Oleh Elin Nurlina
Wacana-edukasi.com, OPINI– Beberapa waktu yang lalu, sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) mengikuti sebuah acara sosialisasi Penguatan Integritas dan Budaya Kerja Anti Korupsi Kepala Perangkat Daerah di lingkungan pemkab Bandung.
Perangkat yang mengikuti pelaksanaan sosial budaya anti korupsi ini diantaranya para asisten, para kepala dinas, kepala badan, camat, direktur RSUD maupun perangkat jajaran ormas di lingkungan pemkab Bandung. Pelaksanaan acara ini bertempat di hotel Grand Sunshine Soreang (Pemkab Bandung, Rabu, 25/09/2024).
Salah satu yang menghadiri sosialisasi budaya anti korupsi adalah pejabat sementara (pjs) Bupati Dikki Ahmad Sidik. Ini merupakan kali pertama ia bertugas di lingkungan pemkab.
Selain itu, turut hadir juga Sekda Kabupaten Bandung Cakra Amiyani dan beberapa pejabat pemerintah Kabupaten Bandung lainnya untuk ikut serta dalam sosialisasi ini.
Pelaksanaan sosialisasi ini menghadirkan narasumber langsung dari KPK RI. Pjs Bupati Dikki Ahmad Sidik mengatakan bahwa acara ini merupakan kali pertama selama pjs. Tentu dalam rangka mengisi kekosongan masa kampanye Pak Bupati Dadang Supriatna maupun wakilnya Pak syahrul. Intinya Pak Dikki ada mandat tugas untuk menjalankan roda pemerintahan sepanjang masa cuti kampanye.
Pada kesempatan itu Dikki mengatakan, berkaitan dengan anti korupsi dan yang paling penting anti korupsi ini ditujukan kepada para ASN agar menjadi garda terdepan dalam antikorupsi ini.
Tujuannya agar ASN mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dalam mengembangkan budaya anti korupsi menuju ASN yang berintegritas.
Dikki menekankan 3 hal penting yang harus dijalankan bersama. Pertama, komitmen terhadap integritas. Kedua, penguatan sistem yang lebih kuat untuk membangun budaya antikorupsi. Ketiga, penanaman anti korupsi dengan harapan penanaman budaya anti korupsi ini tidak hanya dilingkungan ASN, tetapi menularkan juga kepada masyarakat.
Tuntutan ASN sebagai garda terdepan dalam menumbuhkan budaya dan sikap antikorupsi nampaknya sangat kontradiktif dengan realitas yang ada. Mengapa demikian? Karena justru praktek-praktek korupsi saat ini banyak terjadi di Lembaga-lembaga atau Instansi pemerintahan, walaupun tidak menafikan praktek korupsi juga terjadi di luar pemerintahan. Baik itu pejabat maupun swasta, sama-sama rakus. Tapi itulah kenyataannya, praktek korupsi semakin menjadi-jadi dari waktu ke waktu.
Jika kita cermati, ini bukan sekali dua kali pemerintah melakukan upayanya dalam rangka memberantas korupsi. Namun budaya korupsi tidak akan pernah bisa hilang jika negara masih menerapkan sistem yang rusak ini. Selama sistem demokrasi sekulerisme berlaku, selama itu pula korupsi akan tumbuh subur.
Ini karena sistem sekuler menjauhkan agama dari kehidupan, sistem ini pula yang menjauhkan para aparatur negara dari Tuhan. Alhasil mereka tidak takut dosa dan pertanggungjawaban nanti di akhirat. Ini membuktikan bahwa para pelaku korup tidak konsistensi spiritual dalam menjalankan agamanya.
Lihat saja, silih bergantinya pimpinan bahkan hingga sampai sekarang nyatanya tak mampu memberantas korupsi. Justru praktek korupsi kian marak di era saat ini. Jika dulu dimasa orba, praktek ini hanya bisa dilakukan di bawah meja, tapi sekarang justru terang-terangan di atas meja bahkan berjamaah, sungguh miris.
Tidak hanya cukup di situ, sistem saat ini justru malah mendorong orang untuk melakukan praktek korupsi. Bagaimana tidak, untuk mendapatkan kedudukan politik tidak cukup dengan biaya murah, tentu memerlukan biaya yang tinggi. Sementara uang pribadi tak mungkin bisa mencukupi. Lain lagi ketika pribadinya kaya raya, maka bukan rahasia lagi jika dalam prakteknya membutuhkan jalan keluar. Satu-satunya jalan, ya dengan utang, jika tidak ya minta dukungan pengusaha.
Maka untuk mengembalikan itu semua, tidak ada jalan lain kecuali dengan korupsi. Menurut prof Chisnul Mar’iyah (Akademisi), bagi politisi, sumber keuangan yang paling mudah adalah mengatur regulasi dan mengambil SDA dengan dianggapnya sah sesuai dengan regulasi. Kompleks sudah permasalahan negeri ini. Sistem saat ini tidak mampu memberikan kesejahteraan dan membentuk keshalihan individu, masyarakat dan pemerintah, sehingga praktek korupsi seolah hal yang lumrah terjadi dan bagian dari budaya balas budi.
Persoalan maraknya korupsi disebabkan karena tidak diberlakukan sanski yang tegas, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Ketika uang berbicara, maka hukum bisa dibeli.
Maka di sinilah pentingnya solusi hakiki, dengan pencegahan berupa memberikan sanksi yang tegas dan keteladanan dari pemimpin. Kenapa butuh teladan dari pemimpin? Sebab mana mungkin korupsi bisa dicegah jika pemimpinnya saja melakukan korupsi.
Maka tidak ada jalan lain, kecuali harus kembali kepada sistem Islam yang mampu mewujudkannya. Dalam islam ada langkah praktis untuk mencegah terjadinya korupsi.
Pertama, Islam akan memberikan sistem penggajian yang layak sehingga ketika penggajian layak maka kebutuhan para pemimpin dan pegawai negara akan terpenuhi dan mereka tidak mencari celah untuk korupsi.
Kedua, larangan meminta suap dan hadiah. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud)
Ketiga, akan melakukan penghitungan kekayaan di awal dan akhir. Tujuannya untuk menjaga dari curang. Keempat, keteladanan dari pemimpin, termasuk soal harta.
Kelima, diberi hukuman yang tegas. Dalam islam, tindak korupsi termasuk jarimah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bisa juga berupa hukuman tasy’ir (pewartaan atas diri koruptor) sampai hukuman kurungan. Bahkan, jika mencapai nominal yang membahayakan ekonomi negara, pelaku korupsi bisa dihukum mati. Keenam, adanya pengawasan masyarakat. Ini akan mempersempit gerak gerik yang menyimpang di kalangan kaum birokrat.
Ketujuh, mewujudkan sikap ihsan (baik). Selain islam akan menanamkan akidah yang kuat kepada rakyatnya, masing-masing akan menyadari bahwa ada konsekuensi dari ketaatan atau pelanggaran yang dilakukannya. Sebab dia sadar bahwa di akhirat kelak akan ada pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Wallahua’lam bisshawab
Views: 2
Comment here