Oleh: Fina
“Ibu …” terdengar suara seorang perempuan memanggilku. Seraya mengambil jemuran baju yang belum kering, sejenak kupandangkan
wajahku melihat sekeliling mencari arah sumber suara.
Tampak terlihat olehku seorang ibu paruh baya di atas sepeda sedang berhenti di depan rumah.
“Masih ingat saya, mamanya kasim?” Ucapnya sedikit berteriak sembari menepuk dadanya.
Kukerutkan keningku mengingat memori siapa gerangan perempuan itu. Kuamati wajahnya dari kejauhan.
“Oh iya, saya ingat! insyaAllah saya tidak akan lupa!” Jawabku sambil tersenyum.
Memori itu sekilas kembali membayang dalam benakku. Kasim, anaknya, dua tahun yang lalu pernah menjadi murid di tempat dimana aku mengajar. Ya, di sekolah itu pula pengalamanku mengajar dimulai.
Hampir setiap hari ulah Kasim membuatku dan teman-teman guru lainnya beristigfar. Hadirnya Kasimemberi warna tersendiri dalam proses belajar, kadang kami dibuat tertawa karena kelucuannya, kami juga sering mengelus dada, bahkan cenut-cenut kepala dibuatnya. Inilah ujian bagi saya dan guru-guru lainnya.
Hampir tiap hari suasana kelas ribut bak pasar, teriakan anak ketakutan, dipukuli, saling beradu fisik menjadi santapan sehari-hari bagi kami.
Lengah sedikit, semuanya ambyar tak terkontrol, tak lain karena ulah Kasim.
“Kenapa Kasim bisa begitu bu?” Tanyaku pada salah satu guru.
“Dulu waktu kecil ia dikurung oleh orang tuanya, tidak boleh main kemana-mana bahkan kerap mendapat kekerasan fisik” jawab guru yang lain.
Mendengar penuturan dari teman seprofesiku, sontak aku setengah kaget. “Separah inikah efeknya?” Gumamku dalam hati.
Pernah suatu ketika Kasim memukul temannya dengan sengaja, akibat ulahnya temannya akhirnya menangis.
Bergegas kuhampiri Kasim. Sembari berjongkok kutatap mata Kasim.
“Kasim, sayang teman?” Tanyaku padanya.
Ia hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Ayo, Kasim minta maaf!” Perintahku padanya.
Tidak kulihat tangannya bergerak sebagai tanda permintaan maafnya kepada teman yang dibuatnya menangis, tidak ada reaksi sedikitpun dari sikapnya.
“Astagfirullah apa yang terjadi dengan anak ini?” Batinku bertanya, Kutarik napas dalam dan kucoba memahaminya.
“Kasim, apa gunanya tangan?” Tanyaku padnya.
Tampak Kasim hanya tersenyum, namun belum mau menggerakkan tangannya.
“Kasim … Tangan itu gunanya buat makan, pegang pensil, bukan untuk memukul.” Tuturku lembut padanya.
“Kasim gunakan tangan untuk kebaikan ya! Bukan untuk berbuat kejahatan” kembali tuturku padanya.
Nampak Kasim pun menganggukkan kepala malu kepadaku.
*
Ya, bagi seorang guru banyak hal yang harus dipelajari. Tidak semua anak menyenangkan, penurut ataupun bersikap lucu. Terkadang berjumpa dengan perilaku anak-anak yang aktif, terlalu aktif atau bahkan mengesalkan’ adalah santapan sehari-hari yang harus di sikapi dwngan bijak.
Apalagi jika ada murid yang selalu dianggap menjadi biang keributan di kelasnya. Bila hal ini ada di benak guru, maka akan menjalani hari-hari yang berat. Namum berbeda, bila seorang guru mensikapinya dewasa dan ini menjadi ajang pembelajarannya dalam menghadapi anak didiknya.
Banyak cara yang seharusnya diterapkan guru beserta teman-temannya. Seperti halnya bekerjasama sinergis untuk membuat suasana selalu terjaga, bergantian mengawasi agar anak yang sering berulah tidak mengulang kembali perbuatnnya. Tentunya diberikan pemahaman sesuai umurnya ibarat ‘sedia payung sebelum hujan’ ungkapan istilah “antisipasi artinya mengelola hal-hal yang sering menyebabkan masalah, dengan menutup rapat potensi kemunculan masalah.
Tidak ada untungnya juga seorang guru menerima kesalahan anak didiknya, atau memberi label negatif kepada muridnya, kemudian menyimpan dan membiarkannya. Hal ini malah justru berdampak buruk ke depan terhadap psikologi sang anak.
Tanpa disadari peran orang tua memberi label anak nakal, bandel malah berakibat fatal bagi masa depannya. Inilah kesalahan di awal dalam pembentukan karakter anak.
Selain itu, pola asuh dari keluarganya juga menjadi unsur terbentuknya anak kurang bisa di atur, sebab keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Bila, anak dididik tanpa ilmu dari orangtua, maka jangan salahkan anak tumbuh menjadi pribadi yang lemah iman.
Terlebih, anak yang masih kecil seringnya berbuat kesalahan lebih karena dorongan naluri kanak-kanaknya ketimbang pertimbangan rasional, namun bila tidak mendapat arahan dan pendidikan agama yang cukup maka berkembanglah menjadi pribadi yang lemah.
Manusia adalah makhluk Allah yang ahsanu taqwin, sesempurna sempurnanya makhluk. Manusia dibekali Allah SWT. dua naluri yang menunjukkan kesempurnaannya yakni “Naluri malaikat”dan “Naluri hewan”sekaligus.
Akalnyalah nanti yang akan membuat dua hal yang bertolak belakang ini menjadi bersinergi.
Mari bercermin kepada sosok agung dan mulia, Rasulullah Muhammad saw. Beliau adalah figur yang paling sukses dalam mendidik manusia. Bukan hanya berhasil mengubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu, namun beliau bahkan membuat manusia keluar dari masa kegelapan menuju peradaban yang cemerlang.
Rasul melandasi setiap gerak langkahnya dengan “cinta”.Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 159
Artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad )berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.
Para guru dapat meniru dan menerapkan metode dakwah Rasulullah dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari di sekolah, sesuai tuntutan situasi dan kondisi masing-masing. Sebagai manusia kita hanya mampu berusaha selebihnya, keputusan akhir atas usaha kita tetap bergantung kepada Allah SWT.
Mendidik manusia adalah amal(jariyah) yang tiada terukur nilai kemuliaannya. Amal seperti inilah yang kelak akan menjadi sumber “royalti” bagi seorang guru di alam akhirat.
Nilai royalti ini tiada habis-habisnya mengalir terus-menerus.
Sesuai firman Allah Surah At- Tin ayat 6.
Artinya: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka bagi mereka kenikmatan yang tiada putus-putusnya …”
Views: 24
Comment here