Opini

Anak Dibully Hingga Bunuh Diri, Generasi Nir-empati Buah Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Dini Azra

wacana-edukasi.com, OPINI– Dunia anak seharusnya penuh kebahagiaan dan keceriaan. Anak-anak yang masih berjiwa polos, belum mampu berpikir sempurna dengan akalnya. Fase kehidupan yang nyaris tanpa beban. Bahkan, saat membuat kesalahan, orang tua pasti memaklumi dan memaafkan.

Memang begitulah seharusnya, anak-anak dididik dengan sabar dan kasih sayang. Namun, saat ini banyak sekali faktor yang memengaruhi perkembangan anak-anak. Seiring berkembangnya jaman, teknologi semakin berkembang dan tidak adanya peraturan hidup yang sahih menyebabkan anak-anak bisa berbuat di luar kewajaran. Di samping anak berpotensi menjadi korban kejahatan, ternyata anak juga bisa menjadi pelaku kejahatan.

Seperti yang baru-baru ini terjadi. Seorang siswa kelas empat SD berinisial MR (11) nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di rumahnya, di kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi (27/2/2023). Menurut hasil penyelidikan Kasi Humas Polresta Banyuwangi Iptu Agus Winarno motif korban melakukan bunuh diri akibat depresi karena sering di-bully teman-temannya akibat ayahnya sudah meninggal. MR merupakan anak yatim, sementara ibunya penyandang disabilitas.

Hal itu berdasarkan keterangan dari pihak keluarga. Ibu korban menerangkan bahwa anaknya sering murung sepulang sekolah, ketika ditanya ia mengaku kerap diolok-olok temannya kalau anak yatim tidak punya bapak. Alhasil dia sering pulang sambil menangis dan dongkol. Ibunya tidak menyangka dan terkejut saat menemukan anaknya sudah tergantung di dapur rumah mereka, karena keadaan fisik sang ibu tidak bisa langsung menurunkan tubuh korban dan harus menunggu kakak korban pulang.

Agus mengimbau agar masyarakat bisa mencegah terjadinya bullying, baik secara fisik, verbal, di dunia nyata maupun dunia maya. Sebab, perilaku bully tidak hanya merugikan orang lain sebagai korban, tapi juga merugikan diri sendiri karena bisa dijerat pasal pidana. Detikjatim.com, (3/3/2023)

Sungguh tragedi yang menyayat hati. Siapa pun pasti akan bertanya-tanya, bagaimana seorang anak SD bisa terpikir dan tahu cara menggantung diri? Apakah beban akibat bullian itu sedemikian berat, tidak adakah tempat untuk mengadu atau penghibur dari keluarga? Bagaimana pula teman-temannya bisa melakukan perundungan sampai-sampai memicu korban bunuh diri? Padahal, normalnya anak yatim akan lebih disayang dan diperhatikan oleh lingkungan sekitar termasuk teman-temannya. Namun anehnya, dia malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan.

Kasus bullying di kalangan remaja dan anak sudah sering terjadi dan semakin lama semakin mengerikan. Belakangan terjadi kasus kekerasan yang dilakukan anak seorang pegawai pajak yang menyebabkan korbannya koma. Ada pula kasus anak oknum polisi yang memaksa beberapa remaja menenggak miras hingga tewas. Bullying bisa berupa kekerasan fisik, verbal, dan juga tulisan di media sosial. Semuanya sangat berdampak bagi para korban.
Kasus bullying bisa terjadi, ketika seorang anak merasa superior di atas yang lain. Misalnya, karena latar belakang keluarga yang kaya dan berpengaruh. Bisa juga akibat kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua, melihat orang tua yang sering bertengkar, diperlakukan kasar sehingga dia ingin melampiaskan di luar rumah.

Sedangkan korbannya adalah anak yang dianggap lemah, punya kekurangan yang bisa jadi bahan bulian. Anak yang pendiam dan tidak banyak teman sering menjadi sasaran. Karena itu orang tua, guru, dan masyarakat harus lebih peka dan memperhatikan pergaulan anak-anak di sekitarnya. Anggaplah anak lain seperti anak sendiri yang sama-sama berhak dilindungi dan dinasihati.

Hal tersebut tak lepas dari akibat penerapan sistem demokrasi yang menjadikan Sekularisme sebagai asas dalam mengatur urusan rakyat. Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, sehingga masalah pendidikan moral anak diserahkan kepada keluarganya masing-masing. Jika terjadi kerusakan pada generasi, seperti pergaulan bebas, miras dan kekerasan satu-satunya yang disalahkan adalah pola asuh orang tua. Tidak ada sangkut pautnya dengan negara.

Memang benar, pola asuh orang tua menjadi faktor penting pembentukan karakter anak, tapi bukan satu-satunya. Orang tua berperan menanamkan nilai-nilai agama terutama akidah kepada anak. Sebab, dari akidah yang kuat akan melahirkan kesadaran manusia untuk taat kepada Sang Pencipta. Juga akan membentuk individu yang bertakwa, tentunya tak hanya memberikan pemahaman, tetapi juga keteladanan.
Mempersiapkan generasi yang saleh dibutuhkan persiapan yang panjang. Mulai sebelum pernikahan, kedua pasangan memilih calon yang baik dengan cara yang baik pula sebagaimana diatur oleh agama. Bukan lewat jalur pacaran yang diharamkan apalagi zina. Sembari menunggu pasangan yang tepat, mereka mengkaji ilmu agama dan pengetahuan sebagai bekal membina rumah tangga dan mendidik anak. Dari individu-individu yang meletakkan agama sebagai landasan berumahtangga, akan lahirlah generasi penerus yang bertakwa.

Sayangnya, hari ini generasi muda justru dijauhkan dari agama, mereka malah dibuat phobia dengan agamanya sendiri. Akibatnya, mereka lebih condong pada budaya liberal yang berasal dari barat. Melalui propaganda media massa maupun sosial, beragam hiburan dan tayangan negatif bebas diakses oleh siapa pun. Negara seolah membiarkan, selama di dalamnya ada keuntungan. Masyarakat disuruh menyaring sendiri semua informasi, serta tontonan yang diminati tanpa adanya edukasi.

Demokrasi adalah buah dari kapitalisme yang menjadikan asas manfaat sebagai standar perbuatan. Manusia dipersilakan memilih cara apa pun untuk meraih kebahagiaan yang ukurannya adalah materi. Itulah makna hak asasi yang digaungkan selama ini. Akibatnya, manusia berlomba-lomba meraih kesuksesan duniawi dan lebih mementingkan diri sendiri. Sehingga rasa empati terhadap penderitaan orang lain sulit dijumpai. Individu-individu yang jauh dari agama membentuk masyarakat yang individualis dan materialistis.

Sementara negara yang seharusnya berperan untuk melindungi setiap warga negara tidak menyediakan peraturan yang dapat mencegah terjadinya kekerasan di kalangan remaja. Hukum baru diberlakukan jika sudah terjadi peristiwa, itu pun sanksi yang dijatuhkan tidak memberi efek jera. Buktinya, kasus pembulian dan kekerasan masih saja terulang.

Negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini masih belum percaya diri untuk menerapkan aturan Islam secara kaffah. Hukum Islam masih sebagian saja yang diambil, sedangkan sebagian besarnya yang berkaitan dengan hukum dan muamalah justru diabaikan. Jika saja umat Islam dan pemimpinnya mau belajar dari pengalaman. Berbagai kasus yang menimpa generasi sudah saatnya diakhiri. Dan hanya sistem Islamlah yang mampu memberikan solusi.

Seperti diketahui, bahwa pola asuh keluarga sangat penting bagi pembentukan karakter anak. Maka Islam akan mendorong generasi muda untuk menggunakan potensinya untuk belajar. Sistem pendidikan Islam tidak memisahkan ilmu agama dan Ilmu pengetahuan. Tidak ada yang namanya sekolah agama dan sekolah umum. Dan juga negara memberikan fasilitas terbaik secara gratis bagi seluruh rakyatnya. Potensi pemuda benar-benar terarah pada hal-hal yang benar sesuai ajaran Islam. Tidak akan ada perusak pemikiran mereka, karena negara pasti mencegah masuknya tsaqofah asing yang bertentangan dengan Islam.

Begitu pula dengan lingkungan masyarakatnya, negara menerapkan sistem pergaulan Islam di antaranya melarang wanita keluar rumah tanpa kepentingan syar’i dan bepergian tanpa mahram. Dilarang berikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan, kewajiban menutup aurat bagi setiap muslim dan muslimah turut diatur oleh negara, dilarang berkhalwat dan saling menundukkan pandangan. Negara juga akan mengendalikan media untuk mencegah tayangan-tayangan negatif yang berada dari hadlarah barat.

Di bidang hukum, negara Islam hanya memakai hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Meskipun pada kasus-kasus tertentu perlu dilakukan ijtihad tapi rujukannya tetaplah Al Qur’an dan sunnah. Terkait dengan kasus kekerasan, Islam memberlakukan qishas, diyat atau pemaafan yang diserahkan sepenuhnya kepada keluarga korban.
Jika kekerasan secara fisik saja bisa diselesaikan dengan penuh keadilan, apalagi kekerasan secara verbal. Bukankah dalam Islam umat dilarang mengumpat, mengolok-olok, memanggil dengan julukan yang jelek dan membuka aib saudaranya diumpamakan seperti memakan daging saudara yang sudah mati.

Maka, dengan penerapan Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, tidak akan ada orang saling mencaci-maki. Yang ada hanya masyarakat yang berkepribadian Islam, saling mencintai karena Allah, saling menjaga kehormatan saudaranya dan saling menasihati dalam kesabaran dan kebenaran. Betapa indahnya hidup dalam naungan sistem Islam. Sudah selayaknya umat berupaya untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan jalan dakwah dan perjuangan.

Wallahu a’lam bishawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 39

Comment here