Oleh : Afifa Afnan
“Mas, anak kita demam dan bab nya mencret. Hari ini bab nya pun sudah lebih dari tujuh kali,” ucapku dengan terbata pada Mas Dimas lewat telpon.
“Kamu sudah bawa ke dokter, Dek?” jawab Mas Dimas terdengar nada khawatir.
“Belum Mas. Aku ga pegang uang sama sekali, di dompet tinggal dua puluh ribu. Makanya aku bingung.” lirihku sembari sesekali menyeka buliran air mata yang tak tertahankan.
“Ya sudah kamu jangan nangis, kamu harus tetap perhatikan kondisi anak kita yah. Mas coba cari pinjaman dulu siapa tau ada, nanti Mas kabari.” jawab Mas Dimas sebelum menutup telpon nya.
Ku lihat Atalah terkulai lemah, matanya sayup dengan wajah yang pucat dia menangis tak henti-hentinya, membuat hati semakin tak karuan.
Aku berniat membawa Atalah ke bidan dekat rumah saja dulu, berbekal uang dua puluh ribu aku nekat membawa anakku ke bu bidan.
“Bu gimana kondisi Atalah?” tanyaku penuh harap.
“Teh anaknya dehidrasi, apa bab nya mencret?” tanya bu bidan.
“I-iya Bu Bidan, hari ini sudah tujuh kali,” jawabku sembari gugup dan panik.
“Harus segera di bawa ke RS Teh, sebelum terlambat.” serunya semakin membuat hati dan pikiranku tak karuan.
“Oh gitu ya Bu. InsyaAllah nanti kesana. Bu Bidan maaf saya hanya punya uang dua puluh ribu.” ucapku sembari menyodorkan uang dua lembar sepuluh ribuan.
“Ga usah Teh, ambil aja buat ongkos ke RS!” tolaknya.
Akhirnya, aku pulang sembari menggendong Atalah di temani rintik hujan. Tetiba di jalan bertemu dengan Yuli salah satu tetanggaku.
“Teh darimana malem-malem gini? Itu gendong Atalah lagi kasihan hujan Teh.” tanyanya sembari memayungi kami.
“Dari Bu Bidan Teh, kata Bu Bidan Atalah harus dibawa ke RS bab aja seharian ini katanya dehidrasi.” jawabku pelan.
Aku pun diantar oleh Yuli ke salah satu RS swasta di daerah Cicadas. Kami masuk ke ruang UGD, alhamdulillah setelah menunggu kurang lebih setengah jam akhirnya Atalah diperiksa.
“Bu, anaknya dehidrasi harus di rawat. Silakan bereskan dulu administrasinya di depan!” seru perawat yang memeriksa Atalah. Aku menitipkan anakku pada Yuli yang setia menemani ku di UGD.
Hati ku semakin remuk, melihat kondisi anakku yang tengah sakit terkulai lemah tak berdaya belum ditangani apapun tapi pihak rumah sakit tidak mau menerima sebelum persyaratan administrasi terpenuhi. Aku diharuskan membayar uang pendaftaran untuk rawat inap sebesar lima ratus ribu. Aku semakin bingung, aku kembali ke ruangan UGD.
“Teh kok Atalah dibiarin gitu, dari tadi ga ada yang meriksa lagi.” ucap Yuli keheranan. Aku pun tertunduk lemas ku ceritakan kalau aku harus membayar uang sebesar lima ratus ribu untuk daftar rawat inap. Ku lihat bola mata Atalah yang semakin cekung, tangisnya tak henti seperti tak kuat menahan sakit. Batinku semakin bergemuruh sakit tak tertahankan melihat Atalah tergolek lemah.
Di tengah kebingungan yang mendera diri, teringat dengan Mirna. Aku langsung menitipkan Atalah ke Yuli.
“Teh saya titip dulu Atalah yah! Saya mau menemui seseorang.” ucapku pada Teh Yuli.
Tak henti-hentinya aku berdoa pada Allah agar diberikan kemudahan lisan ku untuk berbicara pada sepupu Mas Dimas ini. Maklumlah aku ini orangnya tak banyak bicara, jadi suka terbata-bata kalau bicara apalagi pada Mirna dia itu orangnya cerewet dan agak judes.
“Assalamualaikum, Mba.” ucapku sembari mengetuk pintu rumah yang bergaya minimalis.
“Iya..oh kamu Sri. Ada apa, malem-malem gini?” cecar Mirna tanpa menjawab salamku.
“M-mba maaf, a-anu Atalah sakit.” ucapku dengan terbata.
“Terus urusannya denganku apa?” jawabnya ketus.
“A-anu Mba, saya sedang perlu uang untuk daftar rawat inap.” dengan hati-hati dan suara lirih aku berbicara.
“Jadi kamu ke sini mau nagih hutang? Belagu banget kamu, baru kasih pinjam segitu aja udah berani nagih-nagih.” jawabnya ketus dengan wajah yang memerah kesal terhadap ucapanku.
“Bu-bukan begitu Mba, cuma kebetulan saya sedang butuh. Atalah di UGD dia harus di rawat dan harus ada uang lima ratus ribu untuk biaya administrasi.” terangku.
“Aalaaahh itu pasti akal-akalan kamu aja, biar saya bayar ya kan?” masih dengan tatapan sinis.
Aku sudah tak kuat lagi, pikiranku terbayang pada Atalah yang terbaring lemah, dan aku..aku masih disini mengemis agar orang yang meminjam uang padaku ada niat baik untuk membayarnya.
“Sudah jangan nangis. Nih aku bayar!” hardiknya sembari melempar dua lembar ratusan ke hadapan wajahku.
“Ta-tapi ini masih kurang Mba. Waktu itu Mba pi-pinjam uang lima ratus ribu dan saat ini saya butuh segitu Mba untuk ke rumah sakit.” jawabku terbata-bata
“Duuhh dasar orang belagu yah, baru ngasih pinjam segitu aja nagihnya kaya punya utang jutaan. Nih sudah lunas ya!” dengan wajah marah dia menatap sinis melempar uang tepat di depan wajahku sembari menyuruh aku keluar dari rumahnya.
‘Ya Allah…terima kasih, akhirnya aku mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit Athalah.’ Batinku bermonolog dan tak henti-hentinya aku mengucap syukur.
Aku kembali ke rumah sakit, segera ke ruang pendaftaran dan menyelesaikan administrasi yang diminta.
Setelah selesai aku ke ruang UGD terlihat Yuli yang sedang menjaga Atalah. Sesekali aku seka air mata yang sedari tadi terjun bebas membasahi pipi.
“Teh sudah datang? Alhamdulillah barusan perawat bilang mau segera dikasih infusan sama mau di pindah ke ruang inap. Teteh sudah bayar administrasinya?” terang Yuli.
“Iya Teh, alhamdulillah barusan saya sudah dari tempat pendaftaran.” ucapku lirih.
Tak lama dua orang perawat datang, kemudian memasang infusan pada lengan mungil Atalah dan membawanya ke ruang inap.
Beginilah hidup dalam lingkaran sistem kapitalis, semuanya diukur dengan materi. Seharusnya negara menjamin semua yang menjadi hak dasar rakyatnya, seperti sandang, pangan, papan, dan jaminan kesehatan serta keamanan. Namun, faktanya kita tengah dibuat sengsara oleh sistem yang terus membawa kita pada jurang kehancuran. Semoga Islam segera tegak, agar orang-orang seperti kami tidak terpinggirkan hanya karena tidak punya uang untuk berobat. Aamiin Yaa Rabbal’alamiin.
Views: 1
Comment here