Oleh: Anita S.
Wacana-edukasi.com — “Bagaimana bisa tangannya begitu terampil mengepang rambut Sita?” gumanku dalam hati.
Senyumku yang lolos tanpa saringan membuat Dona melotot. Ceruk di kedua pipiku terbentuk. Kata orang aku sangat cantik saat tersenyum. Itulah mengapa aku sangat percaya diri walau tak pernah memakai make-up.
“Kamu Mila, sisir rambutmu! Ikat ke belakang! Keluar rumah pakai kerudung! Sudah baligh masih saja tak berhijab.”
“Hello? Siapa kamu, siapa aku?” sahutku ketus. “Kayak embok-embok saja.”
“Hai Nona Cantik, aku adalah sepupumu. Satu-satunya keluarga yang peduli padamu. So what? Laksanakan!”
Mati kutu aku dibuatnya. Jujur walaupun mereka menggunakan harta benda Ibu dan bapakku untuk usaha, memang hanya mereka yang mau merawat kami terlepas dari motif apa pun di baliknya.
“Iya cerewet, badan laki mulut perempuan,” gumanku. Mata Dona melotot seperti setan sedang mengamuk mendengar kalimatku.
“Sudah cantik. Sita boleh bermain jika sudah sarapan. Sekarang sarapan dulu!” Sita tak menjawab. Bibir mungilnya tak berhenti tersenyum memandang bayangannya di kaca.
“Bagaimana aku bisa secantik ini? Abang Dona bukankah aku seperti putri Cina?” tanyanya. Kurasa lebih tepat kalimat itu adalah ungkapan memuji diri.
“Kalau dirawat semua perempuan itu akan terlihat cantik. Sebaliknya kalau tak dirawat dia akan terlihat seperti singa.” Dona melirik jahat ke arahku.
“Sita, nanti sore kita jalan-jalan. Abang Dona akan belikan kamu aksesori rambut perempuan. Bisa-bisanya kamu punya kakak perempuan gak bisa ngurus adik perempuannya.”
“Olala, terserah apa katamu Wahyu Prima Romadhona,” teriakku. Aku mengerucutkan mulut dan berlagak tak peduli. Bagiku, tampilan nomer 27. Yang nomer 1,2, 3 adalah pinter, baik, dan suka menolong.
Minggu sore, Sita benar-benar ke luar bersama Dona. Mereka berdua tega tak mengajakku. Tapi tak masalah, walaupun di rumah tinggal aku dan Pasha tetap saja rasanya seperti sendiri. Abaikan makhluk dingin, sedikit sombong, dan irit sekali bicara itu. Ada atau tidak adanya dia rasanya sama saja.
“Assalamualaikum.” Sebuah suara lembut dan menenangkan terdengar dari halaman.
“Waalaikumsalam,” jawabku dari ruang tamu. Seorang gadis ayu berkerudung ungu muncul di depan pintu. Wajahnya putih bersinar seperti Elsa di film Frozen kesukaan Sita.
“Cari siapa Mbak?” Gadis tersebut sedikit terkejut melihatku muncul dari belakang pintu.
“Pasha ada?”
“O, ada. Tunggu sebentar! Silakan masuk!”
Derit langkah kakiku terdengar jelas di rumah yang ditinggal para penghuninya sore ini. Jujur aku sedikit canggung memanggil manusia es itu. Setelah menghela napas kuketuk pintu kamarnya.
“Pasha … Pasha … Abang Pasha… ada tamu cewek cantik berjilbab,” ujarku tanpa dosa.
“Pashaaa ….” Tak ada suara. Kuberanikan diri memutar handle pintu.
Kriek ….
Pintu tak terkunci. Perlahan aku memberanikan diri masuk ke kamarnya. Baru kali ini aku berani masuk kamar Pasha, itu pun terpaksa karena ada yang mencarinya.
Kamarnya sangat bersih dan rapi. Di pojok ada sebuah tangga pendek terbuat dari kayu. Sajadah dan sarung tertata rapi pada anak tangganya yang hanya berjumlah tiga buah.
“Ha?” bibirku menganga saat melihatnya ke luar dari kamar mandi hanya dengan sehelai handuk panjang menutup pusar sampai bawah lutut. Belok kanan grak, segera kuputar badanku ke samping kanan.
“Maaf Bang, di bawah ada cewek cantik berhijab nyari Abang,” ucapku sambil menutup mata.
“Kamu keluar!” ucapnya tegas.
“Iya, aku keluar.”
Bergegas, aku keluar dari kamarnya. Hatiku berdebar kencang, ada rasa yang aku tak tahu itu apa. Aneh sekali.
“Tunggu sebentar ya, Kak. Dia baru ke luar dari kamar mandi. Biasanya salat dulu, kalau sore begini zikirnya agak lama.”
Netra wanita berhijab ungu itu kulihat membulat. Entah apa yang ada dipikirannya. Namun, kata teman-temanku tatapan seperti itu biasanya bermakna ia berpikir yang enggak-enggak, alias ngeres.
“Saya nggak ngapa-ngapain, Kakak jangan berpikir yang tidak-tidak!” kataku ketus. Aku pun berbalik menuju kamarku. Mungkin dia pacarnya, eh taaruf-annya Babang Pasha Syelendra. Kan malu kalau aku jadi obat nyamuk.
“Kamu mau ke mana?” Jantungku hampir copot mendapati Pasha sudah menjulang di hadapanku.
“Mau ke kamarlah,” jawabku cuek. Bola mata Pasha melirik ke kanan dan ke kiri. Mungkin ia mau mengungkapkan sesuatu, tetapi malu. Aku berlalu saja dari hadapannya.
“Kamu pasti butuh bantuanku, makanya Bang jadi orang sok suci, sok gak butuh orang lain. Aku saja merelakan harta bendaku dipakai orang tuamu bekerja demi punya keluarga,” gumanku jahat. Tak ada pikiran baik dalam benakku padanya. Setahun aku di sini tak pernah sekali pun ia menegurku.
“Mila temani aku!”
“What’s aku gak salah dengar? Kayak anak kecil saja ketemuan sama pacar minta ditemani,” nada suaraku yang cukup tinggi menjadikan kedua insan tersebut bertatapan. Entah mengapa ada rasa bahagia bisa berbuat usil pada mereka.
“Adik, seorang lelaki tidak boleh berdua-duan dengan wanita tanpa hajat syar’i. Itu namanya ikhtilat,”
Alisku bertaut, keningku pun berkerut. Aku heran dengan kakak itu, dia bilang haram berduaan tapi datang sendirian.
“Kenapa Kakak tidak membawa teman?” tanyaku kembali. Kulirik Babang Pasha, ia terlihat salah tingkah. Berbeda dengan temannya yang nampak santuy.
“Tadi Pasha bilang ada adiknya perempuan di rumah, jadi Kakak berani datang sendiri. Lagi pula cuma sebentar, kok, mau minta tanda tanggannya untuk acara bakti sosial di panti asuhan.”
“Apa? Bakti sosial untuk anak yatim? Saudaranya yang yatim saja tidak pernah diurus mau bakti sosial ke panti asuhan? Hello, dasar muna***,” pekikku dalam diam.
Kutahan-tahan emosiku selama ini, ternyata gagal juga gara-gara bakti sosial ke panti. Jijik, marah, kesal, bercampur aduk menjadi satu saat ingat harta kami, anak yatim, digunakan semena-mena oleh keluarganya.
Dengan cepat aku berlalu. Dadaku sesak, rasanya mau meledak saja. Baru satu langkah aku membalikkan badan, Pasha menarik lengan kausku. Menyebalkan, ia pikir aku benda najis.
“Tunggu sebentar!” Ia memaksaku duduk di sebelah temannya dan dia duduk di kursinya yang menghadap pintu.
“Jangan kasar gitu, Pak?” Secara otomatis kepalaku menoleh kepada pemilik suara.
“Pak, Bapak?” kataku menegaskan.
“Iya, Bapak Pasha. Itu panggilan abangmu di kampus. Dia dapat panggilan itu sejak menjadi asisten dosen.” Aku tersenyum tipis untuk mengejeknya.
“Emang pantas kok. Sudah tua,” sahutku untuk menyempurnakan kemenangan mengejeknya.
“Mana lagi, Bel?”
Wanita yang dipanggil “Bel” tersebut meletakkan sejumlah dokumen untuk ditandatangani Babang Pasha. Tidak enak sekali rasanya duduk di antara kedua insan yang saling jaim itu. Sesekali aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, sesekali aku memainkan ujung rambutku untuk mengusir bosan. Ia bilang sebentar, tapi rasanya seperti satu jam lebih.
Karena tak tahan dengan suasana yang beku dan membosankan, aku berdiri saja tanpa bertanya kepada si Pasha.
“Adek mau ke mana? Maaf tadi belum sempat kenalan.” Suara lembut dan sikap humble wanita itu cukup menarik hatiku. Dengan suka rela aku duduk kembali.
“Bosen Kak, aku mau ke kamar ambil HP.”
“Perkenalkan namaku Salsabila, biasa dipanggil Bela. Senang bertemu denganmu. Semoga kita bisa berteman.”
Senyum cerahnya bak matahari yang menyinari bumi setelah gelapnya malam. Aku butuh banyak teman dan saudara. Mungkin wanita ini bisa menjadi salah satunya.
Kuulurkan tanganku kepadanya sambil berkata, “Namaku Karmila, Kak.”
“Cantik,” pujinya. Hohoho … baru kali ini ada yang memujiku dengan kata ajaib.
“Terima kasih.”
Kami mulai mengobrol ke sana kemari. Diam-diam aku menikmati berbicara dengannya. Rasanya punya saudara baru. Melihat keasyikan kami, si Babang Pasha pun berdiri dan membiarkan kami.
Tepat pukul lima sore, Kak Bela pamit pulang. Bersamaan dengan datangnya Dona dan adikku. Ada sebuah kilat terkejut dari pandangan Dona, ada apa di antara mereka?
(Bersambung)
Views: 2
Comment here