Opini

Bacaleg Bekas Napi Korupsi, Bukti Politik Bisa Dibeli

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Moni Mutia Liza, S.Pd (Pegiat Literasi Aceh)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Atmosfer pemilu presiden dan calon anggota legislatif di tahun 2024 kembali terasa panas. Berbagai macam cara untuk menaklukkan hati rakyat ditempuh, alasannya cuma satu yaitu agar mendapatkan suara terbanyak untuk melenggang ke kursi “empuk” yang dipenuhi proyek-proyek besar lagi menguntungkan. Bukan hal yang tabu lagi di politik negeri ini suara rakyat hanya didengar saat kampanye saja, usai kampanye rakyat kembali diabaikan, bahkan muncul berbagai peraturan yang tidak berpihak kepada rakyat melainkan kepada kaum kapital.

Berbicara masalah persyaratan bacaleg, kita juga dibuat geleng-geleng kepala dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu yaitu berisikan mantan napi yang ingin mencalonkan diri menjadi anggota legislatif hanya perlu membuat keterangan pernah dipenjara sebagai syarat administratif pencalonan, bahkan eks koruptor yang hendak mencalonkan diri sebagai legislator pada pemilu mendatang diperbolehkan. Hal ini juga termaktub dalam Pasal 240 Ayat (2) huruf c Undang-Undang pemilu yaitu dengan menyertakan surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon legislator yang pernah dipidana, (kompas.com/12/09/2022).

Dalam hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tidak mengeluarkan pernyataan berupa pelarangan bagi eks pidana korupsi untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Alasan yang digunakan adalah karena menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagaimana yang disampaikan oleh Komisaris KPU RI Idham Holik, pihak KPU berpedoman pada peraturan yang telah dibuat. Seperti pada Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Kemudian, Pasal 43 Ayat (1) UUD HAM berbunyi: Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, (kompas.com/12/09/2022).

Padahal di tahun 2019, KPU melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu 2019. Tindakan ini diambil berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Namun PKPU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebab bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu. Hingga saat ini KPU tetap berpegang teguh pada keputusan MA tersebut dan tidak melarang eks napi koruptor untuk ikut serta dalam pencalonan diri sebagai anggota legislatif.

Miris, seharusnya langkah KPU yang melarang eks koruptor mencalonkan diri menjadi anggota legislatif diperjuangkan atau didukung bukan bertindak sebaliknya yaitu memberikan kesempatan bagi eks koruptor untuk menjadi wakil rakyat dan mengurusi rakyat. Logikanya, bagaimana mungkin kita memberikan kepercayaan kepada maling untuk menjaga harta kita, sedangkan sebelumnya dia telah berhasil membobol brangkas di rumah kita?, sebab tidak menutup kemungkinan dia akan kembali mengulangi hal yang sama dikarenakan si maling sudah tau jalur jitu dalam memanfaatkan kesempatan untuk memperolah keuntungan.

Hal yang wajar dalam sistem kapitalisme-demokrasi pelaku korupsi tumbuh subur-makmur, sebab banyak kesempatan dan peluang untuk pencucian uang. Ditambah dengan dana kampanye yang besar sehingga membuat para politikus berpikir keras untuk mengembalikan dana selama kempanye yang tentunya menghabiskan puluhan juta bahkan triliunan rupiah. Cara cepat untuk mengembalikan dana kampanye adalah membuat proyek-proyek baru dan mengambil keuntungan di dalamnya.

Model politik demokrasi adalah politik yang dapat dibeli. Pasalnya siapapun yang memiliki kaum kapital atau pengusaha besar di belakangnya akan sangat mudah untuk mendapatkan kursi “empuk” di pemerintahan. Asas mutualisme juga sangat kental dalam politik demokrasi. Bagaimana tidak, mereka yang dibacking oleh kaum kapital akan mendapatkan jabatan yang besar dalam pemerintahan, dan “pion-pion” tersebut akan menggolkan segala peraturan yang menguntungkan kaum pemilik modal. Ini adalah salah satu bukti diantara banyak bukti lainnya akan kegagalan sistem politik demokrasi.

Selain dana kampanye yang besar yang menjadi dorongan oknum tertentu di pemerintah untuk ”berselancar” dalam penggelapan uang, ada penyebab lainnya yang menjadikan jaringan korupsi kian meluas hingga berbagai daerah yaitu lemahnya hukum terhadap pelaku korupsi sehingga tidak menghasilkan efek jera bagi pelaku dan pelajaran bagi orang lain.

Maka selama sistem ini masih diterapkan akan sulit untuk mengikis “tikus berdasi”. Justru akan semakin bertambah jumlah koruptor tiap tahunnya . Hal ini menunjukkan kepada kita ada yang salah dari sistem politik demokrasi. Sudah sekian lama negeri ini menerapkan demokrasi, hasilnya politik semakin dikuasai kaum berduit, sedangkan rakyat hanya menjadi korban dan akan selalu menjadi korban keganasan sistem demokrasi ini.

Islam Mewujudkan Pemimpin yang Shalih

Jika dalam sistem pemerintahan demokrasi membuka peluang kepada eks narapidana untuk mengurusi masalah rakyat, justru Islam menempuh jalan yang berbeda 1800 dari sistem demokrasi. Sistem Islam menetapkan syarat untuk menjadi pemimpin atau orang yang berwenang dalam mengurusi urusan rakyat, diantara yaitu: (1) Muslim, (2) Balig, (3) Berakal, (4) Laki-Laki, (5) Adil, (6) Merdeka, (7) Berilmu.

Dari katagori tersebut dapat kita lihat bahwa yang menjadi pemimpin menurut Islam bukanlah orang yang mempunyai backingan perusahaan terbesar, melainkan dilihat dari keimanannya, kesanggupannya dan keadilannya dalam mengambil tindakan, sehingga tidak menjatuhkan marwah Islam dan rakyat dapat hidup sejahtera di bawah kepemimpinannya.

Selain itu Islam juga memberikan sanksi kepada pelaku narapidana dengan sanksi tegas lagi adil yang berasal dari Al-Qur’an dan hadist, atau berdasarkan hasil ijtihad yang bersumber kepada Allah dan Rasulullah. Sehingga sanksi yang diberikan memiliki efek jera dan penebus dosa. Misalkan saja pelaku korupsi, dalam Islam pelaku korupsi bisa saja diberi hukuman mati tergantung seberapa besar kerugian negara akibat perbuatan korupsi tersebut, sebab korupsi bukanlah mencuri uang pribadi melainkan mengambil harta rakyat dan negara. Sehingga hukumannya lebih berat dari potong tangan.

Sistem Islam mampu mewujudkan pemimpin yang shalih tidak lain karena aturan yang diterapkan dalam masyarakat bersumber dari Allah swt yang sudah pasti diterima akal, sesuai fitrah manusia dan menentramkan jiwa. Sistem Islam juga melakukan pembinaan secara masif di tengah-tengah masyarakat agar terbentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah. Menetapkan kurikulum pendidikan berbasis aqidah Islam sehingga melahirkan generasi yang rabbani. Dari sinilah cikal bakal lahirnya pemimpin yang dekat dengan masyarakat dan takut hanya kepada Allah semata.

Jangan bermimpi apalagi berharap bahwa sistem kapitalis-demokrasi melahirkan generasi dan pemimpin yang shalih, justru sistem tersebut hanya akan menghasilkan kerusakan dalam segala lini kehidupan. Wallahu’alam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 5

Comment here