Opini

Antara Pemilu dan Bai’at

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Nurhayati

wacana-edukasi.com– Di tahun 2024 nanti pemilu akan digelar, perencanaan pun sudah mulai dipersiapkan. Tak lupa usulan anggaran dana yang fantastis diajukan.Padahal dampak pandemi masih dirasa cukup berat ditengah kehidupan rakyat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai menyusun sejumlah rancangan Peraturan KPU (PKPU) untuk pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024. Salah satunya PKPU tentang Tahapan, Program dan Jadwal yang didalamnya mengatur waktu pemungutan suara (REPUBLIKA.CO.ID, 28 Juni 2021)

Sebagaimana diketahui, pesta demokrasi tersebut menghabiskan dana yang tidak sedikit. Dikabarkan usulan anggaran pemilu 2024 adalah Rp. 86 triliun, naik 3 kali lipat dari sebelumnya (Tribunnews.com, 21 September 2021)

Dalam demokrasi, pemilu adalah metode baku dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat. Sekaligus jalan bagi partai meraih kekuasaan. Sesuai jargon demokrasi, kekuasaan ditangan rakyat, rakyatlah yang menentukan siapa yang akan menjalankan pemerintahan dan mewakili aspirasinya di dewan legislatif. Untuk itu, selama masa kampanye, para calon pejabat harus
berusaha memikat hati rakyat agar mendapatkan simpati dan dukungan dari mereka. Lagi-lagi dana yang dikeluarkan tidak sedikit. Di tahun 2019 saja, kampanye paslon Jokowi-Ma’ruf menghabiskan dana sebesar 601 triliun.

Total penerimaan dana kampanye Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf berjumlah Rp. 606.784.634.772,-. Dari jumlah ini, dana yang dikeluarkan sebesar Rp. 601.355.468.300,-. Bendahara umum TKN Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan, sumbangan dana kampanye berasal dari badan usaha non pemerintah yaitu 253,9 miliar dana ini didapat dari 40 perusahaan (KOMPAS.com, 2 Mei 2019)

Tentu saja dana tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma. Ia adalah modal politik yang nantinya harus dikembalikan, melalui kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan para penyumbang dana yakni para pengusaha. Hal ini berakibat pada setiap kebijakan yang dikeluarkan yang tak pernah luput dari kepentingan para pengusaha. Tanpa pertimbangan apakah kebijakan-kebijakan tersebut berakibat menyengsarakan rakyat ataukah tidak.

Setelah menjabat mereka akan sibuk mengembalikan modal serta menambah kekayaan, beberapa waktu kemudian mereka kembali sibuk mencari modal/dukungan modal untuk pemilu berikutnya. Tidak ada lagi energi tersisa untuk memikirkan nasib rakyatnya. Wajarlah jika rakyatnya jauh dari sejahtera. Rakyat disambangi hanya saat kampanye, karena membutuhkan suara mereka untuk kemenangan dalam pemilu, namun setelah tujuannya tercapai mereka menjadi lupa diri.

Sebagai seorang muslim tentunya kita wajib mengetahui terlebih dahulu hukum perbuatan yang akan kita lakukan, apalagi dalam hal memilih pemimpin yang berkaitan dengan bagaimana kelak kepemimpinan orang yang kita pilih. Apakah ia akan mengurus umat sesuai dengan tuntunan dari Allah dan rasul-Nya atau dengan aturan buatan manusia yang sarat kepentingan dan cenderung mengikuti hawa nafsunya?

Asas demokrasi adalah sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Aturan yang diterapkan adalah aturan buatan manusia, sehingga dikenal ‘kedaulatan di tangan rakyat’. Jelas mustahil bagi syariat Islam mendapatkan ruang yang lebih leluasa dari sekadar mengatur urusan pribadi dan ibadah ritual. Padahal lebih banyak porsi syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya yaitu dalam hal muamalah dan uqubat. Ketika Islam dipisahkan dari pengurusan umat dalam kehidupan, maka terdapat banyak syariat Islam yang diabaikan oleh umatnya.

Lain halnya dengan sistem Islam, asasnya adalah aqidah Islam, metode bakunya dalam memilih pemimpin ialah melalui baiat yang dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, yaitu wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Sehingga dalam prosesnya tidak memerlukan banyak dana.

”Bai’at adalah janji untuk taat. Seolah orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijakan terkait urusan dirinya dan urusan kaum muslimin. Tanpa sedikitpun berkeinginan menentangnya. Serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.” (Mukadimah Ibnu Khaldun, 1/108).

Barangsiapa melepas tangannya (baiatnya) dalam mentaati pemimpin, ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan tanpa memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal dalam keadaan tiada baiat di pundaknya maka matinya seperti mati jahiliyah.”

Selain itu, pemimpin dalam sistem Islam dipilih untuk diserahi tanggungjawab mengatur urusan umat dengan syari’at Islam. Artinya, kedaulatan tetaplah milik Allah SWT semata. Pemimpin tersebut menjalankan amanah yang pertanggungjawabannya langsung kepada Allah SWT. Sehingga pemimpin yang dihasilkan adalah pemimpin yang takut kepada Allah SWT, karena pertanggungjawabannya amat berat di hadapan Allah SWT kelak.

Kepemimpinan adalah amanat. Pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi yang mengambilnya dan menunaikannya dengan benar.” (HR. Muslim)

Lain Islam lain demokrasi, wajibnya berbaiat kepada pemimpin yang menjalankan syariat Islam tidak bisa diberlakukan pada sistem demokrasi, karena pemimpin dalam sistem ini tidak akan pernah mungkin menerapkan syariat Islam secara kaffah. Jikapun mengambil sebagian dari syari’at Islam bukan atas dasar aqidah Islam (keimanan), melainkan atas dasar pertimbangan akal manusia berupa adanya kemanfaatan yang bersifat materi, misalnya zakat. Artinya, dalam demokrasi kedudukan akal manusia berada diatas hukum Allah SWT, konstitusi di atas kitab suci. Mengagungkan demokrasi berarti menghamba kepada akal manusia.

Untuk itu, tidak selayaknya umat Islam masih berharap kepada pemilu demokrasi. Jika kita ikut berpartisipasi, sama halnya dengan melanggengkan sistem yang bobrok ini. Begitu pun jika kita diam, berarti mempersilahkan demokrasi bertahan lebih lama mengatur umat ini. Sampai kapan kita membiarkan urusan umat ini tidak diatur oleh syariat Allah SWT? Sampai kapan kita membiarkan kesengsaraan umat dibawah demokrasi?

Rasulullah Saw bersabda,

“Siapa saja yang bangun di pagi hari, sementara perhatiannya lebih banyak tertuju pada kepentingan dunia, maka ia tidak berurusan dengan Allah SWT. Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum muslim maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslim).(HR Al-Hakim dan Al-Khatib dari Hudzaifah ra.)

Wallahu a’lam bish-shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 79

Comment here