Oleh : Ikhtiyatoh, S.Sos
(Pemerhati Sosial dan Politik)
wacana-edukasi.com– Laporan resmi KPK yang mengungkap harta kekayaan pejabat negara naik 70,3% mampu membelalakan mata. Laporan tersebut didapat dari hasil analisis terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada periode 2019-2020. Laporan yang cukup mengiris hati rakyat bawah. Mengingat, beratnya perjuangan rakyat dalam menjaga diri dari paparan virus Covid-19 bersamaan menjaga kondisi dapur tetap mengepul.
Akurasi Data
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan sempat menyatakan dari 1.665 LHKPN tahun 2018-2020 menunjukan ketidakakuratan laporan sebesar 95%. Baik laporan terkait tanah, bangunan, rekening bank maupun investasi lain. Pahala menegaskan KPK memiliki sistem elektronik yang menghubungkan dengan pihak perbankan, asuransi, bursa, Otoritas Jasa Keuangan serta BPN guna mengetahui harta yang dimiliki pejabat. Namun, Pahala menegaskan besarnya LHKPN belum tentu menunjukan ada indikasi korupsi. Sebaliknya, kecilnya LHKPN juga belum tentu ‘bersih’ (mediaindonesia.com, 7/9/2021).
Jika benar laporan tersebut menunjukan ketidakakuratan, maka berarti ada potensi harta kekayaan yang sebenarnya lebih besar dari yang dilaporkan. Dengan kata lain, ada harta pejabat negara yang belum diungkap.
Kembali mengutip laman mediaindonesia.com, ada 365.925 pejabat yang melaporkan LHKPN tahun 2020 hingga Juli 2021. Laporan kekayaan anggota DPR/MPR ada yang mencapai Rp78 miliar namun ada juga yang hanya Rp 47 juta. Sementara di kementerian/lembaga pusat, ada yang mencapai Rp 8,7 triliun sementara terendah minus Rp 1,7 triliun. Pahala menjelaskan umumnya mereka yang memiliki jumlah kekayaan tinggi adalah bekas pengusaha. Lanjutnya, rata-rata kenaikan harta sebesar Rp 1 miliar tersebut masih tergolong wajar (7/9/2021).
Tercipta Disparitas
Pengakuan artis sekaligus anggota DPR RI, Krisdayanti akan gaji dan tunjangan anggota DPR semakin membuat heboh jagat maya. Meski kemudian ada pelurusan berita bahwa dana reses sebesar Rp450 juta yang diterima lima kali selama setahun bukan untuk pribadi. Demikian pula dengan dana kunjungan dapil sebesar Rp140 juta yang diterima delapan kali selama setahun. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa gaji, tunjangan serta fasilitas yang didapat para pejabat elit sudah lebih dari cukup. Meskipun dalam masa pandemi, mereka masih bisa berinvestasi. Kondisi ini seolah menujukan bahwa wajar jika harta pejabat bertambah.
Sebaliknya, bagi masyarakat yang terdampak pandemi, kondisi diatas menjadi sebuah anomali. Jangankan menabung, memikirkan ‘esok makan apa’ saja sudah bingung. Kewajaran ‘bertambahnya harta pejabat di tengah wabah’ akhirnya bersifat relatif. Tergantung siapa yang menilai.
Kebijakan pemerintah dalam upaya menekan laju Covid-19, salah satunya PPKM hingga empat level melahirkan kebijakan turunan pembatasan jam kerja, pembatasan pelayanan rumah makan serta pembatasan aktivitas ekonomi lainnya. Bahkan, sejak awal pandemi sudah terjadi PHK masal. Hal ini tentu mempengaruhi penghasilan dalam rumah tangga. Kebutuhan hidup yang terus berjalan harus disesuaikan dengan penghasilan yang minim bahkan kosong.
Kondisi serba sulit menjadikan rakyat depresi. Belum lagi sekolah daring yang membuat para orang tua bertambah darting. Imbasnya, kasus KDRT meningkat hingga berujung perceraian. Sementara kasus bunuh diri pun bak menunggu antrian. Para pejabat yang digaji dengan pajak rakyat kemudian masih bisa menikmati hidup bergelimpangan harta tentu membuat hati rakyat tersayat. Fasilitas lebih yang mereka dapat belum mampu melahirkan aturan yang mensejahterakan. Jabatan yang seharusnya dianggap sebagai amanah pun diperjualbelikan.
Disaat bersamaan, kasus korupsi di tengah pandemi justru meninggi. Rakyat akhirnya mengaitkan kenaikan harta pejabat dengan potensi kasus korupsi. Ditengah gembar-gembor pemerintah melindungi rakyat dari pandemi, eks Menteri Sosial Juliari Batubara justru mengkorupsi bantuan sosial. Juliari telah terbukti memakai Rp14,5 miliar untuk kepentingan pribadi dari total Rp32,2 miliar yang diterima dari perusahaan penyedia barang sembako. Belum sembuh luka rakyat, beredar berita pejabat daerah mendapat honor yang cukup besar sehubungan dengan pemulasaran jenazah covid-19.
Kondisi ekonomi di tengah pandemi telah menciptakan disparitas antara pejabat elit dan rakyat bawah. Nampaklah, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi dimana sistem ekonomi saat ini menjadikan harta beredar hanya pada segelintir orang. Orang kaya semakin menikmati kekayaannya sementara orang miskin dipaksa menikmati kemiskinannya.
Alasan Pengabdian
Bagi siapa saja yang masih memiliki hati, mendengar kabar bertambahnya harta pejabat di tengah wabah tentu membuat hati patah. Andai kebijakan yang ada menjadikan jumlah orang kaya bertambah, dalam arti jumlah orang miskin berkurang, tentu menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan. Namun, yang terjadi adalah bertambahnya kekayaan segelintir orang. Rakyat harus menerima kenyataan kesejahteraan mereka telah diwakili oleh para wakil rakyat.
Selama ini, seseorang bersemangat menjadi pejabat negara dengan alasan demi memenuhi panggilan hati dan ingin mengabdi pada negeri. Namun, setelah mendapat kursi dan mendapat kesempatan mengumpulkan kekayaan, keikhlasan beruban menjadi kerakusan. Sebelumya, muncul narasi pelaku korupsi adalah mereka yang memiliki gaji kecil sehingga ada inisiatif menaikan gaji dan fasilitas pejabat. Namun, saat ini begitu banyak kasus menunjukan mereka yang melakukan korupsi justru memiliki gaji dan fasilitas tinggi. Alasan pengabdian pun akhirnya dipertanyaan.
Jika benar pejabat menduduki kursi semata untuk pengabdian, maka seharusnya melakukan distribusi kekayaan. Bukan justru menumpuk kekayaan. Meskipun sah-sah saja seorang pejabat negara merangkap sebagai pengusaha. Namun, sistem yang ada saat ini memberi peluang bagi pejabat dalam menyalahgunakan kekuasaan demi mengumpulkan kekayaan. Disisi lain, sah saja seorang pejabat negara mengumpulkan harga asalkan melalui jalur yang dibenarkan. Namun, kondisi tersebut sangat berlawanan dengan etika politik dan membuat rakyat tak lagi bersimpatik.
Ratusan ribu rakyat telah meninggal akibat Covid-19. Para nakes pun menyimpan rasa lelah sebagai garda terdepan. Seharusnya, para pejabat sibuk membuat regulasi hingga tak ada waktu mengurus perihal investasi. Logikanya, pendapatan mereka sebagai seorang pengusaha seharusnya menurun. Pun jika pendapatan meningkat, mereka akan berempati terhadap kesulitan masyarakat hingga lebih banyak ‘berbagi’.
Sepertinya, mencari sosok pejabat negara seperti mantan menteri Pekerjaan Umum dan Kelistrikan, Ir. Sutami sangat sulit saat ini. Beliau menjadi menteri selama 14 tahun dan membangun proyek besar namun memilih hidup sederhana hingga dijuluki menteri termiskin. Apatahlagi jika disandingkan dengan kehidupan Rasulullah saw dan para Khulafau Rasyidin saat menjadi penguasa. Perbandingannya sangat jauh berbeda. Mengharapakan sosok pejabat yang peka akan kondisi rakyat sangat sulit ditemukan selama sistem kita tidak memakai sistem yang berasal dari Penguasa Alam Semesta. Wallahu’alam bish showab.
Views: 6
Comment here