Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim
wacana-edukasi.com, OPINI— Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan pemerintah dan jajaran kementeriannya terkait kasus polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Atas putusan tersebut, pemerintah dinyatakan tetap melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana putusan pengadilan sebelumnya pada “Amar putusan : tolak kasasi I & II,” tulis utusan dari perkara kasasi nomor 2560 K/PDT/2023, sebagaimana dilansir dari situs web informasi perkara MA (www.bbc.com, 21/11/2023).
Merespon putusan MA tersebut, koalisi ibukota mendesak pemerintah yang menjadi tergugat, melaksanakan putusan pengadilan atas gugatan warga negara atau Citizen Law Suit (CLS) yang sudah dijatuhkan sejak 16 September 2021. Perlu diketahui, untuk sampai pada gugatan ini, koalisi ibukota telah menjalani proses pengadilan yang panjang selama lebih dari 2 tahun. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan kemenangan pada Koalisi Ibukota pada 16 September 2021 (greenpeace.org, 17/09/2021).
Penolakan MA atas kasasi pemerintah pada kasus polusi di Jakarta ini, dianggap sebagai kemenangan rakyat. Penolakan tersebut berkonsekuensi pada kewajiban menjalankan hukuman. Namun anehnya, hukuman yang diberikan hanya dalam bentuk penentuan pengetatan Baku Mutu Udara Ambien Nasional, dan sejenisnya. Padahal hukuman tersebut sejatinya merupakan tupoksi para tergugat.
Keputusan ini memang menunjukkan adanya upaya dari rakyat untuk memberi pelajaran kepada penguasa agar tidak lari dari tanggung jawab. Tetapi hal tersebut sekaligus menunjukkan betapa penguasa saat ini tidak serius menyelesaikan kasus polusi. Selain itu, sekalipun rakyat mengajukan gugatan, peradilan juga tidak memberikan solusi tuntas untuk menyelamatkan rakyat dari polusi. Padahal, kondisi polusi udara di Jakarta pun sudah sangat memprihatinkan dan mengindikasikan masuk ke level yang berbahaya.
Inilah watak buruk sistem kapitalisme yang menjadi polusi di kehidupan kita saat ini. Sistem yang menampung udara dan polusi buruk yang mencekik rakyat. Hingga untuk menghirup udara segar pun rakyat harus berjuang sendirian. Penguasa yang pada dasarnya harus membela hak rakyat, justru kini memanfaatkan kekuasaan untuk eksistensi dan kepentingan para oligarki beserta kroninya. Tabiat penguasa kapitalisme pada dasarnya tidak ingin dibuat pusing oleh tuntutan rakyat dan tidak ingin disalahkan. Tindakan seperti ini, tentu tidak sepatutnya dilakukan oleh penguasa. Tindakan tersebut muncul karena orientasi kekuasaan dalam kapitalisme memang digunakan sebagai jalan meraih keuntungan semata, bukan untuk mengurus rakyat.
Tentu hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan pemimpin yang lahir dari sistem Islam. Kekuasaan dalam Islam, memiliki paradigma khusus, yakni digunakan untuk menerapkan hukum syariat dan melayani rakyat sesuai dengan hukum syariat. Dimensi kekuasaan yang diambil oleh para pemimpin, tidak terbatas di dunia, namun juga ada pertanggungjawaban kelak di akhirat. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Paradigma ini melahirkan negara yang optimal dalam mengurus rakyat. Sehingga ketika terjadi kasus polisi udara seperti saat ini, negara tidak akan lari dari tanggung jawab. Negara akan berupaya untuk menjauhkan rakyat dari gangguan apapun yang akan membahayakan kehidupan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Tidak boleh menimbulkan madarat (bahaya) bagi diri sendiri maupun madarat (bahaya) bagi orang lain di dalam Islam.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).
Negara akan mencari berbagai solusi mendasar dan komprehensif, karena negara adalah perisai bagi rakyat. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara memastikan industri menggunakan prinsip aspek keberlanjutan lingkungan, seperti mendorong industri untuk menggunakan sistem produksi yang bersih dan ramah lingkungan. Sehingga paradigma utama industri bukan untuk pencapaian profit kapital, tetapi untuk terealisasinya kemaslahatan umum.
Tak hanya itu, negara juga akan mendorong riset-riset pengolahan limbah, pengembangan material ramah lingkungan, maupun teknologi hijau. Dari hasil riset tersebut, negara dapat menentukan kebijakan terkait emisi kendaraan, tata ruang kota, tata kelola pembangunan yang ditunjukkan untuk mengurangi polusi udara. Upaya ini bisa direalisasikan tanpa setengah hati, karena negara memiliki sistem keuangan yang stabil, yaitu Baitul Maal. APBN akan dirancang sesuai dengan kebutuhan perwilayah, kemudian negara akan mengalokasikan anggaran untuk upaya-upaya tersebut dari pos kepemilikan umum dan pos kepemilikan negara Baitul Maal.
Seperti inilah tanggung jawab negara dalam mengurus rakyatnya. Seandainya jika di kemudian hari terbukti ada penguasa yang melakukan pelanggaran atau mendapat gugatan seperti kasus hari ini, maka dalam Islam, kasus ini akan diselesaikan oleh peradilan Qadhi Madzalim. Qadhi Madzalim adalah peradilan untuk menghilangkan kedzaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya.
Apabila kedzaliman tersebut berkaitan dengan kebijakan, maka Qadhi Madzalim akan membatalkan kebijakan tersebut, seperti pajak, liberalisasi pembangunan industri, kapitalisasi sumber daya alam, dan sebagainya. Namun jika kedzaliman tersebut berkaitan dengan tindakan semena-mena, abai terhadap urusan rakyat, berpihak pada kepentingan korporat, tidak bertanggung jawab, maka Qadhi Madzalim akan menghentikan tindakan tersebut. Qadhi Madzalim berhak memberhentikan pejabat atau pegawai negara bahkan khalifah jika harus diberhentikan, karena pelanggaran hukum syariat. Dengan demikian, rakyat akan mendapat keadilan tanpa bertele-tele menunggu kepastian. Jika telah terbukti penguasa melakukan pelanggaran, tidak akan ada kasasi yang memberikan peluang terjadinya keculasan dalam peradilan.
Views: 9
Comment here