Cerpen

Air Mata Darah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Rumaisha

wacana-edukasi.com– “Apa? kamu … hamil!” teriak Ana sambil mengguncang tubuh Arini dengan keras.

“Iya, Ma. Maafkan Arini, aku telah mengecewakan Mama. Tetapi, ia berjanji akan menikahiku.”

“Siapa lelaki yang sudah merenggut mahkotamu itu?”

“Andre, Ma. Aku sangat mencintainya.”

Seketika wajah Ana menegang ketika nama itu disebut. Ia tidak bisa berkata-kata, jantungnya seperti tersengat aliran listrik 1000 watt. Selanjutnya pandangannya gelap, ia tidak ingat apa-apa.

“Ma, kenapa?” tanya Arini panik sambil mengguncang badannya. Ketika tahu mamanya tak sadarkan diri, ia memanggil sopir pribadinya, Pramono. Ia menyadari mamanya pasti kaget mendengar nama Andre disebut.

“Kenapa Nyonya, Nona?”

“Sudah jangan banyak tanya, cepat kita bawa ke rumah sakit.”

Dengan kecepatan tinggi bak dikejar hantu, Promono menjalankan kendaraannya. Sesampainya di tempat yang dituju, Arini meminta blankar untuk membawa mamanya ke ruang IGD.

“Dokter, tolong selamatkan Mama saya.”

“Iya, kami akan berusaha, Mbak.”

Dengan sigap dokter memeriksa Ana. Untungnya ia segera dibawa ke rumah sakit, kalau tidak kondisinya mungkin tidak bisa diselamatkan. Serangan jantung dadakan telah membuatnya seperti itu.

Hampir dua jam, Ana dalam pemantauan dan perawatan dokter. Setelah sadarkan diri, dokter menyarankan rawat inap beberapa hari untuk menstabilkan kondisinya.

Setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Arini menemui ibunya.

“Mama, gimana keadaanmu, aku khawatir sekali?”

Ana langsung membalikkan badan, ia tidak mau bertatap muka dengan anaknya.

“Mama tidak mau lagi bertemu denganmu, menjauh dariku.”

“Maafkan, Arini, Ma.”

Dokter yang masih ada di ruangan, menyarankan agar Arini menuruti permintaan Ana, ini demi menjaga kondisi kesehatannya.

Dengan berat hati, Arini meninggalkan mamanya dengan linangan air mata. Ia tak tega meninggalkan mamanya dalam keadaan sakit yang diakibatkan oleh perbuatannya. Bertahan di sini juga akan semakin memperburuk kondisinya karena serangan jantung yang dialaminya. Arini dilema, seperti makan buah simalakama.

Untuk mengawasi mamanya, Arini meminta Pramono untuk menungguinya di luar, untuk memantau keadaannya.

Sepeninggalan Arini, Ana menangis, hatinya hancur. Ia telah gagal mendidik putri semata wayangnya, sehingga terjerumus ke dalam pergaulan bebas dan sekarang hamil. Lelaki yang telah menodai anaknya adalah seorang nonmuslim. “Ya Allah, maafkan hamba, yang tidak bisa mendidik dan menjaga anak hamba,” gumamnya dalam hati, sambil tak henti meneteskan air mata.

Semenjak suaminya meninggal tiga tahun yang lalu, ia sibuk mencari nafkah untuk membiayai kebutuhannya. Waktunya banyak di luar rumah, meneruskan usaha suaminya, sehingga kurang memperhatikan Arini yang sedang tumbuh menjadi remaja.

“Nyonya, apakah butuh sesuatu, Non Arini meminta saya untuk menjaga Nyonya?”

“Tidak, kamu tunggu aja di luar. Jangan biarkan anak saya masuk ke sini, saya tidak mau melihat mukanya lagi,” jawab Ana.

“Baik, Nyonya.”

Pramono tidak tahu, apa yang terjadi dengan anak majikannya itu, sampai-sampai nyonyanya marah besar seperti itu. Ia tidak punya keberanian untuk menanyakannya.

Setelah tiga hari rawat inap, Ana diperbolehkan untuk pulang oleh dokter yang merawatnya. Setelah mendapat kabar dari Pramono, Arini membereskan segala sesuatunya dan ia menyuruh Pramono untuk membawanya pulang.

Ana akhirnya bisa terbebas dari serangan jantungnya untuk sementara, tapi di depan ada masalah besar yang harus menguras pikirannya dan air matanya. Sampai di rumah, ia disambut oleh istri Pramono dengan gembira. Suami istri ini sudah lama ikut bersamanya sejak suaminya masih ada. Mereka sudah seperti saudara baginya, selama hidupnya mengabdi dengan segenap jiwa.

“Mari, Nyonya, saya antar ke kamar,” kata Pramono. Anah membawa barang-barang Ana dari rumah sakit.

“Makasih, Mang.”

Ana langsung masuk ke kamarnya. Di atas tempat tidur, ia menemukan sepucuk surat yang ditujukan kepadanya. Ia meraih surat itu dan membuka isinya.

Assalamualaikum.
Ma, sekali lagi, mohon maaf atas kelakuan Arini yang telah meletakkan kotoran di muka Mama. Tetapi, Andre akan bertanggung jawab untuk menikah denganku di catatan sipil, dan dia berjanji akan masuk Islam setelah pernikahan kami. Aku sangat mencintainya Ma, jadi ijinkan aku hidup bersamanya. Untuk sementara, Arini akan tinggal di hotel sampai semuanya beres. Peluk cium, anakmu. Arini.

Ana dengan tenang membaca surat itu. Semenjak di rumah sakit, ia sudah pasrah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah. Ia yakin, ini adalah cobaan bagi keluarganya, semoga saja, apa yang dikatakan Arini, adalah kebenaran, bahwa Andre akan jadi mualaf.

Pergaulan yang bebas di luar, telah menghantarkan Arini menjadi bucin (budak cinta). Atas nama cinta, ia lebih memilih laki-laki nonmuslim itu daripada dirinya. Tamparan keras baginya, karena selama ini tidak pernah mengajarkan pendidikan agama kepada Arini atau menyerahkannya ke guru privat. “Ya Allah, maafkan hamba

*****

“Kamu janji ya, kalau sudah menikah di catatan sipil, akan memeluk Islam? aku sudah berkorban demi cinta sekalipun harus meninggalkan Mama untuk sementara,” pinta Arini ketika bersiap untuk mengurus pernikahannya.

“Iya, santai aja, kita lihat ke depannya,” jawab Andre dengan enteng.

Dengan cepat, Andre mempersiapkan segala sesuatunya, agar mereka segera menikah di catatan sipil. Dengan dihadiri kerabat dari Andre, akhirnya pernikahan beda agama itu pun berlangsung, tanpa restu Ana. Arini telah dibutakan dengan cinta, restu mamanya bukan lagi sesuatu yang penting.

Setelah menikah, mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan di Kota Jakarta. Malam pertama yang dinanti oleh pasangan yang baru menikah, tidak mereka nikmati, karena sudah dihabiskan di malam yang lain atas desakan syahwat yang bejat. Ranjang pengantin tidak lagi seindah yang diimpikan. Mereka menikah karena semata menyelamatkan benih yang sudah ada dalam rahim Arini.

“Dre, kapan mau mengucapkan syahadat di depan Ustaz? aku ingin kita menemui Mama, kamu sudah jadi mualaf,” tanya Arini.

“Tenang saja, kita kan baru menikah, masih banyak waktu.”

Hari berganti hari, sudah tujuh bulan purnama Arini lewati, sampai akhirnya bayi mungil tanpa dosa itu terlahir ke dunia. Arini berharap, semoga saja, kelahiran buah hatinya akan mempercepat sadarnya Andre untuk mengucap syahadat.

Tetapi, berbeda dengan Andre. Menurutnya, kelahiran bayi mungilnya justru akan semakin mengikat Arini untuk tetap bertahan di sisinya, sedangkan dia sendiri ingin tetap memeluk agamanya yang lama.

Sampai suatu hari, dengan terus terang, Andre mengajak Arini untuk pindah agama, mengikutinya.

“Tidak, aku tidak mau pindah agama. Kamu telah membohongiku, telah menipuku,” teriak Arini dengan keras.

“Aku juga kalau kamu tidak hamil, ogah tahu, masih muda sudah menikah, untung ada orang tuaku yang membiayai kebutuhan kita.”

Tidak dipungkiri selama menikah, Arini senantiasa hidup bergelimang kemewahan, semua kebutuhannya tercukupi. Tapi batinnya tersiksa. Ada keyakinan yang masih tersisa dan menghujam dalam batinnya, pernikahannya sudah melanggar norma agama, menikah dengan laki-laki nonmuslim.

“Ya Allah, kenapa baru detik ini aku sadar. Mama maafkan anakmu.”

Setelah penolakannya untuk pindah agama, Andre berubah sikap. Arini diperlakukan layaknya pembantu. Ia tidak pernah diberi uang untuk keperluannya, bahkan ia dilarang untuk keluar rumah, semuanya diatur. Tetapi, ia tetap tegar demi anaknya yang masih membutuhkan perhatian.

Ketika Andre tidak di rumah, Arini rajin kembali belajar Islam. Ia juga kembali melakukan salat tanpa sepengetahuan suaminya. Dengan sembunyi-sembunyi, Arini selalu menelpon Pramono, sambil menanyakan kabar ibunya. Dulu, ketika ia kecil, Promono dan istrinya yang mengajarinya ngaji. Dari suami istri itulah, Arini mendapatkan pemahaman agama sekalipun terbatas.

*****

“Hai kamu, lagi apa? buang-buang waktu saja, cepat aku mau makan,” kata Andre sambil menjambak mukena Arini.

“Aku kan masih muslim, tidak bolehkah aku menjalankan agamaku sendiri?”

“Tidak boleh. Awas ya, sekali lagi aku lihat kamu salat, aku akan tendang kamu keluar.”

Arini, hanya bisa meneteskan air mata. Kalaulah penyesalan itu bisa ia ganti dengan air mata darah, maka ia akan melakukannya.

“Ya Allah, kini aku datang menghadap kepada-Mu. Menyampaikan pengakuan dan penyesalan dengan hati yang hancur luluh. Kalaulah, masih ada kesempatan untuk bertobat, berilah hamba jalan keluar yang terbaik menurut-Mu. Aamiin.”

Satu-satunya yang memberikan kekuatan agar ia terus bertahan adalah anaknya, Kania. Arini berjanji akan menjaga anaknya itu dari pengaruh bapaknya dan keluarga besar Andre.

Apa yang menimpanya, enggak mungkin ia bercerita kepada mamanya. Cukuplah ia, menanggung malu akibat perbuatannya. Dari Pramonolah, Arini bisa mengetahui kondisi mamanya. Ia bersyukur mempunyai sopir pribadi sekaligus sebagai guru spiritualnya, yang sangat menyayangi mamanya.

“Besok, aku akan keluar kota selama dua hari. Awas kalau kamu macam-macam. Akan ada seseorang yang mengawasimu,” kata Andre sambil membawa tas.

Arini tidak menjawab. Ia sibuk mengurus si kecil yang baru saja mandi. Batinnya berkecamuk, apakah ini waktu yang tepat agar bisa terlepas dari neraka dunia? Tapi bagaimana caranya, Andre telah menempatkan bodyguard di rumahnya.

Malam pertama tanpa Andre, ia mencari cara agar bisa keluar dari sarang setan ini. Di luar sang bodyguard sedang berdiri sambil mengawasi keadaan rumah.

Dengan perasaan yang gemetar, Arini menguatkan diri menyusun strategi. Ia menyuruh orang kepercayaan Andre untuk pergi ke rumah Monika, ibu mertuanya dengan alasan sakit dan minta diantar ke dokter.

Kesempatan ini dipakai Arini untuk kabur dari rumah terkutuknya. Hanya tas baju anaknya dan pakaian yang menempel di badan, yang dibawa. Bak dikejar hantu, secepat kilat ia sudah duduk di atas taxi yang sudah dipesannya.

“Ya Allah, lindungi hamba dan selamatkan hamba untuk sampai di rumah Mama dengan selamat,” pintanya dalam hati.

Hampir setahun Arini meninggalkan rumah yang di dalamnya penuh cinta. Tidak banyak yang berubah. Hanya saja, malam itu terlihat banyak orang yang berdatangan. Di sudut pagar terlihat bendera kuning tertancap. Hatinya mulai berkecamuk. Ada apa? Siapa yang telah meninggal? Mungkinkah sopirnya?

Arini menyibakkan kerumanan orang yang ada di depannya. Ia melihat Pramono dan istrinya sedang menerima bela sungkawa dari para tamu.

“Mang, ada apa ini?”

“Alhamdulillah, Nona pulang. Nyonya, Nyonya meninggal.” Pramono tak kuasa menahan haru. Anah memeluk Arini dengan deraian air mata. Dengan sigap, ia mengambil Kania yang berada dalam gendongan Arini yang hampir jatuh.

“Mama, maafkan Arini. Arini telah berdosa,” teriak Arini sambil menubruk jasad ibunya.”

Arini memeluk Ana yang sudah terbujur kaku, diciuminya wajah ibunya tak henti-hentinya. Penyesalan merasuki jiwanya, geletar duka yang mencabik-cabik sanubari. Air mata darah sekalipun tak akan mampu mengembalikan ibunya. Semoga saja kepulangannya ke rumah dengan tobat yang dilakukannya akan membuat mamanya tenang menuju keabadiannya.

Selesai

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 75

Comment here