Oleh : Siti Raudah, S.H. (Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Pemerintah telah mengatur bahwa pembangunan rumah secara mandiri akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN atas kegiatan membangun rumah sendiri (KMS) akan naik dari 2,2% menjadi 2,4% mulai 1 Januari 2025. Kegiatan membangun rumah sendiri yang dimaksud adalah proses pendirian bangunan yang dilakukan oleh individu, di mana bangunan tersebut nantinya digunakan untuk kepentingan pribadi atau oleh orang lain.
Tarif PPN untuk kegiatan membangun rumah sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri. Menurut Pasal 2 Ayat (2) peraturan tersebut, PPN dikenakan kepada individu atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Kegiatan ini mencakup tidak hanya pembangunan baru, tetapi juga perluasan bangunan yang sudah ada.
Tidak semua bangunan yang dibangun atau direnovasi sendiri dikenakan PPN. Pada Pasal 2 Ayat (4) dijelaskan bahwa PPN hanya dikenakan untuk bangunan yang berdiri di atas tanah atau perairan dengan konstruksi utama berupa kayu, beton, batu bata, atau bahan sejenis, dan/atau baja. Selain itu, bangunan tersebut harus digunakan untuk tempat tinggal atau usaha, dengan luas minimal 200 meter persegi.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam lima tahun terakhir terdapat belasan juta rumah tangga yang belum memiliki rumah sendiri. Mereka tinggal di rumah kontrakan, bersama orang tua, atau menumpang di rumah kerabat. Pada tahun 2021, tercatat ada 14,3 juta rumah tangga yang tidak memiliki hunian sendiri, yang setara dengan 18,9% dari total rumah tangga di Indonesia yang mencapai sekitar 75,6 juta. Jakarta merupakan wilayah dengan tingkat kepemilikan rumah terendah, di mana data BPS 2022 menunjukkan bahwa hanya 56,13% rumah tangga di Jakarta yang memiliki rumah.
Data ini mengungkapkan ketimpangan dalam kepemilikan rumah di Indonesia. Ketimpangan ini dianggap sebagai akibat dari sistem kapitalisme, yang menganut liberalisme ekonomi sehingga memungkinkan pengusaha besar menguasai tanah dalam jumlah besar. Negara bahkan memberikan insentif kepada perusahaan properti, yang membuat mereka bebas menguasai lahan.
Sementara itu, rakyat kecil mengalami kesulitan untuk memiliki rumah. Untuk membeli atau membangun rumah, mereka menghadapi biaya yang sangat tinggi, baik untuk tanah maupun material bangunan seperti semen, batu bata, dan kayu, yang harganya terus melonjak. Sistem ekonomi kapitalisme juga tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan dengan upah layak, sehingga banyak orang kesulitan membangun rumah yang memadai. Ironisnya, mereka yang mampu membangun rumah layak justru dikenakan pajak tinggi oleh pemerintah.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum berupaya meringankan beban masyarakat dalam memiliki rumah. Sebaliknya, pemerintah terkesan melepas tanggung jawab dalam menyediakan hunian bagi rakyat, meskipun rumah adalah kebutuhan dasar yang seharusnya dipenuhi oleh negara.
Bukannya membantu rakyat untuk memiliki rumah, pemerintah malah berusaha mengambil uang rakyat dari berbagai sisi. Selama ini, masyarakat sudah dibebani dengan berbagai jenis pajak seperti PPh, PPN, PBB, PKB, dan lain-lain, namun pemerintah terus merasa kurang sehingga memperluas subjek dan objek pajak demi mengejar target penerimaan negara.
Pemerintah sangat agresif dalam mengejar pajak karena dalam sistem ekonomi kapitalisme, pajak dijadikan sumber pendapatan utama negara. Setiap tahun, target pajak selalu dinaikkan, dan subjek serta objek pajak terus diperluas. Ini berarti rakyat semakin ditekan untuk membayar pajak lebih banyak.
Negara sebenarnya mengambil uang rakyat secara paksa atas nama pajak, sementara kekayaan alam diserahkan kepada korporasi kapitalis secara cuma-cuma. Bahkan, para pengusaha besar tersebut mendapatkan keringanan pajak, yang jelas-jelas tidak adil. Namun, hal ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme yang memeras rakyat.
Terkait klaim pemerintah bahwa penerapan PPN untuk kegiatan membangun sendiri (KMS) demi mewujudkan keadilan karena orang yang membeli rumah juga dikenai pajak, argumen ini tidak berdasar. Jika ingin adil, seharusnya negara menyediakan rumah murah untuk rakyat tanpa memungut pajak pembelian atau PPN KMS. Itulah yang seharusnya dilakukan, karena penyediaan rumah adalah tugas negara. Sayangnya, jaminan penyediaan rumah tidak akan terwujud dalam sistem kapitalisme, yang justru terus memeras rakyat dari berbagai sisi.
Jaminan penyediaan perumahan yang sebenarnya hanya ada dalam sistem Islam. Penerapan sistem ekonomi Islam memastikan kesejahteraan setiap individu, di mana negara (Khilafah) menyediakan lapangan pekerjaan yang luas dengan gaji layak sehingga rakyat dapat hidup sejahtera dan mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Selain itu, negara juga menjamin kebutuhan perumahan masyarakat melalui kebijakan yang memudahkan mereka untuk memiliki rumah. Kebijakan ini meliputi penerapan sistem ekonomi Islam yang menjaga stabilitas harga rumah, tanah, dan material bangunan, sehingga biaya pembangunan rumah menjadi terjangkau bagi rakyat.
Khilafah menyediakan perumahan subsidi melalui dua cara. Pertama, negara menawarkan rumah dengan harga murah atau bahkan gratis agar rakyat mudah memilikinya. Kedua, negara memberikan subsidi untuk biaya pembangunan rumah bagi mereka yang sudah memiliki tanah, sehingga mereka tidak kesulitan dalam membangun rumah.
Pendapatan negara yang besar dari kekayaan alam memungkinkan negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk dalam penyediaan perumahan, tanpa memerlukan pajak. Khilafah tidak akan membebani rakyat dengan pajak, kecuali dalam kondisi tertentu (tidak bersifat permanen) dan terbatas hanya bagi rakyat yang mampu (aghnia). Inilah bagaimana Khilafah menjamin kesejahteraan dengan memastikan setiap rakyat memiliki tempat tinggal.
Wallahu a’lam bishawab.
Views: 2
Comment here