. Terbukti dengan meningkatkannya kasus gangguan mental di masyarakat dari berbagai kalangan.
Kehidupan sekuler memang melahirkan masyarakat yang jauh dari agama. Mereka tidak memahami hakikat penciptaan manusia. Masyarakat sekuler juga tidak memiliki tujuan mulia dalam hidupnya yaitu beribadah kepada Allah SWT. Standar kebahagiaannya hanya materi dunia.
Adapun di dalam Islam, kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Sehingga harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan rasul-Nya. Siapa pun yang ingin memegang amanah jabatan, haruslah yang mengerti agama. Jika tidak maka akan mencelakakan diri sendiri sekaligus mencelakakan umat seluruhnya.
Seorang calon pemimpin, harus memiliki kemampuan dan tekad untuk bisa amanah dalam menjalankan tugas-tugas besarnya. Ini karena bagi pemimpin yang tidak amanah balasnya adalah neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja yang diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR. Muslim).
Karenanya, para kandidat dalam pemerintahan Islam adalah mereka yang taat kepada Allah SWT. Dan tujuan meraih jabatannya semata untuk mencari rida-Nya. Bukan untuk mencari keuntungan materi. Sehingga jika kalah, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya. Sebab imannya berbicara, bahwa apapun takdir dan keputusan Alalh atas dirinya merupakan yang terbaik dari Allah SWT.
Selain itu, pelaksanaan kontestasi dalam sistem politik Islam pun sangat sederhana. Tidak membutuhkan biaya tinggi apalagi sampai mengurus harta dan berutang untuk modal. Hal ini akan membuat kekalahan tidak lah menjadi beban. Dengan keimanan yang tinggi, mampu menyadari bahwa kemenangan dan kekalahan hanyalah ketetapan Allah yang harus disyukuri.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Views: 3
Comment here