Opini

Agenda Tersembunyi di Balik Kunjungan Paus Fransiskus

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari (Aktivis Generasi Peradaban Islam)

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada awal September 2024 menjadi momen penting yang banyak disorot media, baik nasional maupun internasional. Dalam berbagai pertemuan dengan pemimpin negara dan tokoh-tokoh agama, termasuk sambutannya di Istana Negara dan dialog dengan imam Masjid Istiqlal, Paus Fransiskus menyampaikan pesan-pesan tentang perdamaian, toleransi, dan persatuan antarumat beragama. Namun, di balik pesan-pesan tersebut, ada dimensi politik lebih dalam yang harus diwaspadai, terutama oleh umat Islam.

Paus dan Agenda Moderasi Beragama

Mengutip ucapan Paus di berbagai media mainstream dalam pidatonya di depan Presiden negeri ini, Paus menyatakan bahwa politik bukan lagi tentang perang, melainkan tentang kasih sayang. Ia juga menegaskan bahwa kekayaan terbesar Indonesia bukanlah emas atau sumber daya alam lainnya, melainkan keberagaman budaya dan harmonisasi antaragama.

Pernyataan-pernyataan ini tampak sejalan dengan upaya global untuk mempromosikan moderasi beragama sebagai agenda global, yang kemudian didukung oleh pemimpin negeri ini.

Ironinya, berbagai pernyataan Paus ini mendapat sambutan hangat dari kalangan muslim, baik dari pemimpin agama hingga masyarakat luas. Misalnya, antusiasme yang luar biasa terhadap buku yang disusun oleh 33 tokoh muslim sebagai bentuk sambutan untuk Paus, serta respons positif terhadap ide-ide yang hakikatnya berbahaya bagi akidah Islam.

Kasus lain adalah ketika usulan agar adzan ditampilkan hanya melalui *running text* di media elektronik yang malah dianggap wajar oleh sebagian tokoh Islam negeri ini. Respons-respons semacam ini menunjukkan bagaimana agenda moderasi beragama secara halus mulai meresap ke dalam tubuh umat Islam.

Namun, di balik pesan perdamaian yang disuarakan, umat wajib mewaspadai hidden agenda (agenda tersembunyi) yang bersifat strategis secara politis: *tadlil siyasi* yakni kemungkinan adanya upaya untuk memengaruhi opini politik umat dengan membungkusnya dalam retorika toleransi dan moderasi.

Dalam konteks politik global, konsep moderasi beragama yang dipromosikan oleh Paus dan didukung oleh pemerintah sekuler bisa menjadi alat untuk memuluskan agenda-agenda politik yang sejatinya dapat menggerus nilai-nilai fundamental Islam.

Bahaya Tersembunyi di Balik Moderasi

Umat Islam di Indonesia harus menyikapi dengan bijak dan kritis bahwa agenda moderasi beragama tidak selalu murni membawa misi kebaikan. Di satu sisi, moderasi mungkin dipandang sebagai solusi untuk menghindari ekstremisme, tetapi di sisi lain, ia juga bisa menjadi alat untuk melemahkan akidah dan prinsip-prinsip syariat.

Moderasi beragama adalah konsep yang mendorong sikap tengah atau netral dalam menjalankan ajaran agama dengan tidak bersikap ekstrem (radikal) atau terlalu longgar (liberal). Sikap ini cenderung mendorong umat untuk fleksibel alias kompromi dalam menjalankan syariat agamanya agar diterima oleh pemikiran modern yakni pemikiran barat yang cenderung liberal. Hal ini bisa berakibat mengaburkan aqidah umat dan mereduksi syariat Islam itu sendiri.

Bahkan demi menjaga hubungan yang harmonis sering kali ada tekanan untuk mengakomodasi praktik-praktik non-Islam yang bisa mengaburkan batasan antara yang halal dan yang haram. Moderasi beragama juga cenderung mengakomodasi paham yang membolehkan pemisahan antara agama dan urusan dunia. Ini membuka jalan bagi penerimaan nilai-nilai Barat seperti pluralisme dan sekularisme yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Termasuk konsep toleransi yang dikampanyekan oleh Paus yang diakomodasi oleh pemerintah sekuler sebenarnya sering kali mengaburkan batas-batas antara yang halal dan yang haram, antara keyakinan yang benar dan yang batil.

Sebagai contoh, dalam pertemuan Paus dengan imam Masjid Istiqlal, media internasional menyoroti hangatnya hubungan antara dua pemimpin agama ini sebagai simbol harmoni antaragama. Namun, harmoni semacam ini bisa menjadi jalan masuk bagi konsep-konsep yang bertentangan dengan ajaran Islam, jika tidak disikapi dengan bijak.

Ketika Paus berbicara tentang pentingnya dialog antaragama, kita harus bertanya: sampai sejauh mana dialog ini akan mengubah pemahaman kita terhadap kebenaran agama kita sendiri? Bukankah jauh 1400 tahun yang lalu Islam telah mengajarkan toleransi dalam ayatNya “lakum diinnukum waliyadin”?

Kritis Terhadap Agenda Sekuler

Kritik terhadap kunjungan Paus ini bukan berarti menolak dialog dan perdamaian antarumat beragama. Islam selalu mengajarkan pentingnya hidup berdampingan dengan damai. Namun, ada perbedaan antara hidup damai dengan mempertahankan akidah dan prinsip, dengan hidup damai yang mengorbankan keyakinan. Dalam dunia yang didominasi oleh politik sekuler, moderasi beragama sering kali digunakan sebagai alat untuk menghilangkan resistensi (bentuk ketahanan) terhadap paham agama (Islam).

Umat Islam harus lebih kritis terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh pemimpin agama lain, termasuk Paus, dan bagaimana pesan-pesan ini diadopsi oleh rezim sekuler. Moderasi beragama bisa menjadi alat untuk menciptakan umat yang mudah dikendalikan, yang menerima segala bentuk intervensi asing atas nama toleransi, bahkan ketika hal itu merugikan keyakinan mereka sendiri.

Contoh paling nyata pernyataan Paus tentang LGBTQ. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2023, ia menegaskan bahwa menjadi homoseksual bukanlah sebuah kejahatan. Sekalipun dirinya tetap menegaskan ajaran Gereja Katolik tentang hubungan seksual diluar pernikahan adalah dosa. Bukankah ini pernyataan yang ambigu? (Vatican News)

Umat semestinya waspada dengan kunjungan Paus yang begitu besar disyi’arkan sampai menggunakan masjid Istiqlal untuk serangkaian acara penyambutannya, mengingat keberpihakkan seorang tokoh luar ini terhadap LGBTQ. Jangan sampai kemesraan yang ditampilkan membutakan umat Islam dari penokohan yang sesungguhnya jauh dari suri tauladan umat Islam juga mempertontonkan toleransi yang kebablasan.

Sikap Umat Islam Sesuai Syariat

Sebagai umat Islam, kita harus tetap teguh pada prinsip-prinsip syariat dalam menghadapi berbagai agenda global, termasuk moderasi beragama. Toleransi dalam Islam berarti menghormati keberadaan agama lain tanpa mengorbankan akidah dan hukum Islam. Kita tidak boleh terjebak dalam narasi yang mengaburkan identitas Islam demi mencapai keharmonisan semu.

Kunjungan Paus ke Indonesia bisa menjadi kesempatan untuk memperkuat persaudaraan antarumat beragama, tetapi juga harus disikapi dengan hati-hati. Umat Islam harus menyadari bahaya yang tersembunyi di balik retorika moderasi dan tetap waspada terhadap upaya-upaya yang berpotensi menggerus akidah.

Belajar dari sosok sahabat Rasulullah Saw. yang mampu memberikan teladan dalam kepemimpinannya. Umar bin Khattab sebagai pemimpin negara saat tiba waktu shalat sesampainya di Yerusalem merupakan salah satu contoh penting dari sikap toleransi yang beliau tunjukkan terhadap umat beragama lain. Ketika itu Umar memasuki Yerusalem pada tahun 637 M, setelah kota tersebut menyerah secara damai kepada kaum Muslimin dan secara simbolik diserahkan dari Patriark Sophronius, pemimpin Kristen di Yerusalem kepada Umar bin Khattab.

Dikisahkan Umar bin Khattab yang sedang berada di Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre), waktu shalat pun tiba. Gereja ini adalah salah satu tempat paling suci bagi umat Kristiani karena diyakini sebagai tempat penyaliban dan kebangkitan Yesus. Patriark Sophronius pemimpin Kristen di Yerusalem menawarkan Umar untuk melaksanakan shalat di dalam gereja.

Namun, Umar dengan bijak menolak tawaran tersebut. Beliau khawatir bahwa jika ia melaksanakan shalat di dalam gereja, kaum Muslimin di kemudian hari mungkin akan menganggap tempat tersebut sebagai masjid dan merebutnya dari umat Kristiani. Beliau kemudian keluar dari gereja dan shalat di luar, di tempat terbuka.

Sikap yang ditunjukkan oleh Umar bin Khattab ini merupakan contoh nyata dari toleransi dalam beragama dan menghormati tempat-tempat ibadah agama lain. Keputusannya mencerminkan pemahaman mendalam tentang pentingnya menjaga kerukunan antarumat beragama dan menghormati tempat-tempat ibadah yang sakral bagi agama lain. Sebagai seorang pemimpin besar Islam, Umar bin Khattab memberikan contoh kongkrit dalam menegakkan prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan penghormatan terhadap keyakinan agama lain, bahkan di masa pembebasan wilayah lain.

Pada akhirnya, Islam mengajarkan bahwa perdamaian sejati hanya bisa tercapai dengan tunduk pada aturan Allah. Umat Islam harus terus kritis, membedakan antara perdamaian yang berlandaskan syariat dan perdamaian yang didikte oleh kepentingan politik global yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 20

Comment here