Oleh : Ikhtiyatoh, S.Sos (Pemerhati Sosial dan Politik)
wacana-edukasi.com, Viral, video antian panjang permohonan perceraian di depan Pengadilan Agama (PA) Soreang, Bandung. Humas PA Kabupaten Bandung, Suharja memberikan konfirmasi bahwa angka perceraian mengalami peningkatan. Pada bulan Agustus sudah mencapai 1.102 perkara (news.detik.com, 24/8/2020). Meningkatnya angka perceraian tidak hanya terjadi di Bandung, tapi juga di daerah lain.
Miris, ketika wabah korona menghancurkan sendi kehidupan negara. Rumah Tangga (RT) sebagai institusi terkecil pun ikut goyah. Doa yang senantiasa dipanjatkan dalam setiap pernikahan “Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah wa rohmah” hanya menjadi mimpi. Pernikahan yang dicita-citakan hanya sekali seumur hidup serasa sulit.
Bukan Negeri Dongeng
Penyebab kasus perceraian sangatlah beragam. Mulai dari masalah ekonomi, perselingkuhan, konflik yang tak berkesudahan, juga pernikahan dini. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dalam RT akhirnya meruntuhkan komitmen yang dibangun sejak awal pernikahan.
Kehidupan di dunia nyata tidaklah seindah kehidupan di negeri dongeng. Kisah negeri dongeng lebih sering menceritakan kehidupan Si Putri malang. Kemudian bertemu dengan Sang Pangeran tampan. Kehidupan Sang Putri kemudian berubah setelah pangeran menikahinya. Di akhir cerita disebutkan “… dan mereka berdua akhirnya hidup bahagia selama-lamanya…”.
Pernikahan di dunia nyata bukanlah akhir sebuah cerita, tetapi menjadi titik awal sebuah cerita. Setelah menikah, seseorang akan hidup bersama dengan teman baru (pasangan) bahkan anggota keluarganya baru. Perbedaan karakter, pemahaman, adat istiadat, latar belakang keluarga dan latar belakang pendidikan berpotensi menimbulkan konflik.
Bisa saja konflik muncul dengan pasangan, dengan ipar, mertua ataupun dengan tetangga baru nanti. Selain itu, pasangan baru menikah juga bisa mendapat ujian. Selama manusia masih bisa menikmati udara, selama itu pula akan diberi ujian. Ujian bisa berupa belum dikaruniai keturunan, atau sebaliknya anak juga bisa menjadi ujian.
Kondisi ekonomi yang semakin sulit juga sangat berpeluang menimbulkan konflik. Penghasilan suami yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga, ‘mengharuskan’ istri juga ikut mencari duit. Dengan wanita ikut bekerja memang bisa membantu mengatasi masalah ekonomi, namun juga bisa menimbulkan masalah baru.
Secara fitrah wanita memiliki fisik dan psikis yang lemah. Ketika harus dibebani pekerjaan domestik (urusan anak, masakan, cucian, setrikaan dan lainnya) dan publik (kantor) sekaligus, tentu sangat melelahkan. Ketika suami dan istri pulang ke rumah dengan kondisi sama-sama lelah, disinilah potensi konflik terjadi. Konflik yang terjadi terus menerus membuat kondisi di rumah tidak nyaman dan bisa menghantarkan pada perceraian.
Adapun pernikahan dini yang berpotensi terjadinya perceraian adalah pernikahan yang tidak dilandasi kesiapan mental dan ilmu. Nyatanya, pernikahan dini saat ini banyak dilakukan karena keterpaksaan, sudah hamil duluan. Orang dulu-dulu, kakek-nenek kita, kebanyakan melakukan pernikahan dini. Tetapi rumah tangga mereka bisa tetap bertahan hingga melahirkan banyak anak, curu dan cicit.
Memahami Bahasa Cinta
Setiap pernikahan pastilah merindukan keluarga yang sakinah, mawadah wa rohmah. Sakinah berarti tenang atau tentram, mawadah berarti cinta, rohmah berarti kasih sayang. Istilah samara ini diambil dari Al Qur’an surat Ar Rum : 21 yang artinya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (TQS Ar Rum : 21).
Menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana menjaga cinta, kasih dan sayang ditengah segudang masalah, sehingga tercapai ketenangan dan ketentraman?
Berdasarkan hasil penelitian dari Researchers at National Autonomous University of Mexico (2009), rasa cinta (tergila-gila) atau sering diistilahkan ‘kasmaran’ pada seseorang hanya bisa bertahan selama 4 tahun. Sebuah hubungan akan mengalami titik jenuh tidak hanya karena faktor bosan semata. Tetapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan rasa cinta itu sudah habis.
Rasa tergila-gila yang muncul pada awal-awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri (health.detik.com, 9/12/2009).
Jika demikian, masa setelah 4 tahun menjadi masa krusial pernikahan. Mengingat rasa cinta, kasih dan sayang merupakan bagian dari Gharizah Na’u (naluri berketurunan) yang muncul karena intensnya interaksi. Jika kita ingin rasa tersebut menguat dan tetap bertahan, maka kita harus mengupayakan intensitas interaksi antara pasutri.
Sementara itu, di dalam interaksi itu terdapat komunikasi dan sikap. Tak jarang retaknya rumah tangga adalah karena tidak mampu melakukan komunikasi dengan baik, juga sikap yang saling menyakiti.
Terkait dengan komunikasi dan sikap, Dr. Gary Chapman mengungkapkan bisa melalui 5 bahasa cinta (The Five Love Languages) yaitu Words of Affirmation (kata cinta, pujian), QualityTime (waktu yang berkualitas), Receiving Gifts (menerima hadiah), Acts of Service (Pelayanan) dan Physical Touch (Sentuhan Fisik).
Penjelasannya, konflik sering terjadi karena ketidakfahaman akan bahasa cinta pasangan. Misalnya suami memiliki karakter dingin, tidak romantis, bicara minimalis. Sementara istri memiliki bahasa cinta utama sentuhan. Hal ini akan menimbulkan kesalahpahaman. Istri merasa tidak dicintai oleh suaminya karena jarang bicara apalagi belaian.
Sebaliknya, misalkan suami memiliki bahasa cinta utama pelayanan. Selama istri memberi pelayanan, rumah selalu rapi, makanan selalu tersedia ataupun urusan anak-anak selalu beres, suami akan merasa RT-nya aman-aman saja. Pelayanan istri tadi dianggap sebagai tanda cinta dari istri. Padalah bisa jadi istri melakukan itu semua karena bagian dari rutinitas biasa.
Memahami bahasa cinta antara pasangan menjadi penting kala cinta mulai memudar. Bahasa cinta ini tidak hanya berlaku bagi pasangan tapi juga untuk anak. Sehingga ketenangan dalam rumah tangga baik pada pasangan maupun anak bisa tercapai. Ketenangan tidak melulu urusan pemenuhan kebutuhan materi tapi juga psikologi.
Lebih dari itu, menikah memang harus disiapkan sejak awal. Tidak hanya siap materi untuk resepsi, lebih utama adalah kesiapan fisik, mental dan ilmu. Mengurus RT butuh kecekatan, kesehatan fisik, juga bermacam ilmu. Selain ilmu komunikasi, penting juga ilmu gizi, kesehatan, keperawatan dan lebih penting lagi adalah ilmu agama. Bahkan sejak pertama memilih pasangan, kita dianjurkan untuk memilih pasangan yang ilmu agamanya baik.
“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.” (HR. Al- Bukhari)
Pasangan yang soleh/h akan mengingatkan menetapi kesabaran dalam setiap masalah. Menjadi penting meluruskan kembali niat sebuah pernikahan, yaitu karena mengharap Ridho Allah SWT. Sehingga ketika terjadi konflik akan dikembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Disamping senantiasa terus menambah ilmu, hingga sikap saling memahami dan saling menghormati menjadi sebuah kebiasaan.
Wallahu alam bish showab.
Views: 4
Comment here