Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd. (Pemerhati Kebijakan Publik)
wacana-edukasi.com– Layaknya sebuah drama, kisah perjalanan BBM Subsidi di Indonesia memang penuh dengan drama. Dulu, sebelum adanya Pertalite atau BBM RON 90, masyarakat menggunakan BBM Premium yang notabenenya meskipun Pertalite termasuk dalam Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) alias bersubsidi tetapi harga BBM Premium lebih murah dari BBM Pertalite.
Pengenalan BBM Pertalite pada tahun 2015. Tetapi, tidak serta-merta diluncurkan, meskipun santer terdengar akan diluncurkan pada bulan Mei di tahun itu. Kemudian, pihak Pertamina membatalkan penjualan Pertalite. Pembatalan tersebut terkait dengan sikap pemerintah soal harga Pertalite yang lebih mahal dari bensin Premium.
Sehingga, Menteri BUMN, Rini Soemarno saat itu menjelaskan dirinya Bersama Menteri ESDM telah sepakat agar Pertamina mengkaji ulang peluncuran bensin Pertalite. Alasannya, Pertamina tidak boleh berhenti menjual atau memproduksi bensin Premium apabila harga Pertalite lebih mahal daripada Premium.
Namun, pada kenyataannya Pertalite resmi diluncurkan pertama kali pada 24 Juli 2015. Awalnya Pertamina hanya melakukan uji pasar dibalik penjualan Pertalite untuk melihat respon konsumen, yang pada akhirnya Pertalite berhasil dipasarkan dan bertahan hingga kini.
Disisi lain, BBM Premium pada akhirnya subsidinya dihapuskan di era pemerintahan Joko Widodo. Kini, BBM Premium bisa dikatakan sudah tidak dipasarkan lagi.
Tak dapat dipungkiri kebijakan energi memang selalu menjadi sorotan publik. Apatah lagi di Indonesia yang menjadi net importir minyak dunia. Meskipun begitu, di era pemerintahan Jokowi dengan transformasinya BBM satu harga yang diharapakan mampu menekan produktifitas perekonomian masyarakat tapi pada kenyataannya menjadi bom waktu tersendiri karena transformasi ini kabarnya justru merugikan pihak Pertamina.
Sebagaimana yang diulas oleh Pengamat Energi dari Reforminer Institute, Komaldi Notonegoro, bahwa, untuk program BBM satu harga, Pertamina juga sudah terbebani dengan harus menjual Premium dan Solar yang sudah tidak lagi disubsidi tapi harganya tak boleh naik.
Berbeda lagi dengan kini, subsidi BBM Pertalite yang sudah diujung tanduk, Pertamina menefisiensikan pembatasan kuota penggunaan BBM Subsidi Pertalite dan agar kuota yang terbatas pada lapisan masyarakat tertentu dengan menggunakan aplikasi berbasis digital; Mypertamina.
Efiesiensi dalam mengetatkan kuota yang berhak menggunakan BBM bersubsidi ini justru berbuah kesangsian baik secara teknis maupun paradigmatis. Sebab, alih-alih menciptakan efisiensi tapi justru menampakan ambisi penghapusan BBM bersubsidi.
Bayangkan saja, dengan Platform mypertamina diyakini tidak semua masyarakat punya kans untuk mengaksesnya. Kita tak dapat menutup mata dari keterbatasan secara teknis yang ada pada pengguna Platform tersebut. Nasib wilayah-wilayah yang sulit atau bahkan tidak ada akses jaringan internet yang mumpuni sangat dipertanyakan kebijakannya.
Selain itu, kegaduhan secara teknis yang tak dapat dihindari meskipun ada masyarakat yang mengakses dengan mudah yaitu berbahayanya mengoperasikan gawai disekitar SPBU. Padahal, sebelumya Pertamina sudah melakukan pelarangan tegas penggunaan gawai disekitar area SPBU yang bisa memantik kebakaran.
Adapun secara paradigmatik. Pengarusan Aplikasi My pertamina diendus syarat dengan ambisi menghapus BBM Subsidi rakyat. Masyarakat diarahkan untuk berjibaku dengan SOP/administrasi yang rumit hingga jenuh dengan SOP tersebut. Sehingga secara bertahap masyarakat enggan direpotkan sampai dititik alternatif terberat, yakni beralih pada BBM Non-Subsidi, Pertamax, Dexlite dll.
Laku kebijakan inilah yang amat menampakkan corak suatu system ekonomi-neoliberalisme yang menglorifikasikan keuntungan meskipun itu kepentingan umat. Singkatnya, system ekonomi-neloliberalisme yang antisubsidi. Melayani umat dengan alur mekanisme pasar, yakni dengan prinsip untung-rugi.
Bagaimana Islam memandang Subsidi?
Islam memandang subsidi dengan sudut pandang syariat. Apabila subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayarkan oleh negara maka Islam mengakui kebenaran subsidi dan tentu saja boleh dilakukan dalam pemerintahan Islam, yang notabenenya sebagai pemberian harta milik negara kepada individu.
Sebagaimana pada masa Umar Bin Al-Khattab pernah memberikan harta dari baitumal kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan pertanian mereka, maka negara boleh memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen. Misalnya, Subsidi pupuk maupun benih atau yang sejenis bahan baku bagi petani maupun UMKM.
Selain produsen, negara juga memberikan subsidi pada individu rakyat (baca:konsumen) seperti sembako murah ataupun pendidikan. Apatah lagi, subsidi pada sektor energi baik BBM dan listrik.
Dari segi kepemilikan, Rasulullah SAW, bersabda: “Sesungguhnya umat Islam berserikat dalam tiga perkara: air, api, dan padang gembalaan” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Aturan kepemilikan dalam system Islam, BBM dan listrik termasuk barang milik umum (milkiyyah ’ammah). Ketika didistribusikan kepada rakyat Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu sehingga Khalifah dapat memberikannya secara gratis atau jika tidak memungkinkan tetap dijual dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar. Selain itu, khalifah dapat memberikan uang tunai sebagai keuntungan penjualannya.
Negara bertindak sebagai pengelola bukan pihak swasta sebagaimana kini. Sehingga mampu diwujudkan bahwa kepemilikan umat adalah milik umat. Negara bahkan tidak boleh mengambil keuntungan seperakpun dalam pengelolaan harta rakyat. Apabila diinsafi, kebijakan pengembalian kepemilikan umum yang dikembalikan pada rakyat hanya mampu diabstraksikan dan diwujudkan dalam system pemerintahan Islam, Khilafah.
Adapun pembatasan BBM dalam Islam bukan hal yang tidak mungkin. Misalnya saja, dari segi pemanfaatan apabila penggunaan BBM sudah membahayakan seperti polusi udara dalam rangka melindungi alam semesta dan apa yang ada didalamnya.
Rasulullah SAW, bersabda:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ahmad dan Ibn Majah)
Wallahu ‘alam Bisshawab
Views: 3
Comment here