Surat Pembaca

Antara Remintan dan Nyawa: Ironi Perlindungan Pekerja Migran

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Dewi Royani (Muslimah Pemerhati Umat)

Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Setiap tahun, jutaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) mengirimkan triliunan rupiah dalam bentuk remitansi ke tanah air, berkontribusi signifikan terhadap devisa negara. Namun, di balik sumbangan besar ini, terdapat kisah-kisah pilu yang dialami oleh para “pahlawan devisa” ini.

Dikutip dari detikNews.com pada tanggal 3/2/2025, seorang Warga Negara Indonesia (WNI) tewas setelah ditembak oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di Pantai Tanjung Rhu, Malaysia. Penembakan terjadi saat WNI tersebut diduga berusaha keluar secara ilegal dari Malaysia menuju Dumai, Riau. APMM berdalih bahwa tindakan mereka telah sesuai prosedur karena adanya ‘perlawanan’.

Data dari Migrant Care mencatat 75 kasus penembakan terhadap PMI oleh otoritas bersenjata Malaysia antara tahun 2005 dan 2025, ini menunjukkan bahwa kasus serupa terus berulang. (tirto.id,31/1/2025)

Sungguh ironis, di satu sisi, remitansi yang mereka kirimkan menjadi andalan perekonomian. Namun, di sisi lain, nyawa mereka seolah tak berharga di negeri orang.

Kontribusi Besar Perlindungan Minim

Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), merilis data jumlah PMI non-prosedural mencapai 5,4 juta orang. Dalam tiga tahun terakhir, 1.300 PMI meninggal dunia (bp2mi.go.id, 1/12/2024).

Penyebabnya beragam, mulai dari kecelakaan kerja, sakit hingga tindak kekerasan dari majikan. Sementara Bank Indonesia (BI) mencatat nilai sumbangan devisa berupa remitansi dari PMI sepanjang tahun 2024 mencapai Rp 251,5 triliun. Angka tersebut naik 14% dari tahun 2023.

Angka yang fantastis ini seolah menjadi pembenar bagi pemerintah untuk terus mengirimkan warga negaranya bekerja di luar negeri, meski nyawa mereka kerap terancam. Ironi semakin terasa ketika melihat respons pemerintah yang seringkali reaktif, bukan preventif.

Paradoks dalam Sistem Kapitalis Sekuler

Persoalan lemahnya perlindungan negara terhadap PMI tidak bisa dilepaskan dari sistem kehidupan yang diterapkan saat ini yakni sistem kapitalis sekuler. Sistem ini telah menciptakan paradoks yang menyakitkan. Di satu sisi, negara mengelu-elukan kontribusi PMI terhadap perekonomian. Di sisi lain, perlindungan terhadap hak dan keselamatan mereka seringkali terabaikan.

Salah satu akar masalahnya adalah paradigma negara kapitalisme yang keliru dalam memandang warga negaranya, khususnya para pekerja migran. Negara melihat mereka sebagai tenaga kerja semata, penghasil remitansi yang menjadi andalan devisa negara. Mereka dianggap sebagai aset yang menguntungkan bukan sebagai individu yang memiliki hak-hak yang harus dilindungi.

Sementara di pasar kerja internasional, pekerja migran diperlakukan layaknya seperti komoditas. Mereka hanya berfungsi sebagai penyangga industrii. Hal ini menyebabkan buruh migran berada pada posisi yang sangat rentan terhadap eksploitasi. Dengan kata lain, sistem kapitalis sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan, telah menciptakan kondisi nilai manusia diukur dari produktivitas ekonominya.

Adapun tingginya jumlah PMI disebabkan oleh ketidakmampuan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya, menciptakan lapangan kerja, dan mewujudkan kondisi ekonomi yang kondusif. Akibatnya, rakyat terpaksa mencari nafkah di luar negeri. Terdapat permintaan tinggi akan pekerja dengan keterampilan rendah. Situasi ini membuat mereka rentan dan mudah tergiur iming-iming gaji besar, tanpa menyadari bahwa mereka menjadi sasaran sindikat perdagangan manusia.

Sementara regulasi yang dibuat untuk melindungi PMI, masih bersifat reaktif dengan fokus pada penanganan dampak, bukan mengatasi akar masalahnya. Oleh karena itu, diperlukan solusi sistemik untuk mengatasi persoalan perlindungan pekerja migran. Islam menawarkan solusi yang paripurna untuk mengatasi masalah perlindungan pekerja migran.

Negara Sejahterakan Rakyat dalam Islam

Islam memiliki paradigma yang jelas mengenai perlindungan dan kesejahteraan warga negara. Negara yakni Daulah Khilafah Islamiyyah memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyatnya.

Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.“ (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan adanya jaminan kesejahteraan dari negara bagi rakyatnya, kemungkinan warga negara Khilafah untuk menjadi pekerja migran sangat kecil karena beberapa alasan berikut: Pertama, negara bertanggung jawab untuk menciptakan lapangan kerja bagi warganya. Hal ini sejalan dengan kewajiban laki-laki untuk mencari nafkah bagi keluarga.

Kedua, negara mewajibkan pelayanan yang maksimal bagi warganya. Dampak positifnya adalah biaya hidup yang pasti sangat terjangkau.

Ketiga, negara memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh warganya termasuk kafir dzimmi ketika mereka berselisih dengan yang bukan warga negara.

Keempat, Khilafah akan meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan. Hal ini bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan SDM yang sering menjadi alasan bagi negara kapitalis untuk merekrut tenaga kerja asing.

Dengan demikian, Islam memiliki aturan yang komprehensif dalam mengatur kehidupan manusia, dan menyelesaikan berbagai permasalahan hidup, termasuk masalah pekerja migran. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here