Oleh: Anita S
“Sita, Bapak sudah meninggal,” ucapku pelan.
“Meninggalkan kita? Memang Bapak mau ke mana?” tanyanya kembali.
Kutatap adikku dengan syahdu, dengan bahasa apa harus kujelaskan lagi. Di umurnya dia saat ini mungkin tak mudah untuk memahami apa itu meninggal. Ah, mengapa dadaku sesak saat mengingat kata meninggal?
“Bapak pergi menghadap kepada Allah.”
“O, Bapak menghadap Allah. Bapak kembali lagi apa tidak, Kak?”
Aku menggelengkan kepala. Melihatku, Sita hanya mengangguk. Wajahnya tetap datar, tak ada kesedihan, tidak pula kehilangan. Sita, sederhana sekali pikiranmu. Tetaplah seperti ini adikku, tumbuhlah sebagaimana yang engkau mau. Biar kakak yang terkoyak dan menanggung kesedihan ini.
Sita mengambil HP di atas kasur, ia menekan sebuah nomer. Kepalaku terlalu pusing untuk memikirkan apa yang harus kulakukan.
“Sita? Siapa yang kautelpon?”
“Paman kecil, aku mau telpon paman kecil. Kasihan Bapak dan Kakak sakit. Mungkin Paman kecil bisa telponkan pak dokter Andre untuk kemari.”
Aku hanya mengangguk. Kucoba untuk memejamkan mata. Kepalaku terlampau berat untuk bangun. Mungkin saat dokter Andre datang nanti, aku bisa menjelaskan padanya.
Cekrek … cekrek ….
Antara ada dan tiada, kudengar suara kamera berbunyi. Mungkin Sita sedang mengambil gambar kami kemudian mengirimkannya pada Paman kecil, adik bungsu Bapak. Selanjutnya, aku tak tahu apa yang terjadi. Aku tak tahu juga apa yang Sita bicarakan dengan Paman kecil yang ada di Semarang. Yang kutahu saat aku membuka mata, rumahku telah berubah menjadi lautan manusia. Semua adik ibuku datang, entah sejak kapan. Sementara saudara Bapak karena ada di luar kota, hanya Lek Minto dan Bik Sundari, sepupu Bapak, saja yang terlihat sibuk sekali.
Mereka semua memandangku dengan tatapan iba. Tatapan yang sangat kubenci. Mengapa mereka datang saat Bapak tak bernyawa? Mengapa mereka baru peduli saat Ibu dan Bapak tidak ada?
Kubiarkan mereka merawat jenazah Bapak dan menguburkannya. Mereka adalah kerabat Bapak dan Ibu. Biarlah, semoga ada hikmah yang bisa mereka ambil dari kematian saudaranya.
Tujuh hari telah berlalu. Selamatan dan doa bersama untuk Bapak dari kerabat dan tetangga baru saja usai. Pamanku, kakak Bapak memanggilku untuk hadir di ruang tengah. Kulihat keluargaku terbagi menjadi dua kubu. Kubu kerabat Bapak dan kubu kerabat ibuku. Entah apa yang menyebabkan mereka begitu, aku memilih diam dan menonton apa yang akan terjadi.
Paman Irwan, lakak sulung Bapak membuka forum. Kutatap wajah teduhnya dan kudengarkan dengan cermat setiap kalimat yang dia susun.
Rupanya mereka sedang membicarakan warisan yang ditinggalkan oleh Bapak dan Ibu. Selama Bapak masih hidup, harta Ibu dipegang oleh Bapak. Dan dipakai untuk kehidupanku dan adikku. Namun sekarang, sepeninggal Bapak tiba-tiba saja mereka peduli.
Aku tak begitu paham dengan urusan warisan dan pembagiannya. Waktu itu aku masih kelas X. Aku belum mendapatkan pelajaran ilmu faraid di mata pelajaran PAI.
Kudengar paman Irwan menginginkan pembagian warisan berdasarkan Islam dengan bagian terbesar untuk aku dan adikku sebanyak 2/3 bagian dari total peninggalan orang tuaku. Sedangkan sisanya dibagi dengan ahli waris yang lain. Namun, salah satu adik ibuku menolak. Ia menginginkan semua harta peninggalan Bapak dan Ibu diberikan padaku dan dibagi dua dengan adikku.
Satu lagi pamanku, adik Ibu yang kedua, menginginkan dipisah antara harta Bapak dan harta Ibu. Dengan ketentuan harta ibu diberikan kepada adik-adiknya dan harta Bapak diberika pada kami.
Ramai sekali mereka berbicara tentang harta yang ditinggalkan oleh orang tuaku. Aku marah, seenaknya saja mereka membaginya. Mereka tak ikut mencari harta itu, tapi sangat bersemangat membaginya giliran bapakku tiada. Kututup saja telingaku dari perdebatan tentang harta waris malam ini.
Mengapa mereka hanya berpikir bagaimana membagi harta bapakku? Apa tidak ada yang berpikir siapa yang akan mengasuhku? Aku kesal, aku pun teriak. Seandainya Paman kecil ada disini lebih baik aku bersamanya. Ia tak pernah membicarakan tentang harta.
“Mila, sepeninggal Ibu dan bapakmu Mila dan Sita tinggal dengan Bibi ya?”
Tiba-tiba saja nada suara Bibi Alin terdengar sangat lembut dan keibuan. Aku tak begitu akrab dengannya karena selama ini ia tinggal di luar kota. Mulutku menganga dan mataku membulat. Apakah aku harus tinggal dengannya?
“Bagaimana dengan rumahku?” tanyaku padanya.
“Rumahmu akan dirawat dan ditempati oleh Lek Minto”
“Lek Minto?” Aku tercengang mendengar namanya. Aku tidak suka Cinta dan ibunya tinggal dirumahku. Mereka berdua sombong dan suka mengolok-olok ibuku ketika masih hidup. Katanya, ibuku kurus kering dan penyakitan, hitam, tidak cantik lagi. Akan tetapi, ketika Ibu dan Bapak meninggal, eh, mereka malah menempati rumahku.
“Bibi, aku mau tinggal di sini. Aku tidak mau rumahku di ambil Cinta,” rengekku pada Bibi Alin.
“Mila siapa yang akan mengasuhmu dan Sita di sini? Apakah Lek Minto akan mengasuhmu jika kamu tetap tinggal di sini? Bukannya lebih baik kamu tinggal bersama kami? Ada Pasha dan Dona di rumah. Bersamanya kamu tidak akan kesepian.”
Aku tak bisa menolak ajakan Bibi Alin. Aku tak punya pilihan, hanya dia yang mau mengasuhku dan Sita. Kudengar karena b
Bibi Alin yang mengasuhku dan Sita maka dia jugalah yang berhak memegang uang tabungan Ibu dan bapakku yang jumlahnya ratusan juta. Dengan alasan untuk sekolahku Bibi Alin juga membawa mobil Ekspn**r yang baru saja Bapak beli untuk kami. Dengan harta kami, sepertinya Bibi Alin menjadi orang kaya baru.
Demikianlah sekelumit kisahku di masa lalu. Satu tahun sudah aku bersama Bibi Alin. Beliau benar-benar menjadi orang kaya baru. Beliau pergi ke mana pun dengan mobil kami, sedangkan aku? Cukup sebuah sepeda motor Scup* yang kupakai untuk kendaraan ke sekolah dan mengantar jemput Sita.
Perih, menyaksikan mereka memakai semua harta kami. Termasuk tabungan yang konon kabarnya mereka pakai untuk berbisnis properti. Tapi, apalah daya kami. Dua anak perempuan yang belum cukup kenyang dengan asam garam kehidupan. Kami tak bisa memilih dan tak punya pilihan.
Saat ini yang penting aku bisa sekolah dan masih punya saudara, meskipun kedua sepupuku sangat aneh. Yang satu pendiam dan dingin, yang satunya rame dan usil.
“Mila … Karmila, nyapu terus ngepel!” ujar Dona. Lelaki yang memiliki nama seperti perempuan itu memiliki bibir selicin namanya.
“Mila … ini masih kotor. Yang itu di bawah kolong lemari juga masih kotor.” Suara Dona menggelegar.
“Iya,” jawabku sambil bersungut-sungut.
Aku tak marah dengan ocehannya karena aku memang tak pandai bersih-bersih rumah. Bapakku tak pernah memaksaku untuk bersih-bersih. Beliau juga tidak secerewet Dona dalam hal kebersihan. Jika capek, kami tinggal memanggil tetangga yang berprofesi sebagai pekerja serabutan. Beres, hidup kami tenteram tanpa teriakan karena ini kotor atau itu tidak bersih.
“Sita sini!” Sita yang baru keluar dari kamar mandi tak luput kena omelan si Dona.
“Ambil sisir dan karet di meja rias Kakak Dona.”
Perlahan Sita melangkah ke kamar Dona. Ia mengambil sisir dan karet gelang.
“Ini, Kak,” ujar Sita ketakutan.
“Duduk!” Dona memberi kode agar Sita duduk di sebelahnya.
Jari panjang Dona menyisir rambut Sita dengan hati-hati. Rambut panjang milik Sita terlihat indah dan berkilau setelah Dona mengolesi minyak dari sebuah benda yang mirip kapsul berwarna keemasan.
“Perempuan itu harus rapi! Rambutnya disisir, dikepang, atau diberi pita-pita! Biar kelihatan perempuan. Gak kayak kakakmu, si rambut singa,” ujarnya sambil melirikku.
Aku, sih, baik-baik saja, tak tersinggung dengan perkataannya. Sebab bukan hanya dia yang mengolok-olok diriku dengan sebuatan rambut singa.
“Apa lo lihat-lihat? Pakai mata lagi,” hardiknya saat mataku tanpa sadar terpaku pada kelihaian tangan Dona mengepang rambut Sita.
(Bersambung)
Views: 0
Comment here