Opini

Atasi Korupsi dengan Perkuat Lembaga Anti Korupsi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Vikhabie Yolanda Muslim

Wacana-edukasi.com — Tampak masih melekat di ingatan kita akan kasus korupsi fantastis dan menggemparkan yang datang dari mantan Menteri Sosial Juliari Batubara pada Desember 2020 yang lalu terkait dengan penyelewengan dana bansos pandemi covid-19. Hal ini pun kembali disinggung oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Menurut ICW, korupsi dana bansos ini berpotensi menjadi kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Pihaknya menilai bahwa KPK tidak serius dalam menangani korupsi secara umum. Ia pun bahkan menyoroti kembali kinerja KPK yang seakan-akan lambat dalam menangani kasus korupsi bantuan sosial yang menjerat Juliari Batubara. Selain itu, menurut data dari Transparency International (TI), Indonesia telah merilis Indeks Persepsi Korupsi (CPI) pada Januari lalu, yang menempatkan Indonesia di peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei (pikiranrakyat.com, 12/2/2021).

Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak publik, apakah upaya pencegahan korupsi selama ini yang selalu digemborkan belum memiliki efek jera pada para pelaku? Ataukah korupsi yang telah menggurita benar-benar mampu diberantas hanya dengan memperkuat kembali fungsi lembaga anti korupsi yang ada saat ini? Tentu saja ada beberapa benang merah terkait masifnya korupsi di negeri ini hingga kaitannya dengan sistem yang telah diterapkan saat ini.

Pertama, kasus korupsi yang terjadi di tengah pandemi ini menegaskan kronisnya masalah korupsi dalam sistem sekuler kapitalis yang menganut asas demokrasi. Kasus ini menjadi bukti bahwa aspek kekuasaan dalam sistem demokrasi baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif, telah mempertontonkan kegagalannya dalam memberantas tuntas korupsi serta ketidakmampuannya dalam mewujudkan tegaknya keadilan di negeri ini. Sudah menjadi tabiat yang melekat dalam sistem sekuler-kapitalis, jika sebuah kekuasaan dipergunakan untuk melanggengkan posisi dan kursi serta mengabaikan hak rakyat. Karena sistem ini ialah sistem cacat buatan manusia yang sudah terbukti gagal mewujudkan kesejahteraan untuk dunia.

Yang kedua, hal ini mampu membuka mata rakyat lebar-lebar, bahwa berbagai jargon keadilan dalam sistem sekuler-kapitalis hanyalah ilusi semata. Proses hukum yang menjerat para koruptor dan harusnya berjalan sesuai dengan prosedur, nyatanya telah pincang dan cacat. Hingga akhirnya tak ada efek jera yang membekas pada pelaku koruptor di negeri ini. Maka jangan heran, jika koruptor semakin menjamur karena tidak diperlakukan serius oleh hukum yang berlaku.
Yang ketiga, penyelesaian kasus korupsi di negeri ini pada khususnya dan dunia pada umumnya, tidak bisa hanya dengan mengandalkan penguatan lembaga anti korupsi, tetapi harus mencabut sistem sekuler yang telah menjadi akar rusaknya moral dan lemahnya hukum saat ini. Melakukan penguatan pada lembaga anti korupsi hanyalah sebuah solusi parsial yang tentu belum mampu mengatasi masalah secara komprehensif. Oleh sebab itu, mengganti solusi dengan mencabut sistem yang bobrok ialah salah satu jalan keluar dari lingkaran setan ini.

Timbul pula pertanyaan, lantas jika sistem yang ada saat ini tak mampu mengatasi korupsi yang mengakar, lalu dalam sistem apa kita bisa mencegah bahkan mengatasinya? Maka kita dapat menemukan jawabannya secara jernih, yakni dalam sistem Islam.

Pemimpin yang lahir dari sistem Islam telah terbukti dapat menciptakan stabilitas hukum dan keadilan. Karena Islam bukan hanya sebagai agama yang mengatur perkara ibadah individu antara makhluk dengan Tuhan, tetapi lebih dari itu. Islam memiliki seperangkat aturan yang komprehensif dalam mengatur perkara kehidupan, mulai dari bangun tidur hingga bangun negara.

Di dalam Islam, mengedepankan efek preventif alias pencegahan sebelum terjadinya masalah ialah salah satu benteng untuk menghalangi tumbuhnya para koruptor. Ada beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan.

Pertama, yakni larangan untuk menerima suap ataupun sogokan baik di lingkungan pemerintahan ataupun masyarakat secara umum. Sebab rasulullah saw. telah dengan tegas menyatakan, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (H.R. Imam Ahmad)

Kedua, ialah rutin melakukan tindakan pengawasan terhadap harta dan kekayaan para pejabat negara agar tidak terjadi penyelewengan saat menjabat.

Ketiga, ialah melalui sifat keteladanan seorang pemimpin, yang dalam hal ini, hanya ketakwaanlah yang mampu membawa seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah dan profesional.

Keempat, menerapkan keadilan serta sanksi tegas dan juga hukuman setimpal untuk para pelaku agar tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga untuk mengembalikan seorang individu di koridor yang benar. Sosok kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab tampaknya perlu ditiru dan menjadi pembelajaran bagi para pemimpin dan juga pemangku hukum negeri ini. Sosok beliau yang tak pernah pandang bulu dalam menegakkan keadilan serta tak ada hukum abu-abu, apalagi manipulasi, ialah buah dari diterapkannya Islam secara menyeluruh.

Betapa sempurnanya Islam dalam upaya pencegahan dan mengatasi korupsi yang seakan tak mampu dibenahi dalam sistem sekuler-kapitalis saat ini. Maka sudah jelas bahwa memperkuat lembaga anti korupsi saja tidak cukup menjadi solusi, tetapi perlu mengganti pula dengan solusi yang menyeluruh serta komprehensif. Hal ini tentu saja hanya dapat direalisasikan di bawah naungan penerapan sistem Islam. Yakni, ketika sistem yang diterapkan bukan untuk mengikuti hawa nafsu atau pun keadilan versi penguasa.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 29

Comment here