Oleh Ikhtiyatoh, S.Sos
(Pemerhati Sosial dan Politik)
Bahaiyah menggabungkan berbagai ajaran agama, termasuk di dalamnya ajaran Islam
Wacana-edukasi.com — Ucapan selamat Hari Raya Naw-Ruz 178 EB umat Baha’i oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Quomas menimbulkan polemik. Sebagian masyarakat mengkritisi sikap Menag karena menganggap Baha’i sebagai ajaran sesat. Namun, sebagian masyarakat lainnya mendukung sikap tersebut sebagai bentuk toleransi dan dukungan terhadap kelompok minoritas. Mereka juga menuntut pemerintah untuk memberikan kemudahan dalam pengurusan KTP, akta lahir, pernikahan serta pengurusan lainnya. Umat Baha’i mengaku selama ini terjadi diskriminasi dalam pengurusan administrasi.
Menuju Harmoni?
Hari Raya Bahai sendiri jatuh pada tanggal 21 Maret. Sementara video ucapan selamat telah diunggah dalam akun Youtube Baha’i Indonesia pada tanggal 26 Maret. Sedikit aneh karena baru viral empat bulan kemudian. Banyak netizen yang ramai mempertanyakan apakah Baha’i sudah masuk agama resmi di Indonesia, sehingga Menag merasa perlu memberikan ucapan selamat Hari Raya.
Menanggapi polemik tersebut, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi menyatakan apa yang dilakukan oleh Menag adalah bagian dari kewajiban konstitusional yang harus dilakukan oleh seorang pejabat negara. Memberikan pelayanan kepada warga negara tanpa pengecualian. Lanjutnya, moderasi beragama tidak akan terwujud jika tidak memperhatikan prinsip adil dan berimbang. Wamenag pun berharap tidak ada lagi polemik terkait Baha’i (kemenag.go.id, 31/7/2021).
Pemerintah melalui Kementerian Agama memang nampak terus berupaya mengembangkan dan menyosialisasikan penguatan moderasi beragama. Tujuan dilakukannya moderasi beragama demi menghadirkan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap Menag tersebut diklaim telah mewujudkan toleransi menuju Indonesia yang harmoni.
Ajaran Transnasional
Disaat pemerintah mengajak masyarakat untuk mewaspadai ajaran transnasional, pemerintah mengapresiasi keberadaan Baha’i yang berasal dari Persia tersebut. Dikutip dari situs resmi bahai.id, disebutkan bahwa ajaran Bahá’u’lláh mengajarkan berbagai prinsip dan konsepsi rohani yang diperlukan umat manusia agar perdamaian dunia yang diidamkan dapat tercapai. Baha’i berdiri diatas tiga pilar utama kesatuan yakni, keesaan Tuhan, kesatuan sumber surgawi dari semua agama, dan kesatuan umat manusia. Sebuah konsepsi “kesatuan dalam keanekaragaman”.
Jika kita telusuri sejarah Baha’i akan ditemukan bahwa antara tahun 1819-1850, di Persia (Iran saat ini) berkembang bermacam ajaran Syiah. Termasuk di dalamnya Syiah Itsa ‘Asyariah yang mengakui 12 imam setelah Rasulullah. Pada abad 19 ini, kondisi dunia Islam sudah mulai melemah. Sementara di Persia sendiri mengalami keadaan yang memprihatinkan. Kondisi ekonomi dan sosial yang begitu buruk dan membuat masyarakat gelisah. Kondisi seperti ini kemudian menjadikan masyarakat menanti datangnya seorang Imam.
Masyarakat meyakini datangnya seorang Imam dibutuhkan Al-Bab (pintu pembuka). Munculah sosok Mirza Ali Muhammad Syairazi yang mendeklarasikan diri sebagai Al-Bab dan akan menghantarkan manusia kepada ma’rifatullah. Kemudian ia mengklaim diri sebagai Nabi dan menerima kitab suci dari Allah yang disebut Al-Bayan. Pengikut Mirza Al-Bab semakin banyak hingga membuat kondisi masyarakat semakin bergejolak. Akhirnya sosok Al-Bab tersebut ditangkap oleh otoritas setempat.
Setelah Mirza Al-Bab ditangkap, para pengikut melakukan pertemuan pada tahun 1848 di Badasyt. Dalam pertemuan tersebut, hadir salah satu pendukung utama Mirza Al-Bab yaitu Mirza Husain Ali Al-Mazandarani yang mengklaim dirinya sebagai Al Baha. Mereka membahas kelanjutan aliran tersebut dan disepakati berdirinya doktrin ajaran baru yang menghapuskan syariat Islam sebelumnya. Agama baru tersebut mereka namakan Al Babiyah. Namun, kemudian sang nabi Mirza Al-Bab dieksekusi mati pada tanggal 9 Juli 1850 dan jasadnya dikubur di Gunung Karmel, Kota Haifa, Israel.
Setelah kejadian eksekusi tersebut, Mirza Husain Al-Baha mengklaim diri sebagai nabi. Seperti pendahulunya, ia datang membawa ajaran baru yang disebut Bahaiyah dan menghapus ajaran sebelumnya. Ia pun mendapat julukan Baha’ullah (kemuliaan Allah) sebagai Perwujudan Tuhan yang baru. Sementara pengikutnya disebut Baha’i.
Bahaiyah menggabungkan berbagai ajaran agama, termasuk di dalamnya ajaran Islam. Syariat Islam yang diambil antara lain syariat tentang sholat, puasa dan haji namun kemudian direkonstruksi. Sholat dilakukan tiga waktu yaitu pagi, siang serta sore. Masing-masing sholat berjumlah tiga rakaat dengan arah kiblat di Haifa Israel. Sementara ibadah puasa dilakukan selama 19 hari yaitu tanggal 2-20 Maret dan ditutup dengan Hari Raya tanggal 21 Maret. Ibadah haji mereka bukan menuju Ka’bah tapi berziarah ke Taman Haifa tempat makam Al-Bab.
Melalui Jamal Efendi dan Mustafa Rumi, ajaran Baha’i akhirnya sampai di Nusantara pada tahun 1885 kemudian menyebar di berbagai wilayah. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang Baha’i melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 264 Tahun 1962. Namun, larangan tersebut dicabut melalui Kepres No. 69 Tahun 2000 pada era Gus Dur.
Memicu Konflik Horizontal
Pluralisme yang mengakui bahwa semua agama sama nampak lebih umum jika dibandingkan dengan Baha’i. Ajaran ini lebih spesifik karena merealisasikan penggabungan banyak agama menjadi satu dalam rangkaian ibadah. Jika dilihat dari kacamata Islam, maka Baha’i sangat bertentangan. Islam mengakui Tuhan itu Esa yaitu Allah dan tidak ada perwujudan dalam diri makhluk-Nya. Setelah Nabi Muhammad Saw., tidak ada nabi lain. Selain itu, ketentuan sholat, arah kiblat, puasa, hari raya serta ibadah haji sudah baku dan tidak boleh diubah seenaknya.
Meski Baha’i mengambil sebagian ajaran dari beberapa agama namum mereka mengklaim agama mereka independen (berdiri sendiri). Bukan sekte atau sempalan dari agama lain. Akhirnya, ketika pemerintah memberi apresiasi terhadap pemeluk Baha’i justru akan mengesampingkan prinsip keadilan dan keseimbangan. Ada ketidakadilan bagi agama mayoritas yang merasa ajaran agamanya diselewengkan. Jika mereka terus dibiarkan dan dilindungi, maka akan terus menimbulkan polemik tanpa titik temu. Sehingga bukan potensi harmonisasi yang hadir tapi konflik horizontal.
Bagi umat Islam, khususnya, akan muncul bahaya yang tak kasat mata saat Baha’i membaur di tengah umat Islam yang awam. Aqidah umat yang sudah mulai menipis akan tambah terkikis. Ketika ada pilihan sholat dan puasa yang lebih sedikit jumlah rakaat dan jumlah harinya, tentu lebih memuaskan hati mereka yang malas beribadah. Hal ini berbahaya karena selain membuat bingung juga membuat umat Islam tidak serius dalam beragama.
Bahkan, Ustadsz Adi Hidayat pernah menyampaikan, Grand Syaikh Al Azhar yaitu Syaikh Muhammad Khudr Husain dalam bukunya Rasail Ishlah menyatakan dengan tegas ajaran ini sengaja dibuat untuk merusak Islam. Kesimpulan tersebut didapat setelah melakukan analisis yang mendalam, meninjau dari sejarah Baha’i serta kondisi perpolitikan saat itu.
Sementara itu, jika melihat Kepres No. 69 Tahun 2000 yang ditandatangani oleh Abdurrahman Wahid, maka Baha’i hanya dianggap sebagai sebuah organisasi bukan sebagai agama. Kepres tersebut berisi tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 Tentang Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians (Amorc), Dan Organisasi Baha’i.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai ajaran Baha’i harus dikembalikan kepada ajaran agama terkait. Sudah seharusnya pemerintah mempertimbangkan pandangan Baha’i dalam kaca mata Islam. Karena ajaran Islam ada di dalamnya. Sampai disini, umat Islam tentu mempertanyakan arus moderasi agama dilakukan demi siapa?
Allah Swt., berfirman, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 120)
Kondisi umat Islam saat ini, sangat membutuhkan keseriusan pemerintah dalam menjaga aqidah. Merindukan masa dimana pemikiran, perasaan dan peraturan di tengah masyarakat satu padu dalam memandang segala sesuatu yaitu berdasarkan Islam semata. Namun, penjagaan akidah ini nampaknya hanya bisa dilakukan jika penguasa dan para pejabat negara meyakini dan memiliki rasa takut akan yaumil hisab di hari kemudian.
Wallahu’alam bish showab.
Views: 1
Comment here