Opini

Alam Marah akibat Manusia Serakah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Muji Habibah (Praktisi Pendidikan)

Di awal tahun 2021 Indonesia “disambut” dengan berbagai bencana alam. Mulai dari banjir, longsor, gempa bumi hingga gunung meletus. Bencana banjir misalnya, “Banjir di Kalimantan Selatan (2021) kali ini adalah banjir terparah dalam sejarah,” Kata Kisworo Dwi Cahyono Direktur Ekskutif Walhi Kalsel. BPBD Kalsel merilis data harian hingga per 14 Januari 2021, tercatat ada 67.842 jiwa yang terdampak dari total 57 peristiwa banjir sejak awal tahun. Khusus untuk bangunan rumah warga yang terdampak sebanyak 19.452 unit. Dan kini wilayah Kalimantan Selatan dinyatakan berstatus tanggap darurat bencana banjir.

Berdasarkan laporan tahun 2020 terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggalkan tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah. “ Ini menunjukkan daya tampung daya dukung lingkungan di Kalsel dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis, sudah sering kita ingatkan, dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit,” tegas Kisworo. Suara.com (15/1/2021).

Menurut Kepala Departemen Kajian Kebijakan dan Pembelaan Hukum Lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi mengatakan, “ini terjadi (banjir di Kalsel) karena fungsi penyeimbang, penyerapan dan penahan ekologis telah hancur oleh pembabatan hutan dan ektrasi alam,” Kompas.com, Rabu (20/1/2021). Ia menganggap untuk mencegah terjadinya bencana alam yang lebih besar, perlu upaya serius pemerintah dalam memulihkan lingkungan karena ia menilai itu langkah penting, mengingat hujan akan turun tidak akan menyesuaikan volumenya dengan luas hutan yang tersisa. Menyalahkan hujan atas terjadinya bencana adalah gambaran bahwa pemerintah menghindari pokok persoalan. Jadi, kalau banjir terulang di masa depan, itu bukan lagi bencana alam, tapi kejahatan terencana,” tutupnya tegas.

Bencana atau musibah yang menimpa tentu merupakan bagian dari ketetapan atau qada Allah. Tak mungkin ditolak ataupun dicegah dan sebagai ketetapan Allah musibah atau bencana haruslah disikapi dengan lapang dada,ridha, tawakal dan istirja’ serta sabar (QS. Al Baqoroh (2); 155-157). Selain itu, Rasulullah juga bersabda: “ Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah (bencana) berupa kesulitan, rasa sakit, kesedihan, kegalauan, kesusahan hingga tertusuk duri kecuali Allah pasti menghapus sebagian dosa-dosanya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kesabaraan menghadapi musibah harus disertai perenungan untuk menarik pelajaran guna membangun sikap, tindakan dan aksi ke depan demi membangun kehidupan yang lebih baik, termasuk untuk mengurangi potensi terjadinya bencana dan meminimalkan atau meringankan dampaknya.
Allah Swt. menyatakan bahwa musibah terjadi sesuai dengan kehendak dan ketentuanNya sebagai Qadha, sebagaimana terdapat dalam Surat At Taubah (9) ayat 51. Namun demikian, Allah Swt. juga memperingatkan bahwa musibah terjadi juga akibat ulah manusia. Allah berfirman: “Musibah apa saja yang menimpa kalian itu adalah akibat perbuatan kalian sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dosa-dosa kalian).” TQS Asy-Syura (42):30.

Selain curah hujan yang tinggi, penyebab terjadinya banjir yang meluas hingga satu provinsi dikarenakan keserakahan korporasi. Organisasi swadaya masyarakat Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menyebutkan, tanah kosong untuk tanaman kelapa sawit seluas 5,8 juta hectare dikuasai 25 konglomerat Taipan tahun 2017, dengan perincian 3,3 juta ha atau 57 persen dari total tanah kosong berada di Kalimantan. Lalu 1,9 juta ha atau 33 persen di Sumatra dan sisanya masing-masing 4 persen di Sulawesi dan Papua (cnnindonesia.com,2019).

Data di atas baru perusahaan sawit, belum perusahaan tambang yang jumlahnya pun sangat besar. Jika lahan telah dikuasi korporasi, penggunaan lahan akan berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mempedulikan kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat akibat bencana. Sebagaimana dugaan Greenpeace Indonesia, banjir yang melanda Kalimanatan Selatan diakibatkan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah kehilangan sekitar 304.225 ha tutupan hutan, sebagian besarnya sudah berubah menjadi kelapa sawit. Padahal DAS itu merupakan wilayah yang seharusnya menampung hujan di Kalsel. Namun, karena tutupan hutannya berkurang drastic, kemampuan menampung air berkurang (cnnindonesia.com 18/1/2021).

Sebagaimana Walhi dan Organisasi Transformasi untuk Keadilan (Tuk) dan lembaga-lembaga lainnya yang begitu getol menganalisa serta mengkritisi penyebab banjir ini, maka yang perlu kita pahami adalah penyebab terjadinya bencana ini karena penerapan sistem kapitalis sekuler. Sistem ini, telah melegalkan eksploitasi SDA yang memberikan izin seluas-luasnya untuk terjadi pembabatan hutan hingga deforestasi secara massif dan mengalihkan fungsi hutan menjadi area pertambangan dan area perkebunan sawit guna memperlancar investasi dengan dalih mengejar pertumbuhan ekonomi yang akan menghantarkan pada kesejahteraan rakyat.

Namun, bukan kesejahteraan yang diraih kerusakan lingkungan yang meluas terus meningkat hutan-hutan menjadi gundul,lubang akibat penambangan terbuka lebar dimana-mana setiap tahunnya jika musim kemarau masyarakat harus bersiap dirundung kabut asap akibat kebakaran hutan dan jika musim penghujan masyarakat harus merasakan derita kebanjiran seperti saat ini.

Eksploitasi SDA besar-besaran yang dilakukan oleh korporasi tidaklah berjalan sendiri, namun hal itu karena adanya dukungan pemerintah melalui kebijakan kebijakan yang dibuat. Kapitalisme Sekuler telah meletakkan bahwa aturan kehidupan seyogyanya dibuat oleh manusia dan senantiasa menjauhkan aturan agama dari kehidupan dan kapitalisme juga meletakkan bahwa individu-individu kapitalislah yang menjadi ikon istimewa yang layak dilayani oleh negara. Sehingga, dapat kita lihat bagaiamana para kapitalis (pemilik modal) ataupun korporasi diberikan keleluasaan untuk mengeksplor sumber daya alam sebesar-besarnya.

Syari’at Islam telah mengajarkan, langkah pertama ketika menghadapi bencana adalah bertobat kepada Allah Swt., sebagaimana apa yang telah dilakukan ‘Umar ibn Khoththob ra saat Madinah ditimpa gempa “Wahai manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku takkan bersama kalian lagi!”

Sungguh, kemaksiatan terbesar negeri ini adalah dicampakkanya hukum Islam. Dibolehkannya korporasi mengeksploitasi SDA besar-besaran demi kepentingan segelintir orang adalah akibat dari negeri ini tidak menerapkan syariat Islam.

Islam telah memetakan harta kepemilikan menjadi tiga kategori yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Kepemilikan umum meliputi sumber daya alam yang jumlah sangat besar yang dikelola negara untuk kepentingan masyarakat luas, haram hukumnya apabila sumber daya alam yang sangat besar potensi dan kekayaannya dikuasai oleh negara ataupun korporasi demi meraup keuntungan segelintir orang. Hutan termasuk sumber daya alam yang sangat besar yang diperuntukkan oleh masyarakat luas peran negara hanyalah mengelola. Hal ini sesuai sabda Rasulullah saw. “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu: air, api dan padang rumput.” (HR. Ibnu Majah). Telah gamblang sekali, Islam mendudukan bagaimana pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya, kembali pada aturan Allah meniscayakan keteraturan yang adil bagi masyarakat luas, karena aturan tersebut langsung datang dari Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir.

Wallahua’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 157

Comment here