Oleh : Fuspita Sari
wacana-edukasi.com– Hampir delapan tahun BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) beroperasi di negeri ini. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2014 lalu. Tidak perlu ditanyakan lagi kesengsaraan rakyat efek dari program pemerintah menerapkan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Salah satu modelnya yang dikenal dengan (universal health coverage, UHC) yang “dipaksakan” kewajiban asuransi bagi semua dengan target pada tahun 2019.
Itulah BPJS yang merupakan badan hukum penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional. Kehadirannya diharapkan mengatasi masalah komersialisasi pelayanan kesehatan. Namun, pada kenyataannya program yang diusung malah mengawetkan komersialisasi kesehatan. Alasannya disamping masyarakat harus membayar premi setiap bulan, saat sakit masyarakat juga harus bersaku tebal. Buruknya pelayanan kesehatan seperti, obat tidak semua yang bisa diklaim, antrian panjang, diskriminatif pelayanan, serta lambatnya pelayanan medis yang kadang tidak bisa menyelamatkan jiwa pasien.
Alasan lainnya, dilihat dari sisi kemanusiaan. Tidak sedikit pasien BPJS ditolak bahkan ditelantarkan pihak rumah sakit, bahkan ada rumah sakit yang mengeluarkan pasien dengan berbagai alasan. Disinilah terlihat sesungguhnya kehadiran program Jaminan Kesehatan ini tidak bisa memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan, akan tetapi sebaliknya membuka kran baru bagi semua kejahatan kesehatan tersebut.
Secara keseluruhan kehadiran JKN dalam bentuk asuransi, semakin menguatkan neoliberal di negeri ini. Pasalnya, para medis tidak ubahnya sebagai mesin penggerak industrialisasi kesehatan bagi nyawa manusia. Jangankan sehat, tragisnya nyawa yang sakit bisa melayang.
Anehnya, dengan berbagai keburukan pelayanan yang menimpa masyarakat, bukannya menjadikan evaluasi dan mengakhiri derita tersebut, pemerintah malah membuat jurang derita baru bagi rakyat. Derita itu terdapat pada aturan yang diterbitkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 2022 yang ditanda tangani pada tanggal 6 Januari 2022 yang mewajibkan mulai Maret 2022 setiap warga negara memiliki BPJS Kesehatan sebagai syarat mengurus berbagai layanan publik.
Layanan publik itu mulai dari mengurus SIM, pembuatan STNK, pengurusan surat keterangan polisi, berangkat haji sampai jual beli tanah. Seperti yang dinyatakan bahwa Presiden Jokowi memastikan pihak kepolisian untuk melakukan pelayanan pembuatan SIM, SKCK, dan STNK adalah anggota BPJS yang aktif. Dalam ketentuan ini, Jokowi meminta pihak kepolisian memastikan pemohon SIM, STNK, dan SKCK adalah peserta BPJS Kesehatan aktif. Begitu juga dengan Kementerian Agama, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) untuk melakukan hal yang sama sebagai syarat pelayanan publik.
Bukan tanpa maksud, seperti yang dikutip (wartaekonomi.co.id/24/2/2022) Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan bahwa upaya ini dilakukan dalam rangka mengoptimalisasi jaminan kesehatan dan hak hidup bagi seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan juru bicara Kementerian Agraria (ATR) Teuku Taufiqulhadi yang diungkapkan melalui diskusi daring, pada Minggu (20/2/2022) bahwa poin keterkaitan BPJS dengan jual beli tanah bukan pada korelasi, tetapi optimalisasi BPJS, inilah upaya negara untuk menghadirkan asuransi kesehatan bagi masyarakat Indonesia, karena kewajiban BPJS dimaktubkan dalam undang-undang.
Sekalipun syarat keanggotaan BPJS dalam rangka menghadirkan asuransi kesehatan untuk pengoptimalisasi jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat. Pernyataan ini cukup menggelitik karena kenyataan pembayaran premi sesungguhnya bukanlah dibebankan kepada negara. Justru keanggotaan BPJS membuat negara berlepas tangan atas kewajiban mengurusi rakyat dalam bidang kesehatan. Apalagi jika ini semua dijadikan syarat sebagai pengurusan SIM, STNK, SKCK, naik haji dan Umroh serta jual beli tanah, tentulah selain tidak logis kebijakan ini menjadi kezaliman nyata yang dipertontonkan penguasa.
Jelas, karena rakyat harus menangung kerumitan administrasi setelah syarat vaksin dan antigen menjadi kelengkapan dimana-mana. Ditambah lagi jika dikaitkan dengan implementasi yang memberikan harapan hampa pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat.
Walhasil, kebijakan pemerintah terhadap BPJS yang menjadi syarat pelayanan publik akan membebani dan menyulitkan masyarakat. Ditengah pandemi yang belum juga usai dengan sejuta beban kenaikan pangan yang terus terjadi, kelangkaan minyak goreng, kenaikan daging sapi, dan ketersediaan bahan pokok lainnya yang juga tidak hanya langkah tetapi mahal. Ditambah lagi lapangan pekerjaan yang kian sulit, kebijakan JHT yang menusuk, serta beban kerja dengan sistem zalim efek kebijakan UU Omnibus law yang tidak mengindahkan aspirasi rakyat. Makan sehari-hari saja masyarakat harus banting tulang. Negeri ini akhirnya semakin menyulitkan hidup rakyat.
Perlu diketahui, bahwa konsep JKN diibaratkan pohon yang rusak, akarnya yang lesu tidak akan mampu mengokohkan batang pohon, apalagi menghadirkan buah yang manis lagi ranum. Sebagaimana Allah swt tegaskan dalam QS Ibrahim, ayat 26, artinya:
_”Dan perumpamaan kalimat (penulis: konsep) yang buruk seperti pohon yang buruk, yang tercerabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”._
Adapun kebatilan dari sisi mudarat terlihat dari pengebirian fungsi dan tanggung jawab negara dan pemerintah sebatas regulator. Negara tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai penanggung jawab kesehatan bagi masyarakat dengan mengalih fungsikan beban kesehatan kepada masyarakat. Kenyataan lain bahwa pemerintah hanya berperan sebagai fasilitas dan regulator. Penyelenggarakannya diserahkan kepada lembaga bisnis BPJS.
Dalam Islam peran negara menjamin kesehatan penuh bagi seluruh warga negaranya sekaligus mempermudah segala urusan rakyatnya.
Islam memandang setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan berupa, sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan, dan kesehatan. Hak kesehatan ini harus dipenuhi oleh negara sebagai kebutuhan pokok. Hakikatnya peranan negara adalah pengatur urusan umat, yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
“Seorang Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pengelolah pelayanan kesehatan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta, karena urusan kesehatan merupakan tanggung jawab negara. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan tanpa diminta premi setiap bulan, karena seluruh kekayaan alam dikelolah oleh negara sehingga negara bisa mengoptimalkan hasilnya untuk memenuhi hak rakyat.
Sudah menjadi keharusan Bagi negara untuk mengadakan berbagai tempat pengobatan seperti, rumah sakit, puskesmas, klinik-klinik. Termasuk kebutuhan tenaga medis, obat-obatan dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, Rosulullah SAW, pernah mendatangi dokter untuk mengobati warganya yang sedang sakit, lalu menjadikannya sebagai dokter umum bagi seluruh rakyatnya.
Begitupun ketika rombongan dari Kabila Urainah jatuh sakit di Madinah, lalu Rosulullah meminta mereka tinggal di Madinah dan Diperbolehkan meminum susu unta hingga sembuh.
Begitulah Islam mengatur pelayanan kesehatan tanpa syarat dan diskriminatif bagi setiap warga negara. Paling tidak ada tiga ciri khas dalam Islam bagi pelayanan kesehatan. Pertama, layanan kesehatan diberikan secara gratis secara keseluruhan. Kedua, tidak ada kelas-kelas dalam pelayanan, dan ketiga diberikan kemudahan untuk mendapatkan layanan tersebut.
”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari)
_Wallahu’alam bishowab_
Views: 13
Comment here