Oleh Lulu Nugroho
Islam memastikan setiap warganya terjamin hak-haknya. Begitu pun bagi manusia kecil ini. Mereka mendapat perhatian penuh dari penguasa negeri muslim. Bahkan pemimpin negara rela mengubah kebijakannya jika didapati kekeliruan, sehingga membahayakan warganya.
Wacana-edukasi.com — Anak-anak adalah aset berharga bagi sebuah peradaban. Membekalinya dengan pendidikan yang berkualitas, tentu harus sejalan dengan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya. Tidak hanya pada perkara pangan, sandang dan papan, tapi juga menjamin penjagaan yang maksimal dari keluarga, masyarakat dan juga negara.
Hal itulah yang harus menjadi fokus utama kita saat menghadapi Hari Anak Nasional. Tema HAN tahun 2021 adalah “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, dengan tagline #AnakPedulidiMasaPandemi. Meski diperingati setiap tahunnya, namun anak-anak di negeri ini masih terkungkung di balik sederet persoalan yang berjajar panjang.
Terlebih di tengah pandemi, anak-anak pun tak pelak menjadi korban yang terpapar virus. Alhasil jumlah kematian tertinggi yang menimpa mereka, berada di urutan tertinggi dunia. Tentu ini bukan prestasi, tetapi perlu menjadi muhasabah bagi para pemimpin agar mengoreksi segala kebijakan yang menimbulkan bahaya (dharar) bagi warganya akibat buruknya penanganan covid-19.
Salah satunya adalah faktor ekonomi keluarga, akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta pembatasan di sana sini, membuat para kepala keluarga semakin sulit mencari nafkah. Institusi terkecil ini akan goyah dan sulit bertahan tanpa bantuan negara yang menyokongnya. Maka tak heran banyak perceraian terjadi dan lagi-lagi anak-anak yang menjadi korbannya.
Tidak hanya itu, akses terhadap pendidikan pun terkena imbasnya. Sekolah jarak jauh melalui daring pun bukan tanpa resiko. Sebab pada akhirnya anak-anak banyak berhubungan dengan gawai hingga membuat mereka terpapar tayangan pornografi, pornoaksi dan kekerasan. Berbagai info merusak kepribadian anak, dengan mudahnya masuk melalui genggaman.
Aspek sosial juga turut menyumbang persoalan, dengan adanya 8000-an kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Meski di beberapa kota telah dibangun rumah yang aman bagi anak-anak korban kekerasan, namun hal tersebut belum menyentuh akar masalah, hingga tidak menuntaskan persoalan. Karut marut ini terjadi secara sistemik, maka penyelesaiannya pun harus tersistem yaitu dengan menggunakan solusi yang berasal dari Sang Pencipta.
Islam Solusi Hakiki
Islam memastikan setiap warganya terjamin hak-haknya. Begitu pun bagi manusia kecil ini. Mereka mendapat perhatian penuh dari penguasa negeri muslim. Bahkan pemimpin negara rela mengubah kebijakannya jika didapati kekeliruan, sehingga membahayakan warganya. Hal itu pernah terjadi di masa pemerintahan Umar bin Khaththab yang menetapkan santunan untuk anak yang telah selesai menyusui yakni usia di atas dua tahun.
Kala itu para ibu bergegas mempercepat menyapih buah hatinya, dengan harapan segera mendapat bantuan keuangan dari baitulmal untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Mengetahui hal tersebut, Umar kemudian memohon ampun pada Allah, khawatir melanggar hak rakyatnya dan mengubah kebijakannya menjadi santunan pada setiap anak yang baru lahir.
Kebijakan baru ini, tentu membuat senang setiap keluarga. Lapang dada para ibu yang menyusui bayinya, sehingga tidak perlu tergesa-gesa menyapihnya. Anak-anak pun terpenuhi haknya dan diliputi kebahagiaan mendapat penjagaan yang berkualitas dari keluarga hingga negara.
Khalifah tidak menunda urusan satu malam pun, demi menyegerakan mengangkat beban di pundak keluarga. Sebuah gambaran sosok pemimpin dalam Islam yang takut pada Allah dalam mengemban amanah pengurusan umat. Keimanannya yang tinggi menjadikannya berhati-hati dalam setiap urusan. Anak-anak pun berada dalam riayahnya.
Dalam kapitalisme, hal seperti ini tidak nampak. Tarik menarik kepentingan antara para kapital, mengabaikan hati nurani. Alhasil urusan rakyat bukan lagi menjadi prioritas. Maka pemandangan anak kecil yang mencari sesuap nasi di jalan, akhirnya acapkali kita jumpai.
Sungguh sebuah ironi di negeri gemah ripah loh jinawi. Sejahtera menjadi barang mewah yang tak mampu dijangkau semua kalangan. Sementara anak-anak bangsa membutuhkan kecukupan lahir dan batin, agar kelak sanggup memikul beban kebangkitan umat. Sebab merekalah yang akan memimpin bangsa ini.
Akan tetapi ketika anak harus membagi perhatiannya untuk mengais rezeki, ketimbang duduk di bangku sekolah, maka sulit diharapkan lahir pemimpin yang dapat diandalkan. Mereka berhak hidup layak, tumbuh kembang secara sehat, dan terbebas dari kekerasan dan itu membutuhkan peran negara.
Sebagaimana halnya dalam aspek kesehatan, negara pun harus hadir memberantas angka stunting akibat anak-anak kurang gizi. Meskipun di tengah pandemi telah diselenggarakan dapur umum, kartu sembako dan bansos dengan kucuran dana trilyunan, tetapi realisasinya tidak sampai ke seluruh pelosok negeri. Kelaparan terjadi di mana-mana. Sengkarut tak terkendali di semua lini kehidupan.
Berbeda jauh dengan sistem Islam. Dimensi kepemimpinan khilafah akan terus berlanjut sampai akhirat. Saat tahun kelabu, ketika terjadi krisis yang panjang. Sebanyak 4000 hingga 6000 rakyat yang lapar, diberi makan oleh penguasa. Tungku-tungku di dapur negara terus menyala demi memenuhi kebutuhan perut yang tidak bisa ditunda.
Penguasa yang lahir dari Islam adalah pemimpin yang penuh kasih sayang. Mengurusi tanpa pandang bulu dan tidak membedakan menjaga hak warga berdasarkan kartu. Generasi pun mendapat perhatian besar. Islam akan mengokohkan kaki mereka agar tegak dan kuat berdiri menghadapi tantangan zaman yang selamanya akan terus menggempur tubuh umat.
Berbagai pengaturan yang diterapkan negara akan membangun perlindungan yang utuh bagi anak-anak. Nafsiyah dan aqliyah mereka terjaga. Orang tua, keluarga dan masyarakat dibangun sebagai benteng-benteng perlindungan anak secara berlapis, dengan benteng terluarnya adalah negara.
Dengan mekanisme seperti ini, ide-ide perusak di luar Islam, tidak akan mampu menyentuh anak-anak. Mereka tumbuh dan berkembang sebagai pribadi muslim yang tangguh, mutiara-mutiara di tengah umat, pejuang dan pembangun agama Allah, dalam perlindungan negara.
Inilah negara yang mampu melakukan fungsi besar itu, dengan ideologi terpancar dari suatu akidah yang tidak lagi goyah. Sebuah negara yang mumpuni mengurusi umat, serta memberi kebaikan sepanjang masa. Tsumma takuunu khilafatan ala minhajin nubuwwah.
Wallohualam bishowab
Views: 8
Comment here