Oleh: Anita Ummu Taqillah (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com– Aneka acara hiburan dan berbagai konser begitu digandrungi oleh masyarakat. Tanpa peduli kondisi panas dan hujan, mereka rela berdesakan dengan penonton lainnya. Belum lagi dana lebih yang harus dikeluarkan untuk membeli tiket masuk dll. pun tak jadi soal. Asal bisa melihat artis kesayangan secara langsung dan bernyanyi lagu favorit, mereka rela berkorban.
Disamping itu, hiburan seperti itu memang dibiarkan subur oleh negara. Seolah menjadi salah satu cara untuk bisa mengalihkan perhatian rakyat yang sedang didera berbagai permasalahan. Padahal, sejatinya hal itu tidak mampu mengalihkan persoalan. Justru, dalam momen-momen seperti itu sering terjadi keributan antar penonton dan merugikan banyak kalangan.
Sebagaimana yang terjadi pada acara ‘Berdendang Bergoyang’ di Istora Senayan Jakarta yang over kapasitas, banyak penonton yang pingsan karena berdesakan, sehingga aparat menghentikan acara tersebut. Dilansir kompas.com (30/10/2022) Polisi akhirnya menghentikan Festival Musik “Berdendang Bergoyang” yang diselenggarakan di Istora Senayan, Jakarta. Acara tersebut dihentikan pada hari kedua penyelenggaraan, yakni Sabtu (29/10/2022) malam, meski rencananya berlangsung 3 hari hingga hari Minggu.
Tidak hanya itu, acara tersebut juga disinyalir ada minum-minuman keras. Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol Komarudin saat dikonfirmasi wartawan menyampaikan, selain memeriksa panitia penyelenggara, Komarudin juga menyebut pihaknya juga tengah mendalami indikasi minuman keras (miras). Sebab, menurut informasi yang didapat, memang banyak sekali yang duduk di luar sambil minum yang diindikasi miras (tvonenews.com, 30/10/2022).
Acara-acara hiburan seperti konser atau sejenisnya sejatinya penuh kemaksiatan. Mulai dari ikhtilat atau campur baur antara laki-laki dan perempuan, ajang kencan dengan pacar, keributan antar penonton, pencopetan, juga kapasitas yang berlebih hingga nyawa terancam, hingga adanya miras tidak bisa terelakkan. Meski aparat telah diterjunkan, tidak akan menjamin semua benar-benar aman karena jumlah mereka yang terbatas.
Mirisnya negeri ini, acara-acara seperti itu justru subur dan diijinkan oleh negara. Namun acara-acara yang sangat bermanfaat untuk umat dikriminalisasi, dianggap ada muatan teroris dan sejenisnya. Sebagai contoh acara ‘Surabaya Islamic Festival’ yang diselenggarakan oleh Hijrahfest dibatalkan beberapa waktu lalu.
Dilansir cnnindonesia.com(14/10/2022), Acara Surabaya Islamic Festival yang diselenggarakan Hijrahfest batal dilaksanakan. Hal itu menyusul adanya protes dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.
PWNU menilai, ada nama-nama dari penyelenggara acara tersebut yang merupakan anggota dari kelompok organisasi yang terlarang di Indonesia. Selain itu PWNU dan MUI tidak ridho sebab logo mereka juga tercantum dalam acara tersebut. Sehingga mereka meminta agar acara ‘Surabaya Islamic Festival’ dibatalkan.
Sungguh miris, acara yang bernuansakan Islam buru-buru dicurigai. Sedangkan acara yang penuh kemaksiatan dibiarkan. Namun inilah fakta dalam sistem yang merajai bumi saat ini, yaitu Kapitalisme. Termasuk yang merajai negeri Indonesia yang konon katanya mayoritas penduduknya muslim, namun jauh pemahamannya dari Islam. Sebab, dalam sistem Kapitalisme, sekularisme adalah dasarnya, yaitu memisahkan agama dari kehidupan.
Dalam Kapitalisme, agama seakan dipandang diperlukan hanya dalam perkara ibadah mahdhoh atau yang berkaitan dengan rukun Islam saja. Namun untuk urusan kehidupan seperti acara konser dan sejenisnya, Islam dianggap tidak bisa mengaturnya. Bahkan apapun yang berbau Islam seolah harus dicurigai, tanpa peduli konten yang ada dalam acara tersebut.
Padahal sejatinya, setiap acara yang diadakan oleh Hijrahfest adalah berisi kebaikan dan memberi manfaat bagi masyarakat. Mulai dari kajian-kajian (majelis ilmu), bedah buku, lomba tahfidz, nasyid, kuliner halal, sharing hijrah, fashoin islami, property syariah dll. Dalam acara pun antara laki-laki dan perempuan diberi sekat, sehingga tidak campur baur (ikhtilat).
Maka, disinilah peran negara harus benar-benar hadir untuk kebaikan masyarakat. Negara wajib memilah dan memilih acara-acara mana yang harusnya disediakan untuk masyarakat, dan mana yang dilarang. Sebab negara bertanggungjawab atas hiburan yang bermanfaat dan mana yang penuh maksiat.
Bukan justru terkesan membiarkan acara yang penuh maksiat, dan melarang acara yang penuh manfaat. Sebab, negara (penguasa) akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat atas segala kebijakannya. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka.” (HR. Abu Dawud)
Wallahua’lam bishowab.
Views: 10
Comment here