Oleh : Khusnawaroh (Pemerhati Umat)
Wacana-edukasi.com — Gelombang penolakan rakyat terhadap kebijakan penguasa selalu terjadi, kali ini rakyat berbondong- bondong menyampaikan aspirasinya memohon kepada penguasa terkait kebijakan Undang- Undang Omnibus Law atau yang disebut juga dengan Undang- Undang sapu jagad yang dianggap dapat menyulitkan kehidupan masyarakat.
Penolakan ditunjukkan dengan sikap walk out fraksi PKS Dan Demokrat.
“Jadi, karena pimpinan sewenang-wenang tidak dikasih kesempatan kami untuk sampaikan pandangan, maka kami mengambil sikap walk out,” ujar Benny di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10).
Penolakan tak hanya terjadi pada dua partai tersebut saja, penolakan pun datang dari ormas Islam, akademisi, aktivitas lingkungan, pers, hingga para pakar pun turut angkat bicara mengkritik pengesahan Undang-Undang tersebut.
Salah satunya, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr Maria SW Sumardjono yang menyoroti persoalan agraria. Menurutnya, UU tersebut dinilai berpihak kepada kepentingan perusahaan dan abai terhadap reforma agraria.
Maria menilai UU Cipta Kerja dapat memicu masalah dari segi teoritis dan potensi implementasi khusunya di bidang pertanahan. Ia menilai, subtansi yang diatur masih perlu dipertimbangkan kembali agar tidak menghidupkan kembali isu-isu krusial yang ditolak dalam RUU Pertanahan yang kemudian disalurkan melalui RUU Cipta Kerja. Pun juga permasalahan dari sisi birokrasi, yang mana sistem pelayanan harus dijalankan dengan transparan.
Karenanya, ia menolak UU Cipta Kerja tersebut dan menyarankan kepada pemerintah agar tetap melaksanakan Program-program Reforma Agraria (RA) secara sungguh-sungguh. Surat keberatan tersebut ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), para menteri, serta DPR RI (MALANGTIMES, 10/10/2020).
Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga telah menyerahkan surat dan kajian akademik terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada pimpinan DPR. Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan kajian ini sebagai bentuk tanggung jawab Muhammadiyah terkait komitmen keagamaan dan kebangsaan.
Busyro mengatakan, Muhammadiyah menilai RUU Cipta Kerja bertabrakan dengan ideologi pancasila, serta mengandung pemikiran atau konsep yang mencerminkan pembangkangan konstitusional. Ia mengatakan pandangan ini merupakan hasil dari tiga kali pertemuan PP Muhammadiyah dengan para pakar.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj, memandang UU Cipta Kerja yang baru diputuskan pada Senin (5/10) lalu itu, sangat tidak seimbang karena hanya menguntungkan satu kelompok. “Hanya menguntungkan konglomerat, kapitalis, investor. Tapi, menindas dan menginjak kepentingan atau nasib para buruh, petani, dan rakyat kecil,” kata Said dikutip dari laman nu.or.id, (Rabu, 7 Oktober 2020. Tempo.co).
Ironisnya, walaupun banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat, penguasa tetap bergeming. Wakil rakyat yang seharusnya bekerja mewakili rakyat sungguh sangat jauh dari realita. Hampir seluruh Fraksi yang ada di DPR menyetujui pengesahan RUU ini, di antaranya adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Ciptaker (tribunmanado.co.id, 6/10/2020).
Tidakkah mereka mendengar gelombang penolakan jeritan rakyat menggema, tidakkah mereka berpikir bagaimana nasib rakyat, rakyat tidaklah bodoh mereka tau dengan disahkannya Undang-Undang tersebut justru akan semakin menindas dan menginjak kepentingan atau nasib para buruh, petani, nelayan dan rakyat kecil bahkan akan dapat memperparah kerusakan lingkungan. Memang, dunia adalah surga bagi mereka pecinta kezhaliman dengan pura-pura menutup mata dan telinga. Penguasa tak peduli dengan aspirasi publik, demi untuk kepentingan kelompok, miris.
Kekecewaan yang tiada bertepi itulah yang terjadi. Saat covid-19 yang tak kunjung reda, penanganannya pun tak jelas arah, hingga himpitan ekonomi kian parah, ditambah penguasa membuat Undang-Undang yang tidak memihak kepada rakyatnya, suara rakyat pun diabaikan.
Penolakan hampir diseluruh penjuru negeri ini, tetapi penguasa tak menghiraukannya. Apakah itu yang disebut cinta kepada rakyat? Boleh jadi memang benar apa yang disinyalir banyak pengamat bahwa Undang- Undang Omnibuslaw lebih mencerminkan kehendak penguasa dan para pemilik modal, bahkan boleh jadi memang benar Undang-Undang omnibuslaw merupakan pesanan para pengusaha dan pemilik modal. Demi memuluskan kepentingan mereka , tak heran jika DPR mengesahkannnya di tengah malam. Hal tersebut terkesan ngebut dan tergesa- gesa, sayang bukan untuk kesejahteraan rakyatnya.
Penguasa yang adil, amanah, bertanggung jawab, dan mencintai rakyatnya tentu akan sudi merangkul dan mendengar aspirasi publik. Mereka tidak abai akan aspirasi rakyat apalagi dianggap angin lalu bahkan dianggap sampah. Kita adalah bangsa yang beradab seharusnya selalu mengedepankan musyawarah dan menjunjung tinggi aspirasi rakyat.
Namun, semua itu tidak akan ditemui dalam sistem kepemimpinan kapitalis. Sistem kapitalis akan selalu menjadi jalan untuk para penjajah dalam menguasai sumber daya alam, sistem ini juga akan selalu memunculkan penguasa- penguasa yang tidak amanah yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Menindas rakyat, kekecewaan rakyat akan selalu bermunculan melalui kebijakan-kebijakan yang tidak prorakyat. Sebab sistem ini didasarkan pada pendapat manusia. Suara mayoritas yang akan menjadi keputusan final, meskipun ada sebagian yang keberatan, aspirasi rakyat tak dihiraukan.
Dalam sistem Islam, negara senantiasa mengambil kebijakan yang selalu berdasar pada syariat yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Melindungi berbagai kepentingan masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan yang menyulitkan, menyengsarakan rakyat tidak akan terjadi dalam sistem ini, sebab kepemimpinan dalam islam adalah amanah besar yang juga akan diminta pertanggung jawaban dihadapan Allah Swt.
Tak ada pengkhianatan antara pemimpin terhadap rakyatnya. Pemimpin dalam sistem Islam hadir sebagai pelayan umat bukan pelayan korporat, para kapital pemilik modal. Musyawarah pun selalu menjadi yang terdepan, mengambil keputusan berdasarkan al-qur’an dan as-sunah bukan berdasarkan pada pendapat mayoritas atau pendapat manusia.
Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah Swt. berfirman, ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila telah berbulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang betawakal kepada-Nya.”
Islam tak mengabaikan aspirasi umat, mengedepankan musyawarah dengan merujuk pada pedoman hidup, al-qur’an dan as-sunah sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan pemerintahan.
Musyawarah merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijaksanaan politik. Melalui ayat itu pula, Allah melarang para pemimpin umat memutuskan suatu urusan dengan sewenang-wenang tanpa memperhatikan aspirasi umat. Itulah kesempurnaan aturan dalam Islam yang dapat menaungi kehidupan manusia baik didunia maupun akhirat.
Wallahua’lam bissawab
Views: 27
Comment here