Opini

Balada Guru Honorer dalam Sistem Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Dewi Sartika ( Pemerhati Masalah Umat)

Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas).

Wacana-edukasi.com — Guru adalah pelita dalam kegelapan, guru yang mengentaskan generasi dari buta huruf, dan baca tulis, guru pula yang berjasa dalam mencerdaskan bangsa. Namun, pahlawan tanpa tanda jasa yang notabene tugasnya cukup berat, tapi kondisi mereka tidak sebanding dengan pengorbanan serta pengabdiannya terhadap negeri. Terkhusus guru yang berstatus sebagai guru honorer nasibnya bak panggang jauh dari api.

Demi mengubah kehidupannya menjadi lebih baik, serta memiliki gaji yang layak para guru honorer mengikuti tes pegawai pemerintahan dengan perjanjian kerja, meski ada yang dalam kondisi renta. Sebab, gaji yang diterima selama ini jauh dari kata layak.

WARTAINSPIRASI.COM – Tes Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK ), mendengar kisah nasib guru honorer memang bikin hati pilu. Sudah mengabdi selama puluhan tahun, masih ada yang menerima gaji Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan.

Demi mengubah nasib, para Guru honorer ini harus menjadi Pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Namun hal ini tak semudah yang dipikirkan.
“Mereka digaji Rp 200 ribu-Rp 300 ribu gimana mau bicara kompeten. Lalu mereka yang mengabdi puluhan tahun ini untuk bisa dikatakan kompeten harus lulus dengan passing grade dengan nilai fantastis, sungguh tidak masuk akal,” kata Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Jumat (17/9/2021).

Beredarnya video di dunia maya tentang perjuangan seorang guru yang akan mengikuti tes pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sangatlah menyayat hati. Netra yang sudah rabun, tubuh yang sudah renta. Tidak menyurutkan mereka untuk mengikuti tes tersebut, demi merubah statusnya dari guru honorer menjadi PNS, serta memiliki gaji yang layak. Kisah pilu seorang nenek yang mengikuti tes PPPK membuat ketua persatuan Guru Republik Indonesia PGRI Unifah angkat bicara, Ia mengatakan bahwa PPPK yang diterapkan tidak berpihak kepada mereka guru honorer yang telah lama mengabdi, sebab guru honorer diperlakukan sama. Tentunya hal ini, menurut unifah tidak manusiawi, seharusnya dibedakan guru honorer berdasarkan usia dan masa kerjanya.

“Jadi bagi yang tua, yang sudah puluhan tahun, diperlakukan sama, sungguh tidak manusiawi, sungguh tidak mempunyai hati. Bahwa daerah-daerah yang jauh, komitmen guru untuk mendidik anaknya jauh lebih penting daripada semua hal yang gimik-gimik tes ini. Dan harusnya dibedakan berdasarkan usia dan masa kerja,” paparnya. Warta inspirasi.com 17/9/2021.

Keinginan mereka untuk merubah nasib bukan Tanpa Alasan, setidaknya menjadi ASN bisa memberi jaminan penghidupan guru honorer, itulah yang ada dibenak mereka. sebab gaji yang diterimanya masih jauh dari kata layak.

Menjadi seorang guru tidaklah mudah, mereka memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar, selain mengajar, seorang guru juga sebagai seorang pendidik. Namun, masih banyak dedikasi mereka yang dikesampingkan. Sudah menjadi rahasia umum dalam sistem kapitalis, status ASN dan honorer sangat menentukan besaran gaji yang akan mereka terima. Padahal, mereka memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Tetapi, mengapa guru honorer dianggap seperti masyarakat kelas dua, mereka sama sama mengajar tetapi nasib meraka tidak jelas, kesejahteraan pun susah didapatkan. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka terpaksa harus bekerja sampingan. Inilah potret pilu nasib guru honorer dalam sistem kapitalis meski sudah mengabdi puluhan tahun namun untuk menggapai hidup sejahtera mereka harus ditentukan lulus dan tidaknya dalam mengikuti tes PPPK.

Perekrutan PPPK guru honorer seolah menjadi angin segar bagi mereka sekaligus menjadi bukti kepedulian pemerintah terhadap guru honorer. Namun, sayangnya, perekrutan ini tidak dapat menjamin kesejahtraan bagi para guru honorer meski mereka telah lulus seleksi pppk sekalipun. Selalu ada ketimpangan antara tenaga, dan fikiran yang dicurahkan dengan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Sebenarnya balada guru honorer sudah lama terjadi mulai dari yang sudah lama mengabdi tetapi tidak diangkat menjadi pegawai negeri, sampe pada yang baru mencari pengabdian kesana kemari. Namun, sayangnya sedikit sekali perhatian pemerintah terhadap guru honorer. Miris.

Jika fakta yang terjadi saat ini nasib guru honorer dalam sistem kapitalis sangatlah miris, berbeda halnya dengan guru pada masa sistem Islam. Dalam Islam tidak ada perbedaan antara guru honorer dengan ASN, sebab mereka memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Islam memandang pendidikan adalah bagian dari kebutuhan pokok masyarakat yang harus dipenuhi. Karena dari pendidikan itulah akan tercipta generasi gemilang dan berkualitas. Karenanya negara akan hadir memberikan sarana dan prasarana yang terbaik dalam bidang pendidikan, mulai dari infrastruktur, kurikulum, dana, tenaga pendidik yang berkualitas, dan yang paling penting adalah negara menjamin kesejahteraan para tenaga pendidik ( Guru ). Sehingga mereka bisa lebih fokus pada tugas utamanya sebagai seorang pendidik, tanpa harus diropotkan lagi dengan mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sejarah mencatat, sebagai perbandingan antara guru pada masa Islam dan saat ini, Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa, di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak.

Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas).

Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS atau pun honorer. Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru.

Atau di zaman Shalahuddin al Ayyubi, gaji guru malah lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah gaji guru berkisar antara 11 dinar sampai dengan 40 dinar! Artinya gaji guru bila di kurs dengan nilai saat ini adalah Rp 26.656.850,- sampai Rp 96.934.000,-.

Selain mendapatkan gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.

Demikian gambaran kesejahteraan guru dalam sistem Islam, tentunya kita ingin merasakan juga bagaimana indahnya hidup dalam islam, semoga pertolongan Allah segera datang agar kita terbebas dari seiatem yang menyengsarakan.

Wallahu A’lam Bishawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 43

Comment here