Oleh: RAI Adiatmadja (Founder Komunitas Menulis Buku)
Wacana-edukasi.com — Ketika sekularisme menjadi acuan dari setiap kebijakan–tak terkecuali kurikulum pendidikan–sudah bisa dipastikan penuh tambal sulam dan sarat ketidakpastian. Ujungnya mengarah pada kegagalan pencapaian dan tujuan. Di masa pandemi, semua peraturan seakan-akan sempurna di atas kertas saja, sedangkan fakta di lapangan tidak serupa. Pembelajaran semakin jauh tertinggal, bahkan aspek pembentukan kepribadian siswa pun semakin terlihat gagal.
Kurikulum darurat tidak bisa menjadi solusi, learning loss akan semakin lolos menghantam generasi, ketertinggalan dan kemunduran kian menjadi, karena di masa sebelum pandemi saja target pendidikan tidak tercapai dengan utuh, hanya melahirkan kondisi manusia yang semakin rapuh.
Panduan kurikulum pada masa pandemi darurat covid-19 untuk madrasah sudah diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama. Semua tercantum dalam Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Nomor 2791 tahun 2020, tertanggal 18 Mei 2020. Kurikulum tersebut hanya berlaku pada masa pandemi saja dan sifatnya sementara, lebih difokuskan pada akhlak mulia, karakter, ubudiah, dan kemandirian siswa. Kurikulum tersebut berlaku bagi jenjang pendidikan madrasah, mulai dari RA hingga MA (REPUBLIKA.CO.ID, 7/2/20).
Istilah learning loss kian lumrah terdengar karena kondisi pembelajaran daring sehingga membuat intensitas guru dan murid semakin minim. Efek psikososial menyergap, tetapi tidak bisa dimungkiri kesehatan pun tidak bisa diabaikan. Lahirlah hal-hal dilematis yang semakin menjadi ironis.
Hampir semusim, covid-19 bermukim. Secepat kilat mengubah semua tatanan kehidupan. Perekonomian kian berantakan, tak juga membuat abdi negara belajar memahami fakta yang ada. Pelaku korupsi semakin punya lahan luas untuk melakukan kecurangan. Permasalahan di bidang pendidikan pun kian tak terelakkan. Generasi yang sedari awal kering dari nilai-nilai tinggi keimanan, kosong dari penyubur kepribadian yang tertata, hari ini semakin miskin dari takwa. Bahkan dibayang-bayangi kondisi yang merugi setiap hari. Intelektualitas yang tak berisi, mental menjadi manusia yang berpikir dewasa hanya sekadar ilusi. Sekularisasi pendidikan sudah ada dari sebelum pandemi Allah hadirkan. Semua karut marut yang ada bukan diakibatkan pandemi semata tetapi sistem hidup rusak yang diadopsi negara.
Banyak para ibu yang mengeluhkan, “Belajar daring bikin darting”. Sebab sedari awal para orang tua sudah dibiasakan dengan atmosfer yang salah, bahwa tugas mendidik anak dipasrahkan segala-galanya ke sekolah. Bahkan sudut pandang pun kian rapuh, berpikir bahwa anak cukup disekolahkan agar bisa bekerja dan menjadi orang yang berguna, bertitel serta memiliki uang sebagai tujuan utama.
Standardisasi yang diciptakan pemahaman kapitalisme semakin menjalar salah, sehingga mayoritas keluarga bertumpu pada tujuan bagaimana menjadikan anaknya bisa menghasilkan uang, bukan berharap terlahir generasi terbaik yang memiliki intelektualitas cerdas dan berkepribadian cemerlang serta membanggakan dunia akhirat.
Problematika kurikulum ini bukan hanya kali ini saja, tetapi semua tak jua membuat penguasa berupaya keras memahami dengan cermat. Seperti halnya ketika SKB 3 Menteri diputuskan, tidak ada efektivitas dari esensi keputusan tersebut. Bukankah sekolah masih daring dan tidak memerlukan seragam khusus?
Jika dicermati dari kehilangan efektivitas pembelajaran ini akan mengarah pada semakin lemahnya kondisi generasi, jika sudah seperti itu, kita akan kehilangan banyak terutama kualitas generasi yang mumpuni. Mereka hanya akan seperti buih di lautan dengan segudang permasalahan yang tidak pernah usai.
Tidak ada hal-hal visioner yang bisa diciptakan penguasa. Peran keluarga, sekolah, dan negara, ibarat minyak yang dituang ke dalam air. Tidak menyatu dan tak juga mampu membentuk kesatuan yang terpadu saling menopang dan membantu. Hal yang tersisa generasi semakin terperosok memahami ambigunya zaman. Di lain sisi dibebaskan, di pihak lain harus memiliki keimanan.
Inilah kesemrawutan saat aturan kehidupan dijauhkan dari agama. Kecil kemungkinan mampu mencetak generasi yang bisa mengemban besarnya misi kehidupan sebagai pengemban titah Ilahi. Hal yang ada mereka semakin tertarik untuk berkelahi, sulit berempati, tak terima jika diingatkan, lebih mengerti bahasa keributan. Tak mau diberikan nasihat dan pelajaran, lebih semangat mengerjakan permainan dan hal yang menyia-nyiakan. Tidak takut Tuhan, kebanyakan bangga menjadi pemuja setan modern yang dibungkus popularitas yang menyilaukan dan melenakan.
Adakah sistem yang bisa melahirkan generasi terbaik? Jawabannya tentu ada bahkan pernah berjaya menguasai dunia. Banyak melahirkan cendekiawan dan ilmuwan muda yang bermental baja dan berkeribadian Islam. Bagaimana Islam bisa melahirkan kecemerlangan yang seperti tertuang dalam sejarah yang dipahat indah?
Pijakan sistem Islam sangat kuat. Akidah harus terinstal dengan baik. Antara keluarga, sekolah, dan negara mampu bersinergi. Keluarga adalah sekolah utama dan pertama, Islam mengatur dengan rinci tugas dan peran utama orang tua. Bahkan pengklasifikasian pengasuhan pun terlahir dari Islam. Di tujuh tahun pertama orang tua jangan salah menempatkan anak sebagai raja. Dimana hak-haknya harus terpenuhi dengan benar, bukan dimanjakan tak tentu arah. Diajarkan mengenal sang pencinta hingga di fase berikutnya tumbuhlah nilai-nilai keimanan dengan subur.
Begitu pun di fase tujuh tahun kedua bahwa anak sebagai tawanan, di mana hak dan kewajibannya harus seimbang, mengenai aturan dan larangan syariat secara tepat, kemudian di tujuh tahun ketiga anak adalah sahabat, tertuntun menjadi dewasa jiwa serta raga. Mereka harus mengenal dengan lekat menjadi calon istri atau suami, calon ayah atau ibu, dari orang tuanya sendiri sebagai teladan.
Semua pola pengasuhan ini bukanlah tugas yang bisa didelegasikan ke sekolah. Berbeda dengan orang tua di kondisi sistem kapitalisme, mereka hanya cukup sebagai induk dan bekerja keras mencari uang, tak mau maksimal menjaga buah hati dan memahami kewajiban dengan lapang, alhasil banyak anak yang merasa terbuang, lari ke jalanan dinaungi pergaulan bebas tanpa batas.
Sekolah pun harus cermat dalam mengadopsi kurikulum tentu saja harus bertujuan membentuk generasi terbaik sesuai aturan Ilahi, bukan semata-mata mengikuti aturan manusia yang serba fana. Pembentukan kepribadian Islam menjadi hal utama. Sehingga suplai pola pemikiran dan pola sikap harus seiring sejalan dengan Islam. Pembelajaran intelektualitas dan bidang keilmuan pun tak semata-mata membentuk generasi yang pintar, tetapi jiwa-jiwa cerdas yang tunduk pada syariat Islam, bertakwa, dan memahami tugasnya dalam beramar makruf nahi mungkar.
Negara akan mencipta iklim yang sehat dengan menerapkan sistem Islam. Di sini negara menjadi garda terdepan dan orang tua utama bagi para generasi. Negara berwenang mengatur setiap sendi kehidupan agar senantiasa kondusif dan jauh dari hal-hal yang merusak. Mengatur kondisi umat supaya terikat dengan aturan Allah. Bukan hanya mengeluarkan kebijakan tertulis dan teori semata, tetapi fakta berbicara. Setiap fasilitas dicipta untuk menguatkan iman dan Islam, terutama jiwa dakwah di dalam dan luar negeri.
Masihkah kita berharap pada sistem ciptaan manusia yang serba terbatas, sekuler yang membuat keblinger, kapitalis yang membentuk fatalis? Learning loss akan senantiasa menghantui, ketika dasar yang dijadikan alat bersandar semua kebijakan tidak benar. Hal-hal yang signifikan hanya bisa dilahirkan dari aturan yang sahih, bukan pijakan stagnan yang dipakai sebagai muara berdalih.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 10
Comment here