Oleh: Listia.K (Pemerhati Masalah Keluarga)
Wacana-edukasi.com — Belum lama ini beredar sebuah video dengan judul “Apakah anak-anak yang dipakaikan jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ia kenakan?” akun DW Indonesia (@dw_indonesia) 25/09/2020. Dirilis DW Indonesia, sebuah layanan informasi publik nasional dan internasional yang berpusat di Jerman. Dalam video tersebut seorang psikolog, Rahajeng Ika, mengatakan bahwa anak yang sejak kecil diharuskan memakai hijab mempunyai dampak psikologis, salah satunya kebingungan dalam mencari identitas dirinya.
Nong Darol Mahmada, Feminis Indonesia, menambahkan, menurutnya kebiasaan orang tua memakaikan hijab pada anak-anak perempuannya berpengaruh pada pola pikir anak tersebut. “Kekhawatiran saya sebenarnya lebih kepada membawa pola pikir si anak itu menjadi eklusif karena berbeda dengan yang lain,” ucapnya.
Video tersebut memicu beragam komentar di tengah masyarakat. Sebagian besar memberi kecaman karena redaksi video tersebut menggiring persepsi bahwa pemakaian hijab untuk anak adalah sebuah diskriminasi yang dilakukan oleh orang tua. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam ini berpendapat bahwa video tersebut mendiskreditkan Islam. Propaganda yang masif dilakukan kaum sekuler memang bertujuan menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai agama, memisahkan kehidupan dari hukum-hukum Allah.
Perintah berhijab itu sendiri datang dari Allah Azza Wa Jalla, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminat, hendaklah mereka menundukan pandangan mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka.” (QS. An-Nur: 31)
Tidak asing dengan kontraversi menutup aurat yang dihembuskan kaum feminis. Kerena feminisme yang lahir dari rahim liberalisme, menjunjung tinggi prinsip individualistis dan kebebasan. Standar perbuatannya bukan lagi tentang halal dan haram. Inilah hasil penerapan sistem sekularisme yang berlaku saat ini. Memandang bahwa manusia harus membuat peraturannya sendiri dan memisahkan agama dengan kehidupan. Sehingga semua bebas mengeluarkan pendapat sesuai keinginannya dengan bersandar pada kebebasan dan kemanfaatan. Para feminis yang merupakan penganut paham liberal menjunjung kebebasan, termasuk anak-anak yang bebas memilih atas tubuh mereka sendiri. Berdalih di balik hak asasi manusia, semua orang mempunyai otoritas untuk menentukan apa yang akan ia pakai pada tubuhnya.
Bertolak belakang dengan Islam yang merupakan agama sekaligus ideologi. Semua tindakan berdasarkan atas hukum-hukum syariat, bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits yang semuanya akan dipertanggungjawabkan kelak. Islam tidak menjadikan manfaat sebagai tolak ukur perbuatan, melainkan hanya dengan hukum syara semata. Hanya pada perintah-perintah Allah yang dilaksanakan oleh setiap individu dengan dorongan takwa kepada Allah Swt.
Seperti halnya perintah menutup aurat yang diwajibkan kepada perempuan yang sudah balig. Maka sudah barang tentu setiap muslimah wajib melaksanakannya. Namun, ketika si anak belum balig maka membiasakan menutup aurat perlu diajarkan sejak dini. Karena ada kewajiban syariat untuk mendidik anak dalam Islam, terlebih membangun karakter anak sebelum akil balig agar anak mampu menerapkan, menjalankan, dan taat dalam syariat.
Mengajarkan anak untuk memakai hijab bukan bentuk paksaan, tapi proses pembiasaan agar kelak mereka mengerti bahwa menutup aurat itu bukan sebuah pilihan akan tetapi sebuah kewajiban. Allah Swt. berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut bahwa jilbab ini membedakan wanita mukminah dengan wanita jahiliah dan budak perempuan.
Dengan demikian, tak bisa ditawar lagi bahwa menutup aurat sesuai dengan syara merupakan suatu bentuk ketaatan pada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Identitas Islam yang harus dengan bangga dipakai para muslimah. Sebagai wujud keimanan yang menghunjam dalam dada-dada muslimah. Tak ada kata lain selain “taat tanpa tapi dan nanti”.
Wallahu’alam bisawab.
Views: 18
Comment here