Oleh : Fuspita sari
Pagi itu, Siska memberitahu akan ada ujian praktik membaca Alquran. Sontak jantungku berdegup kencang, aku kira praktik agama hanya sholat subuh saja.
“Eh, yang bener kamu sis?” tanyaku dengan nada tak percaya
“Iya, kamu bawak Alquran gak?” tanya siska balik
Alquran. Aku bergumam dengan nada setengah tak sadar. Siska berlalu masuk ke dalam kelas, disana sudah banyak anak-anak yang membaca Alquran sebelum ujian praktik dimulai. Masih dengan kecemasanku, aku mengingat-ingat kapan terakhir aku belajar Alquran, tidak bukan Alquran tapi turutan, huruf itu sudah tidak kukenal, aku hanya hafal surah tiga qul, Alfatiha dan Al-lahab. Bagaimana kalau aku tidak lulus, bagaimana kalau teman-teman tahu aku tidak bisa membaca Alquran, bagaimana ini ya Allah, aduh alangkah malunya diri ini.
Mataku melotot melihat guru agama sudah memasuki kelas, tanpa disadari keringat dinginku keluar. Siska yang dari tadi memperhatikanku, menegurku dengan menepak tangannya di atas pundakku.
“Pit, kamu baik-baik saja kan?” tanyanya serentak
“i..ya aku sebenernya, eh aku minjem Alquranmu dong, kebetulan aku lagi gak bawak Alquran” jawabku menghilangkan gugup
Siska mengeluarkan Alqurannya dari dalam tas. Masih ku ingat Alquran itu berwarna emas yang sangat mengkilat. Batinku tersentuh, ya Robb ini pertama kali aku memegang Alquran seumur hidupku, jangankan membacanya memegangnya saja baru pertama kali aku lakukan. Aku pikir Alquran hanya ada di jaman para nabi terdahulu, karena pengetahuan agamaku yang minim sampai-sampai aku mengira bahwa Alquran sudah lenyap dari muka bumi ini.
Tidak, harus ku akui aku bukan terlahir dari keluarga yang mengerti tentang agama, bahkan aku dikelilingi oleh masyarkat yang tidak menjadikan agama sebagai jalan hidupnya. Jangankan mengajarkan membaca Alquran, bacaan sholat saja banyak yang tidak bisa melakukannya. Dan sebagai pembenaranku hari ini, wajar kalau aku tidak bisa membaca Alquran.
Sepulang dari sekolah, rasa lega menyelimuti hatiku, kecemasanku seolah berakhir karena pak guru hanya memintaku membaca surah yang aku hafal. Aku melepaskan seragamku dan bersiap-siap untuk main ke tempat tetangga. Suara adzan membuatku sejak berpikir, mau sholat apa tidak, kalau sholat apa balasannya, tidak sholat apa juga ganjarannya?. Ah, kalo belum bisa bukankah kalo sholat kita akan berdosa. Aku mengurungkan niatku untuk sholat dan berlalu ke rumah teman satu sekolahku.
“Eh, ada kak Dita” aku merangsek duduk didekat teman-temanku yang saat itu lagi asyik ngobrol.
Entah apa yang mereka obrolin, tiba-tiba aku nyeletuk di sela-sela pembicaraan mereka.
“Gimana caranya yah, biar bisa baca Alquran” Aku bertanya dengan polosnya
“Kamu gak bisa baca Alquran Pit?” Tanya Ani setengah kaget
“Kalau aku bisa, gak mungkin nanya Ni, kamu tahu kan aku gak bisa sholat, gak hafal bacaanya, aku juga gak bisa baca Quran Ni, aku juga gak puasa bulan Ramadhan gara-gara aku gak tahu nelan air liur itu batal apa gak, aku pingin kayak yang lain menutup aurat, tapi aku gak ngerti jalannya seperti apa” aku mengungkapkan apa adanya di depan Ani, Ana dan Dita.
“Hidup itu dinikmati saja Pit, jangan terlalu di ambil pusing, lagiankan kami merantau jauh-jauh dari kampung untuk nuntut ilmu bukan belajar islam” jawab Ana menenangkan
“Iya, tapi hidup ini begini-begini aja An, aku gak tahu setelah lulus aku mau kemana, nikah? Terus mau ngapain lagi? Mati!” jawabku dengan nada jengkel
“Sttt, kamu jangan bicara gitu dong, pamali tau,” sahut Dita
“Aku gak bisa menjawab sesuatu yang ada dibenakku Dit, aku ini siapa? Aku ini ngapain diciptakan? Untuk apa Allah menciptakan orang yang gak tau apa-apa seperti aku?” Suaraku terdengar kencang
“Kamu kenapa sih Pit kok tiba-tiba tanya yang aneh-aneh gitu, aku ikutan pusing liat kamu” Jawab Ani berlalu meninggalkanku. Sejak saat itu, aku tidak pernah bertanya lagi sama teman-temanku sampai kami menyelesaikan SMA, aku pikir suatu saat aku akan menemukan jawaban atas pertanyaanku.
Tiga tahun telah berlalu, saatnya aku menginjak Perguruan Tinggi. Aktivitasku sudah disibukan dengan tugas-tugas kuliah. Aku menjadi semakin hedonis dengan tidak lagi memakai kerudung ketika pergi ke kampus, alasannya cukup sederhana karena sekarang kampusku bukan PT yang berbasis agama, hanya saja yang berbeda sekarang aku sudah bisa membaca Alquran dan menjadi rajin sholat ke masjid. Setiap ke masjid aku suka berlama-lama, aku merasakan sesuatu yang tenang yang tidak bisa aku dapatkan di tempat manapun.
Siang itu, seorang yang tidak kukenal tiba-tiba menghampiriku, ia menanyakan nama dan meminta nomor HP, dan ia menyodorkan buletin serta booklet undangan acara. Ia bercerita tidak terlalu panjang dan pergi berlalu.
Sejak saat itu ia rajin mengirimkan pesan singkat untuk mengajak ke berbagai acara, ia juga mengajakku untuk kajian rutin lalu akupun mengiyakan. Hari demi hari berlalu, aku banyak mempelajari islam yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya, teringat memoriku tentang berbabagi pertanyaanku dulu, materi demi materi begitu membekas di benakku, dan membuatku semakin tunduk kepada aturan islam, rasa takut bermaksiat kepada Allah, rasa cinta kepada syariah-Nya, dan berbagai problematika umat yang membuatku semakin bergemuruh bangkit untuk menjadi bagian dari pejuang islam.
Aku bertanya dalam hati, aku kah itu? Orang yang tidak bisa membaca Al-quran. Aku kah itu? Orang dhoif yang berlumur dosa. Akukah itu? orang asing yang dikabarkan beruntung karena telah memilih berjual beli dengan Allah. Akukah itu? Orang yang terpilih dari sekian banyak hamba Allah, untuk melanjutkan tugas besar para Nabi dan Rosul. Akukah itu? Orang yang dipilih Allah di tengah-tengah kejahiliyaan yang semakin kelam ini untuk meruntuhkan bangunan yang sudah kropos.
“Ya muqallibal qulub tsabbit qalbi ala dinika, Ya Allah Dzat yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hatiku diatas agamaMu, jadikanlah aku istiqomah hingga mendapatkan kemuliaan dalam naungan Syariahmu atau mati dalam sebagai Syuhada” doaku
Views: 20
Comment here