Oleh: Nana Juwita, S.Si.
Wacana-edukasi.com, OPINI– Awal Tahun 2025 disambut dengan kenaikan PPN 12%, di tengah kondisi umat yang semakin terhimpit masalah ekonomi, kenaikan PPN tetap diberlakukan. Walau pun pemerintah memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN, namun sejatinya kebijakan tersebut tetap memberatkan rakyat. Bahkan meski ada program bansos dan subsidi PLN, penderitaan rakyat tak mungkin terelakkan.
Muhaimin Iskandar selaku Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko Pemmas) menanggapi soal rencana pemberian bantuan bagi masyarakat kelas menengah yang terdampak kenaikan PPN. Menurut Muhaimin, kelas menengah ke bawah rentan terjun ke jurang kemiskinan, sehingga perlu bantuan dari pemerintah agar menjaga mereka tidak berada dalam jurang kemiskinan (katadata.co.id, (2/12/24).
Selain itu Yassierli selaku Menteri Ketenagakerjaan, menyampaikan bahwa kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 % tetap akan memperhatikan pelindungan bagi pekerja atau buruh, khususnya mereka yang bekerja di sektor padat karya dan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut Yassierli, pemerintah telah menyiapkan beberapa program sebagai bentuk antisipasi untuk mendukung kesejahteraan pekerja dan buruh di tengah implementasi kebijakan tersebut. Kenaikan PPN tersebut bersifat selektif. Bagi yang mampu akan membayar pajak lebih banyak, sementara masyarakat yang tidak mampu akan mendapatkan perlindungan penuh dari negara (www.merdeka.com , 21/12/24).
Sayangnya bansos dan subsidi bagi sebagian besar masyarakat merupakan sesuatu yang dianggap dapat membantu kesulitan hidup yang sedang mereka hadapi. Sejatinya ini merupakan upaya agar umat berfikir bahwa negara masih peduli terhadap nasib umat. harusnya umat memahami bahwa negara memang memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan hidup umat, baik kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier yang bersifat pribadi atau pun kolektif. Sehingga pemimpin yang benar-benar peduli dengan rakyatnya tidak akan membebani umat dengan segala macam bentuk pungutan yang dibalut atas nama pajak dan asuransi. Saatnya umat memahami bahwa pajak merupakan sumber pemasukan utama di dalam sistem kapitalisme, hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam yang tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara. Karena pajak dalam Islam hanya dipungut bagi mereka yang tergolong kaya, itu pun ketika kas negara (Baitul Mal) dalam keadaan kosong, intinya pajak dipungut tidak bersifat permanen.
Di sisi lain negara dengan asas kapitalisme menganggap bahwa pemberian bansos dan subsidi ini merupakan cara jitu untuk meringankan beban hidup masyarakat, namun hal ini sejatinya menunjukkan contoh kebijakan penguasa yang populis otoriter. Pemerintah merasa cukup sudah memberikan bansos, subsidi listrik, dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN. Padahal kebijakan tersebut tetap membawa kesengsaraan pada rakyat. Protes rakyat dalam bentuk petisi penolakan kenaikan PPN juga diabaikan. Jika penguasa memang benar-benar berpihak pada rakyat maka negara harus menerima masukan dari umat terkait kenaikan PPN tersebut.
Sudah seharusnya umat sadar bahwa kepemimpinan yang bersifat populis otoriter akan nampak seolah-olah berpihak kepada umat, namun sejatinya semua itu hanyalah kamuflase belaka, tanpa didasari oleh keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT, dan di dukung oleh sistem Illahi, maka sosok pemimpin yang benar-benar berperan sebagai pengurus rakyat tidak akan terwujud di tengah-tengah umat saat ini.
Islam mewajibkan penguasa berbuat baik dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat, karena penguasa adalah raa’in. Profil penguasa dalam Islam menjadi kunci lahirnya kebijakan yang berpihak pada rakyat. Adapun syarat bagi seorang pemimpin dalam pemerintahan Islam diantaranya adalah: Muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan menjalankan amanah kepemimpinan. Inilah gambaran tujuh syarat yang wajib dipenuhi ketika seseorang duduk dikursi kepemimpinan Islam. Jika tujuh syarat tersebut tidak terpenuhi maka calon pemimpin dianggap tidak layak untuk menjadi pemimpin sebuah negara Islam. Syarat-syarat kepemimpinan ini tidak lain adalah bersandar kepada Al-Quran dan As-sunah.
Islam memiliki sumber pendapatan yang beragam yang akan mampu membiayai pembangunan dan menciptakan kesejahteraan rakyat individu per individu, salah satunya dari pengelolaan sumber daya alam yang berlimpah, akan mampu menopang kebutuhan negara dalam menjamin kebutuhan hidup umat. Kewajiban bekerja bagi laki-laki serta penyediaan lapangan pekerjaan bagi umat, sehingga rakyat mampu memenuhi setiap kebutuhan hidupnya. Islam tidak pandang bulu dalam memberikan jaminan kesehatan, pendidikan bahkan keamanan, tidak ada istilah bantuan untuk rakyat miskin, karena semua kalangan yang hidup di dalam sisitem Islam akan dijamin seluruh kebutuhannya, sesuai dengan mekanisme yang ada di dalam sistem Islam.
Oleh karena itu sudah saatnya umat memberikan dukungan kepada kelompok dakwah yang benar-benar konsisten untuk mewujudkan kehidupan yang bersandar pada hukum Islam semata. Sebagaimana Rasulullah SAW memperingatkan kaum Muslim agar jangan sampai ada periode atau masa dimana umat Islam hidup tanpa adanya Khalifah, yang memimpin dan mengatur/memelihara seluruh urusan kaum Muslim. Apabila ada masa yang kosong dari seorang Khalifah, maka kaum Muslim wajib segera mengadakannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya:
“Apabila kalian menyaksikan seorang Khalifah, hendaklah kalian mentaatinya meskipun (ia) memukul punggungmu. Sesungguhnya apabila tidak ada Khalifah akan terjadi kekacauan.’’ (HR. Thabrani).
Tidakkah umat saat ini meyakini bahwa Muhammad SAW merupakan utusan Allah SWT, Al-Quran adalah Kitab Allah SWT. Umat harus menyadari bahwa sumber kekacauan negeri ini adalah ketika tidak menjadikan hukum Allah SWT sebagai asas dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Views: 11
Comment here